JUAL BELI JABATAN PENDETA DAN GEMBALA ALA STRUKTURAL GEREJAWI
PENDAHULUAN
Pelayanan gereja pada hakikatnya seharusnya berlandaskan panggilan rohani, ketaatan kepada firman, serta integritas moral. Kepemimpinan pendeta dan gembala adalah amanat mulia, yang seyogianya muncul dari peneguhan Allah melalui jemaat, bukan hasil rekayasa manusia. Namun, dalam perjalanan praktik kehidupan bergereja, sering kali muncul fenomena yang bertolak belakang dengan ideal tersebut. Fenomena yang saya maksud adalah penyalahgunaan kekuasaan struktural gereja, di mana jabatan pendeta atau gembala tidak lagi ditentukan oleh kualifikasi rohani, melainkan oleh kepentingan pribadi, manipulasi internal, dan bahkan keuntungan materi. Dalam kasus seperti ini, struktur organisasi gereja dipakai secara licik untuk melegalkan tindakan yang sesungguhnya bertentangan dengan roh pelayanan.
Sebagai pendeta yang telah melayani selama 18 tahun, pengalaman menunjukkan berbagai pola tersembunyi dalam struktur gereja. Tidak jarang, tata gereja yang seharusnya menjaga kemurnian pelayanan justru dijadikan alat untuk mengamankan kepentingan kelompok tertentu. Surat keputusan, rapat struktural, bahkan suara jemaat, kerap kali hanya dijadikan formalitas untuk menutupi kepentingan di balik layar. Praktik ini biasanya berlangsung secara halus namun sistematis. Keputusan pimpinan sering diambil tanpa melibatkan jemaat, dokumen dan notulen rapat dapat dimanipulasi untuk memperkuat posisi tertentu, dan pengangkatan pendeta atau gembala kadang lebih didasarkan pada loyalitas, kedekatan, atau imbalan daripada panggilan rohani. Dengan cara ini, jabatan pendeta bisa diperlakukan layaknya barang dagangan yang diberikan demi kepentingan segelintir orang.
Dalam perjalanan pelayanan, pengalaman di lapangan—mulai dari posisi paling sederhana hingga jabatan gerejawi—menunjukkan bahwa struktur gereja kadang disalahgunakan untuk kepentingan tertentu. Keputusan-keputusan penting sering diambil tanpa transparansi, prosedur resmi dilewati, dan jabatan dapat diberikan kepada pihak yang tidak memiliki kualifikasi rohani yang memadai, melainkan karena kedekatan pribadi, loyalitas kelompok, atau keuntungan tertentu. Praktik seperti ini tidak hanya merusak integritas kepemimpinan, tetapi juga melemahkan fondasi gereja sebagai tubuh Kristus. Gereja yang seharusnya menjadi terang bagi dunia kehilangan wibawanya di hadapan jemaat dan masyarakat ketika praktik jual beli jabatan dibiarkan berlangsung. Dampaknya bisa dirasakan dalam bentuk berkurangnya kepercayaan jemaat, timbulnya konflik internal, serta munculnya keputusan kepemimpinan yang tidak lagi berpijak pada panggilan Tuhan. Oleh karena itu, penting untuk memahami fenomena ini secara kritis dan mengambil langkah-langkah pencegahan agar gereja tetap bersih, sah, dan berintegritas.
Penulisan ini bertujuan untuk membuka mata jemaat dan pihak struktural gereja terhadap fenomena tersebut: bagaimana praktik ini terjadi, ciri-cirinya, dampak rohani dan sosial yang ditimbulkan, serta langkah-langkah pencegahan yang dapat diambil. Tulisan ini juga merefleksikan pengamatan di lapangan selama bertahun-tahun, termasuk menghadapi praktik yang merugikan, penyalahgunaan kekuasaan dalam struktur gereja, serta berbagai tantangan yang muncul dalam menjaga integritas pelayanan. Tujuannya adalah agar gereja tetap murni, sah, dan berintegritas, kepemimpinan benar-benar ditentukan oleh panggilan Tuhan, bukan oleh manipulasi, kepentingan pribadi, pengaruh manusia, atau tekanan kelompok tertentu yang merusak tata gereja.
BAB I
DEFINISI DAN BENTUK PRAKTIK
JUAL BELI JABATAN PENDETA DAN GEMBALA
Dalam pelayanan gereja, jabatan pendeta atau gembala seharusnya diberikan berdasarkan panggilan rohani, integritas, dan kualifikasi sesuai Tata Gereja. Posisi ini bukan sekadar simbol otoritas, tetapi juga merupakan tanggung jawab rohani yang besar, yakni membimbing jemaat, menjaga kebenaran ajaran, dan memelihara tubuh Kristus agar tetap bersih dan berfungsi dengan baik. Jabatan ini menuntut pelayanan yang jujur, transparan, dan penuh dedikasi, karena keputusan dan tindakan pemimpin gereja berdampak langsung pada kehidupan rohani jemaat serta citra gereja di masyarakat. Namun, kenyataannya, di beberapa tempat struktur gereja kadang disalahgunakan untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Keputusan penting terkait penunjukan jabatan bisa dipengaruhi oleh hubungan dekat, loyalitas kelompok, atau bahkan imbalan tertentu, bukan berdasarkan panggilan rohani dan kualifikasi yang sah.
Praktik ini biasanya berlangsung secara halus, tersembunyi, dan sistematis, sehingga sulit disadari oleh jemaat maupun pihak internal gereja yang tidak terlibat langsung. Akibatnya, integritas pelayanan terganggu, kepercayaan jemaat menurun, dan wibawa gereja di hadapan masyarakat menjadi tergerus, sehingga gereja kehilangan kredibilitas dan dihormati lebih rendah oleh jemaat maupun masyarakat luas. Fenomena seperti ini menimbulkan pertanyaan penting: bagaimana struktur yang seharusnya menjadi sarana pelayanan justru bisa dimanfaatkan untuk kepentingan yang salah? Bagaimana jemaat dan pihak internal gereja dapat mengenali tanda-tanda penyalahgunaan wewenang sebelum kerusakan meluas? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, perlu diberikan definisi yang jelas mengenai praktik penyalahgunaan wewenang struktural, serta pemahaman tentang bentuk-bentuk nyata yang sering muncul. Dengan pemahaman ini, setiap tindakan yang merugikan integritas pelayanan dan tata gereja dapat diidentifikasi, dianalisis, dan ditangani secara tepat. Maka, ada beberapa hal yang perlu dipahami agar kita dapat mengenali dan mencegah praktik penyalahgunaan ini:
A. Definisi
Penyalahgunaan wewenang struktural adalah tindakan di mana pihak yang memegang posisi atau otoritas dalam struktur gereja menggunakan kekuasaan atau pengaruhnya untuk menentukan, memanipulasi, atau mengamankan jabatan pendeta/gembala secara tidak sah, tidak transparan, dan bertentangan dengan prosedur serta prinsip Tata Gereja. Definisi ini mencakup beberapa aspek:
1. Pengangkatan jabatan pendeta atau gembala seharusnya dilakukan secara terbuka dan sesuai prosedur resmi Tata Gereja, dengan melibatkan jemaat serta pihak-pihak yang berwenang. Namun, dalam praktik penyalahgunaan wewenang struktural, keputusan penting sering diambil tanpa konsultasi, musyawarah, atau persetujuan pihak terkait, dan biasanya dilakukan di balik layar oleh segelintir orang yang memegang otoritas, sehingga jemaat dan anggota gereja lainnya tidak mengetahui dasar pertimbangan penunjukan. Akibat dari ketertutupan ini, jemaat kehilangan kesempatan untuk memberikan masukan atau memahami alasan penunjukan pemimpin mereka, sementara penunjukan bisa dipengaruhi oleh kepentingan pribadi, kedekatan kelompok, atau loyalitas, bukan kompetensi dan panggilan rohani. Keputusan yang diambil secara tidak transparan tidak hanya menimbulkan ketidakpercayaan terhadap kepemimpinan, tetapi juga memunculkan kecurigaan yang meluas di kalangan jemaat, karena mereka merasa tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan yang seharusnya menyangkut kepentingan rohani bersama. Kondisi ini berpotensi menimbulkan ketidakharmonisan internal, di mana anggota gereja merasa dipinggirkan, suara mereka diabaikan, dan proses pelayanan tidak dijalankan secara adil dan terbuka. Selain itu, ketika pengangkatan jabatan dilakukan berdasarkan pertimbangan pribadi, kedekatan kelompok, atau keuntungan tertentu, integritas pelayanan menjadi terganggu, dan kredibilitas gereja di mata jemaat maupun masyarakat luas ikut menurun. Dengan kata lain, pengangkatan jabatan tanpa transparansi merusak prinsip keadilan, kejujuran, dan integritas yang seharusnya menjadi fondasi pelayanan gereja, sehingga jabatan yang seharusnya diberikan berdasarkan panggilan rohani justru berubah menjadi alat untuk melayani kepentingan segelintir pihak, menggeser fokus dari misi rohani menuju kepentingan pribadi atau kelompok. Fenomena ini tidak hanya melemahkan otoritas pemimpin, tetapi juga menimbulkan dampak jangka panjang berupa perpecahan, konflik internal, dan berkurangnya rasa hormat terhadap lembaga gereja. Selain itu, praktik semacam ini dapat mengikis kepercayaan jemaat terhadap keseluruhan struktur kepemimpinan, menimbulkan rasa skeptis terhadap keputusan gereja, dan memicu kecurigaan yang meluas di kalangan anggota jemaat. Dalam jangka panjang, hal ini dapat merusak persatuan komunitas gereja, mengurangi partisipasi jemaat, dan menimbulkan ketidakadilan, di mana keputusan tampak berpihak pada kelompok tertentu. Akibatnya, gereja yang seharusnya menjadi teladan integritas kehilangan wibawa, kredibilitas, dan pengaruh positifnya di tengah komunitas.
2. Manipulasi dokumen dan proses resmi dalam gereja mencakup pemalsuan surat keputusan, notulen rapat, atau dokumen lain yang seharusnya formal dan sah. Praktik ini dilakukan untuk mendukung pihak tertentu seakan keputusan tersebut sah secara resmi, padahal tujuannya kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Akibat manipulasi semacam ini, jabatan pendeta atau gembala yang sah bisa tersingkir atau kehilangan posisi. Struktur gereja yang seharusnya melindungi integritas pelayanan justru dimanfaatkan untuk menyingkirkan pemimpin yang layak dan memindahkan jabatan kepada pihak kurang tepat demi keuntungan tertentu, menimbulkan kerugian rohani bagi jemaat dan merusak kepercayaan terhadap lembaga gereja. Dampak jangka panjangnya terlihat dari menurunnya partisipasi jemaat, munculnya konflik internal, perpecahan komunitas, dan berkurangnya rasa hormat terhadap pemimpin serta institusi gereja. Praktik semacam ini menimbulkan ketidakadilan, membuat anggota jemaat merasa dipinggirkan, kehilangan motivasi, dan memicu skeptisisme terhadap keputusan struktural. Akibatnya, misi rohani gereja sebagai terang dunia dan teladan integritas terganggu, kepercayaan jemaat menurun, persatuan komunitas melemah, dan generasi muda kehilangan teladan rohani, sehingga pertumbuhan iman serta pembinaan spiritual terhambat. Gereja berisiko kehilangan wibawa, kredibilitas, dan pengaruh positif di masyarakat, serta kesulitan mempertahankan kesetiaan jemaat terhadap pelayanan yang sah. Selain itu, praktik semacam ini dapat menimbulkan keraguan terhadap kepemimpinan, memicu konflik internal yang berkepanjangan, dan mengurangi partisipasi aktif jemaat dalam setiap aspek pelayanan dan pembangunan gereja, sekaligus merusak reputasi institusi di mata masyarakat luas.
3. Pertimbangan pribadi atau kelompok terjadi ketika pengangkatan jabatan pendeta atau gembala tidak lagi didasarkan pada panggilan rohani, integritas, atau kompetensi yang sebenarnya, melainkan dipengaruhi oleh kedekatan pribadi dengan pihak-pihak tertentu, loyalitas kepada kelompok tertentu, atau motivasi untuk memperoleh keuntungan pribadi. Misalnya, di suatu daerah, sebuah jabatan gembala diberikan kepada seseorang hanya karena berasal dari kampung yang sama atau memiliki hubungan saudara dengan pejabat struktural, meskipun calon tersebut belum memiliki pengalaman pelayanan yang memadai atau panggilan rohani yang jelas. Dalam praktik semacam ini, keputusan kepemimpinan cenderung berpihak pada orang-orang yang memiliki hubungan dekat dengan pejabat struktural atau mampu memberikan keuntungan tertentu, baik dalam bentuk materi maupun dukungan politik internal. Akibatnya, pemimpin yang benar-benar memenuhi kriteria rohani dan moral bisa tersingkirkan, sementara orang yang kurang layak menduduki posisi strategis dalam gereja. Fenomena ini tidak hanya merusak integritas pelayanan, tetapi juga menimbulkan ketidakadilan, menurunkan kepercayaan jemaat terhadap kepemimpinan, dan mengikis persatuan komunitas gereja. Dalam banyak kasus, anggota jemaat menjadi frustrasi karena melihat pengangkatan yang jelas-jelas berpihak pada hubungan pribadi, sehingga partisipasi dan motivasi mereka untuk terlibat dalam pelayanan berkurang. Dengan kata lain, kepentingan pribadi dan kelompok mengambil alih tujuan rohani, sehingga gereja berisiko kehilangan wibawa, kredibilitas, dan kemampuan untuk membimbing jemaat secara benar, serta menimbulkan konflik internal yang berkepanjangan, merusak persatuan dan kepercayaan jemaat.
4. Pelanggaran Prinsip Tata Gereja. Praktik pengambilalihan jemaat (Caplok Mencaplok), penggembalaan, atau penggunaan nama dan logo Sinode tanpa melalui prosedur resmi merupakan pelanggaran serius terhadap prinsip Tata Gereja, karena tindakan tersebut tidak hanya menyimpang dari aturan formal, tetapi juga mencerminkan sikap tidak menghargai otoritas rohani yang telah ditetapkan. Tata Gereja pada dasarnya disusun untuk menjaga ketertiban, kejelasan struktur, serta memastikan bahwa setiap keputusan yang diambil benar-benar didasarkan pada asas rohani, etika, dan tanggung jawab pelayanan. Oleh karena itu, setiap bentuk tindakan yang dilakukan di luar ketentuan resmi berpotensi merusak integritas pelayanan, melemahkan kewibawaan gereja, dan menimbulkan kebingungan serta perpecahan di tengah jemaat. Tata Gereja secara tegas mengatur bahwa setiap jemaat, cabang, maupun gembala berada dalam struktur organisasi yang sah dan berwenang, sehingga segala bentuk keputusan dan pelayanan harus berlandaskan pada prosedur resmi yang berlaku. Ketika prinsip ini dilanggar, maka ada beberapa akibat serius:
4.1. Pelanggaran Prosedural. Pelanggaran prosedural terjadi ketika proses administrasi yang sudah ditetapkan dalam Tata Gereja tidak dijalankan sebagaimana mestinya. Misalnya, penyerahan jemaat yang seharusnya dilakukan secara resmi melalui surat pernyataan tertulis justru diabaikan atau diputarbalikkan demi mendukung kepentingan kelompok tertentu. Begitu pula dengan penerbitan Surat lapor Gereja yang seharusnya mencantumkan status jelas apakah sebuah gereja berdiri sendiri atau menjadi cabang dari gereja induk, namun dalam praktiknya sering diterbitkan tanpa mengikuti ketentuan tersebut, bahkan terkadang disalahgunakan untuk melegalkan status yang keliru. Selain itu, penetapan gembala yang seharusnya dilakukan berdasarkan prosedur tahbisan dan pengesahan resmi dari gembala induk serta persetujuan struktur yang berwenang, seringkali dipengaruhi oleh intervensi pihak tertentu yang memiliki kepentingan pribadi atau kelompok. Tidak jarang, seseorang yang belum memenuhi syarat rohani maupun administratif justru diangkat sebagai gembala hanya karena kedekatan dengan pengurus atau karena adanya keuntungan tertentu. Lebih jauh lagi, koordinasi yang seharusnya berjalan secara berjenjang antara jemaat, gembala induk, serta Pengurus Daerah, hingga Sinode, diabaikan begitu saja. Alur komunikasi yang resmi tidak dijalankan, melainkan dilompati, sehingga menimbulkan kekacauan dalam struktur organisasi. Misalnya, Sebuah kelompok jemaat langsung berhubungan dengan pengurus daerah atau sinode tanpa persetujuan gembala induk, lalu memperoleh legitimasi sepihak tanpa proses klarifikasi yang sah. Semua bentuk pengabaian prosedur ini pada akhirnya menciptakan ketidaktertiban dalam tubuh organisasi gereja, membuka ruang manipulasi kepentingan, dan merusak tatanan pelayanan yang seharusnya dijalankan dengan tertib, transparan, dan penuh integritas. Sebagai contoh, pernah terjadi pada sebuah jemaat di wilayah pesisir yang jumlah anggotanya cukup banyak dan memiliki potensi ekonomi yang baik. Jemaat tersebut secara tiba-tiba diambil alih oleh pengurus daerah tanpa melalui koordinasi dan persetujuan dengan gereja induk yang sah. Proses pengambilalihan ini dijalankan begitu saja, bahkan dianggap wajar dan lumrah oleh sebagian pihak dengan alasan “demi kemajuan pelayanan,” padahal sesungguhnya hal itu merupakan bentuk pengabaian prosedur Tata Gereja. Fenomena seperti ini mencerminkan budaya “caplok mencaplok” jemaat yang dilandasi ambisi kekuasaan dan kepentingan kelompok tertentu, bukan berdasarkan panggilan rohani atau aturan yang berlaku. Praktik semacam ini jelas berbahaya karena menimbulkan preseden buruk, di mana jemaat dapat diperlakukan sebagai objek perebutan kekuasaan, bukan sebagai ladang pelayanan. Oleh sebab itu, tindakan seperti ini seharusnya ditindak secara tegas, baik melalui mekanisme hukum Tata Gereja maupun aturan hukum Negara, agar tidak terus berulang dan merusak keutuhan pelayanan serta kesaksian gereja di tengah masyarakat.
4.2. Pelanggaran Etika Rohani. Tindakan merebut jemaat atau mendirikan gereja dengan memanfaatkan nama sinode secara ilegal merupakan bentuk pelanggaran serius terhadap etika rohani. Prinsip kerendahan hati, ketaatan, dan penghormatan terhadap otoritas gereja yang seharusnya menjadi dasar pelayanan, justru diabaikan dan digantikan dengan ambisi pribadi maupun kepentingan kelompok tertentu. Sebagai ilustrasi, dalam sebuah kasus jemaat pesisir, sekelompok anggota jemaat yang sebenarnya tidak memiliki kedudukan resmi sebagai pejabat gerejawi tiba-tiba menyatakan diri keluar dari gereja induk. Mereka kemudian mendirikan organisasi tandingan dan dengan sesuka hati mengklaim bahwa kelompok mereka adalah “gereja yang sah.” Klaim ini tidak didasarkan pada prosedur Tata Gereja, melainkan hanya pada dukungan sepihak dari oknum pengurus daerah. Bahkan, mereka berani memanfaatkan nama dan identitas sinode untuk memperkuat posisi mereka, lalu menyebarkan pengakuan palsu di media sosial seolah-olah gereja baru tersebut legal dan memiliki legitimasi penuh. Lebih jauh lagi, tindakan tidak etis ini disertai dengan intimidasi terhadap gembala induk yang sah. Gembala yang telah berjerih lelah membina jemaat tersebut justru ditendang keluar dengan cara yang tidak hormat. Jemaat pesisir ini kemudian dengan lantang menyuarakan: “Kami adalah gereja sah, karena didukung ketua daerah!” Pernyataan arogan seperti ini menunjukkan sikap tidak menghormati kepemimpinan rohani, melukai integritas pelayanan, sekaligus menyingkapkan adanya oknum pengurus wilayah yang turut menjadi “bekingan” praktik tidak sehat, padahal seharusnya mereka menjadi penjaga tata tertib gereja. Fenomena semacam ini jelas bertentangan dengan etika rohani yang diajarkan Alkitab, di mana jemaat dipanggil untuk hidup dalam kasih, kerendahan hati, dan ketaatan terhadap tatanan yang sah. Ketika etika rohani dikesampingkan, gereja kehilangan wajah Kristus sebagai teladan kasih dan pelayanan, lalu berubah menjadi arena konflik, perebutan, dan ambisi pribadi. Karena itu, praktik ini tidak hanya melanggar Tata Gereja, tetapi juga merusak kesaksian gereja di hadapan jemaat maupun masyarakat luas, melemahkan iman generasi muda, mengaburkan nilai kebenaran, serta menodai identitas gereja sebagai tubuh Kristus, menimbulkan kebingungan rohani, memicu perpecahan internal, membuka celah bagi masuknya ajaran sesat, serta menghancurkan kepercayaan umat terhadap kepemimpinan rohani.
4.3. Merusak Kesatuan Tubuh Kristus. Tata Gereja bukan hanya sekadar kumpulan aturan administratif yang bersifat teknis, tetapi merupakan pedoman hidup berjemaat yang berakar pada Firman Tuhan untuk menjaga kesatuan dan keharmonisan tubuh Kristus. Kesatuan ini adalah wujud nyata dari doa Tuhan Yesus sendiri: “supaya mereka semua menjadi satu” (Yoh. 17:21). Namun, ketika ada pihak yang melanggar Tata Gereja dan memilih berjalan dengan caranya sendiri, sesungguhnya ia bukan hanya menolak aturan organisasi, melainkan juga menolak prinsip ilahi tentang keteraturan dan kesatuan tubuh Kristus. Dari sikap tersebut timbullah berbagai akibat yang merusak kehidupan gereja. Pelayanan yang seharusnya menjadi satu kesatuan di bawah seorang gembala terpecah menjadi kelompok-kelompok yang saling berseberangan. Hal ini bertentangan dengan ajaran Paulus yang menegaskan: “Kamu adalah tubuh Kristus dan kamu masing-masing adalah anggotanya” (1 Kor. 12:27), sebab tubuh yang terpecah tidak mungkin berfungsi dengan sehat. Selain itu, suasana pelayanan berubah menjadi ajang perselisihan, adu argumen, dan klaim kebenaran yang berujung pada pertengkaran. Paulus sendiri pernah memperingatkan jemaat di Korintus yang terpecah karena memilih-milih pemimpin rohani: “Aku dari golongan Paulus, aku dari golongan Apolos” (1 Kor. 1:12). Situasi seperti ini jelas menunjukkan bahwa melawan tata tertib rohani hanya akan melahirkan roh perpecahan. Lebih jauh lagi, ketika struktur dan aturan tidak dihormati, kepercayaan di antara jemaat maupun pelayan perlahan terkikis dan digantikan oleh rasa curiga, fitnah, serta kecurigaan yang saling menghancurkan. Padahal kesatuan seharusnya melahirkan kasih dan kepercayaan yang menjadi kesaksian gereja di hadapan dunia, sebagaimana Yesus katakan bahwa dunia akan percaya melalui kesatuan umat-Nya (Yoh. 17:23). Dalam konteks ini, jika ada pihak dari struktur organisasi yang justru merusak kesatuan tubuh Kristus dan menimbulkan perpecahan dalam lingkup Sinode, maka ia harus ditindak tegas, bahkan dicopot dari jabatannya. Sebab tindakannya lebih berbahaya daripada pelanggaran moral pribadi, karena menyentuh akar kesatuan tubuh Kristus dan menghancurkan tatanan pelayanan secara keseluruhan. Oleh karena itu, pihak Sinode jangan hanya tegas dalam menindak pendeta yang jatuh dalam kasus moral, tetapi juga harus berani memberhentikan pejabat atau pengurus yang menyalahgunakan kewenangan dan menabur perpecahan. Jika perbuatannya mengakibatkan kerugian materi, reputasi, maupun kerusakan organisasi, maka kasus tersebut layak dibawa hingga ranah hukum negara, agar keadilan ditegakkan dan nama gereja tidak semakin tercoreng. Dengan demikian, jelas bahwa pelanggaran terhadap Tata Gereja sama artinya dengan merusak kesatuan tubuh Kristus. Tata Gereja tidak pernah dimaksudkan untuk membatasi kebebasan umat, melainkan untuk mengarahkan, melindungi, dan memastikan agar pelayanan tetap berada dalam koridor kasih, ketaatan, dan ketertiban ilahi, sehingga setiap hamba Tuhan bertindak benar, dewasa, bertanggung jawab, dan setia kepada panggilan Kristus, menjaga kemurnian ajaran, menghormati otoritas, meneladani Kristus dalam pelayanan, serta membangun kesaksian yang hidup dan berpengaruh di tengah dunia.
4.4. Menghancurkan Integritas Pelayanan. Pelanggaran prinsip Tata Gereja tidak hanya mencoreng wibawa organisasi, tetapi juga merusak kepercayaan jemaat terhadap pemimpin maupun struktur kepemimpinan gereja. Integritas merupakan fondasi utama pelayanan, sebab tanpa integritas, semua bentuk program, visi, maupun pelayanan rohani kehilangan makna dan kekuatan rohaninya. Gereja yang seharusnya menjadi teladan kebenaran dan keteladanan Kristus justru berubah menjadi arena perebutan kepentingan, di mana otoritas disalahgunakan, kekuasaan dipertontonkan, dan nilai-nilai rohani dikorbankan demi ambisi pribadi atau kelompok. Salah satu contoh yang mencerminkan rusaknya integritas pelayanan adalah kisah seorang sekretaris daerah dalam struktur gereja yang dengan beraninya melontarkan kata-kata kasar kepada seorang gembala yang sudah merintis jemaat sejak nol. Alih-alih menghargai jerih payah, pengorbanan, dan ketekunan gembala tersebut, sang sekretaris justru menunjukkan sikap arogan karena ambisinya untuk “mencaplok” jemaat yang telah dibangun dengan susah payah. Tindakan semacam ini menunjukkan pola terstruktur yang berorientasi pada perebutan jemaat dan kekuasaan. Jika dibiarkan, struktur gereja terkontaminasi kepentingan pribadi, sehingga bukan memperkuat pelayanan, malah merusaknya dari dalam. Gereja pun kehilangan wajah kasih Kristus dan menampilkan keserakahan serta penyelewengan kuasa. Karena itu, struktur yang rusak harus dibubarkan, direformasi, dan diganti dengan kepemimpinan yang takut akan Tuhan dan berorientasi pada pelayanan sejati.
Dengan demikian, praktik semacam ini tersebut diatas bukan sekadar pelanggaran administratif, melainkan juga pelanggaran moral dan rohani yang secara langsung merusak fondasi pelayanan gereja. Jabatan pendeta atau gembala yang seharusnya lahir dari panggilan ilahi dan ditopang oleh integritas rohani, justru diputarbalikkan menjadi alat kepentingan pribadi maupun kelompok. Penyalahgunaan wewenang struktural ini menggeser pelayanan dari tujuan utamanya, yaitu memuliakan Kristus dan membangun jemaat, menjadi sarana ambisi, perebutan kuasa, dan keuntungan duniawi. Akibatnya, kepercayaan jemaat terhadap pemimpin melemah, integritas pelayanan terkikis, dan wibawa gereja di mata masyarakat runtuh.
Lebih jauh lagi, jika praktik seperti ini dibiarkan, maka gereja perlahan kehilangan otoritas moralnya sebagai terang dan garam dunia. Jemaat akan kebingungan dalam membedakan kebenaran dan manipulasi, sehingga kesaksian gereja di hadapan masyarakat luas semakin tercoreng. Oleh karena itu, fenomena penyalahgunaan wewenang harus dipandang bukan hanya sebagai persoalan teknis organisasi, melainkan sebagai masalah serius yang mengancam identitas gereja sebagai tubuh Kristus. Dengan pemahaman ini, setiap bentuk penyalahgunaan wewenang dapat dianalisis secara objektif, diidentifikasi akar penyebabnya, dan ditangani dengan langkah-langkah yang tegas serta bijaksana. Gereja perlu membangun sistem pengawasan yang sehat, kepemimpinan yang transparan, serta keberanian untuk menindak setiap pelanggaran, agar pelayanan tetap murni, berintegritas, dan setia pada panggilan Kristus, sekaligus menjaga kepercayaan jemaat, memulihkan kehormatan gereja, menegakkan nilai kebenaran, serta memastikan agar setiap keputusan pelayanan lahir dari kasih, takut akan Tuhan, dan tanggung jawab rohani yang mendalam.
B. Bentuk Praktik
Penyalahgunaan wewenang dalam pelayanan gereja bukan hanya terlihat dari sikap atau motivasi yang keliru, tetapi juga nyata dalam bentuk-bentuk praktik yang dapat diamati secara langsung. Praktik-praktik ini mencerminkan adanya penyimpangan dari nilai-nilai rohani, etika pelayanan, serta prinsip Tata Gereja yang seharusnya dijunjung tinggi. Berikut adalah beberapa bentuk nyata yang sering muncul dalam tubuh gereja ketika kepentingan pribadi atau kelompok lebih diutamakan daripada panggilan rohani:
1. Pemaksaan keputusan dari atas tanpa musyawarah jemaat. Keputusan yang seharusnya lahir dari musyawarah, doa bersama, dan keterlibatan jemaat seringkali dipaksakan dari atas oleh pihak atau struktur yang berwenang. Proses pengambilan keputusan yang seharusnya dilakukan dengan penuh kerendahan hati, keterbukaan, dan mendengar suara Roh Kudus melalui jemaat justru digantikan dengan pola otoriter yang menutup ruang partisipasi. Tanpa melibatkan gembala lokal dan jemaat yang sehari-hari berjerih lelah membangun pelayanan, keputusan sepihak itu dijalankan seolah-olah lebih tinggi dan lebih berotoritas daripada prinsip kebersamaan yang diajarkan dalam Alkitab. Akibatnya, jemaat yang seharusnya merasa menjadi bagian penting dari tubuh Kristus justru mengalami luka batin, kehilangan rasa memiliki, dan merasa diremehkan. Suara mereka seakan tidak berarti, padahal mereka adalah anggota tubuh yang sah, yang menurut Paulus dalam 1 Korintus 12 memiliki fungsi dan peran yang sama berharganya di hadapan Tuhan. Situasi ini akhirnya mengikis semangat persekutuan, menimbulkan kekecewaan, bahkan melahirkan ketidakpercayaan terhadap pemimpin atau struktur gereja. Padahal, prinsip rohani yang benar menekankan bahwa “segala sesuatu hendaklah dilakukan untuk membangun” (1 Kor. 14:26), artinya setiap keputusan harus mengarah pada penguatan iman, penghiburan, dan pertumbuhan jemaat, bukan untuk memaksakan kehendak sekelompok kecil orang yang bersembunyi di balik otoritas struktural. Gereja dipanggil untuk berjalan dalam roh kebersamaan, di mana keputusan dihasilkan bukan dengan otoritas yang menindas, melainkan dengan hikmat, doa, kasih, dan semangat musyawarah yang menghormati setiap anggota tubuh Kristus. Karena itu, setiap bentuk pemaksaan keputusan tanpa melibatkan jemaat sesungguhnya adalah bentuk pengkhianatan terhadap prinsip kesetaraan tubuh Kristus. Gereja bukan milik sekelompok elit, tetapi milik Kristus, di mana setiap jemaat berhak didengar, dipedulikan, dan diikutsertakan dalam proses pengambilan keputusan demi kemuliaan Tuhan, bukan demi kepentingan pribadi atau kelompok tertentu..
2. Manipulasi dokumen atau surat keputusan. Praktik penyalahgunaan wewenang juga sering terjadi melalui manipulasi dokumen, seperti penerbitan Surat Lapor Gereja, surat keputusan pengangkatan gembala, atau administrasi jemaat. Dokumen-dokumen yang seharusnya berfungsi sebagai alat ketertiban, keteraturan, dan legalitas pelayanan justru dipelintir demi kepentingan kelompok tertentu. Dengan cara ini, jemaat yang sah bisa diabaikan, gembala yang dengan setia merintis pelayanan dari nol dapat disingkirkan, sementara pihak lain yang memiliki kedekatan dengan pengurus justru memperoleh legitimasi palsu yang tidak sesuai Tata Gereja, merugikan jemaat, mencederai kebenaran, serta menimbulkan preseden buruk bagi pelayanan struktural Gereja atau Sinode. Ada sebuah kisah nyata mengenai seorang ketua daerah yang merasa dirinya berkuasa penuh dan tak tersentuh, sehingga terkenal dengan sebutan “Pdt. Capmen” (Caplok Mencaplok). Dengan gaya yang seolah-olah rohani, ia menggunakan bahasa manipulatif yang terdengar manis namun menyesatkan, disertai pemahaman teologi yang ngawur. Bersama dengan tim kerjanya, ia terbiasa memainkan dokumen untuk mencaplok dan menyingkirkan penggembalaan yang dipandang menguntungkan bagi kelompoknya. Dengan terang-terangan ia bahkan membela pihak pembangkang tanpa rasa malu, seakan-akan urat rasa malunya sudah putus. Bagi mereka, memainkan dan memanipulasi dokumen adalah hal biasa, dianggap lumrah, bahkan tidak dianggap sebagai dosa, padahal jelas-jelas merusak tatanan ilahi. Praktik semacam ini bukan hanya melanggar hukum Tata Gereja, tetapi juga meruntuhkan nilai kejujuran, integritas, dan kebenaran yang menjadi dasar pelayanan rohani. Jika orang-orang seperti ini tetap dibiarkan, maka gereja akan kehilangan wajah Kristus dan berubah menjadi organisasi kotor yang penuh intrik. Karena itu, sinode harus berani bertindak tegas dengan memecat manusia-manusia perusak ini, agar tubuh Kristus kembali bersih, pelayanan dipulihkan, dan nama Tuhan dimuliakan. Gereja tidak boleh dibiarkan menjadi tempat transaksi, manipulasi, dan perebutan kepentingan, melainkan harus tetap berdiri kokoh sebagai rumah Tuhan yang kudus, penuh kasih, dan berlandaskan kebenaran, sehingga setiap jemaat dapat merasakan keamanan rohani, gembala dapat melayani dengan tulus tanpa tekanan, dan kesaksian gereja tetap bercahaya di tengah dunia yang semakin gelap, penuh tantangan, dan haus akan kebenaran, menjadi pelita yang menuntun jiwa-jiwa tersesat kembali kepada kasih karunia Kristus yang menyelamatkan.
3. Pemberian legitimasi kepada pihak tertentu demi keuntungan pribadi. Ada kalanya struktur organisasi memberikan pengakuan atau dukungan kepada pihak tertentu bukan karena ketaatan mereka kepada Tuhan, melainkan karena kedekatan pribadi, loyalitas kelompok, atau keuntungan materi. Akibatnya, pihak yang tidak sah tiba-tiba diakui sebagai gembala atau pemimpin jemaat, sementara jemaat asli dan gembala sejati yang merintis pelayanan dengan setia justru diabaikan. Praktik semacam ini sangat berbahaya karena mengubah pelayanan menjadi arena politik kepentingan, bukan lagi wadah kudus untuk melayani jiwa-jiwa. Ketika legitimasi diberikan dengan cara yang salah, integritas gereja runtuh, kepercayaan jemaat hilang, dan masyarakat melihat gereja sebagai organisasi yang sama korupnya dengan lembaga duniawi. Contohnya, ada sekumpulan jemaat yang dipimpin oleh seseorang bernama Sibaluhab, dan seluruh masyarakat sekitar—bahkan yang berbeda agama—sudah mengenal kelompok ini sebagai biang kerok perusak gereja. Nama mereka sudah begitu terkenal, sampai ke langit ketujuh. Namun, karena ketua daerah dan timnya yang bermata hijau tergiur oleh uang, kemegahan bangunan gereja, serta faktor kedekatan kampung halaman, semua tindakan mereka dianggap halal. Akibatnya, pendeta yang menggembalakan jemaat dengan setia justru disingkirkan melalui permainan dokumen, bahkan diberi stigma dengan kata-kata merendahkan: “woi, lu bukan gembala resmi! SK aja nggak punya, jadi jangan banyak gaya lu!” padahal gembala itu adalah sebagai gembala otonom yang buka cabang dan memiliki Surat lapor Gereja. Inilah yang sangat berbahaya, karena ketika kepentingan pribadi lebih diutamakan daripada kebenaran Firman Tuhan, maka gereja kehilangan arah, wajah Kristus dikaburkan, dan jemaat menjadi korban dari keserakahan manusia.
4. Jabatan diperlakukan layaknya barang dagangan, bukan panggilan rohani. Hal yang paling memprihatinkan adalah ketika jabatan rohani, seperti pendeta atau gembala, diperlakukan layaknya barang dagangan yang bisa dinegosiasikan, diperebutkan, bahkan diperdagangkan demi keuntungan. Jabatan yang seharusnya lahir dari panggilan Tuhan, kesetiaan dalam pelayanan, dan pengorbanan yang tulus, justru diturunkan nilainya menjadi alat tawar-menawar kekuasaan dan materi. Praktik semacam ini mereduksi makna pelayanan menjadi sesuatu yang profan, kehilangan kesakralannya, dan menjauh dari semangat panggilan ilahi. Kondisi ini sama sekali bertentangan dengan teladan Kristus yang datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan memberikan nyawa-Nya bagi banyak orang (Mat. 20:28). Lebih ironis lagi, ada ketua daerah beserta pengurus sinode di wilayah pesisir yang tergiur dengan jumlah perpuluhan yang mereka pikir besar, sehingga rela menutup mata terhadap kebenaran. Mereka bahkan menganggap perpuluhan itu sebagai sumber penghidupan untuk keluarganya, padahal uang tersebut menjadi najis di hadapan Allah, sebab diperoleh melalui cara-cara licik dan manipulatif. Dengan iming-iming itu, mereka memberikan jabatan pendeta dan gembala kepada pihak yang sebenarnya tidak layak, hanya demi kepentingan perut dan keuntungan sesaat. Jika jabatan dijadikan komoditas, maka gereja sesungguhnya telah jatuh ke dalam praktik penyembahan modern terhadap kekuasaan dan uang. Pelayanan berubah menjadi pasar rohani penuh intrik, kehilangan kekudusan, dan menodai wibawa gereja. Jika dibiarkan, hal ini merusak integritas, mematikan harapan jemaat, dan menjadikan pemimpin rohani pedagang kepentingan. Karena itu, komersialisasi jabatan harus dihentikan, sebab jabatan rohani panggilan suci, bukan alat keuntungan.
BAB II
DAMPAK NEGATIF JUAL BELI
JABATAN PENDETA DAN GEMBALA
Praktik jual beli jabatan rohani bukan sekadar persoalan administratif, melainkan masalah serius yang menimbulkan konsekuensi mendalam bagi seluruh tubuh gereja. Jabatan rohani—seperti pendeta atau gembala—seharusnya lahir dari panggilan Tuhan, dedikasi dalam pelayanan, pengorbanan pribadi, dan kesetiaan untuk membimbing jemaat dalam kebenaran. Namun, ketika jabatan ini dijadikan alat tawar-menawar, diperebutkan, atau diperjualbelikan demi keuntungan pribadi atau kelompok, maka fondasi iman jemaat terguncang, integritas pelayanan runtuh, struktur organisasi gereja menjadi rapuh, menimbulkan ketidakadilan, memecah persatuan jemaat, dan mengikis rasa hormat terhadap pemimpin rohani..
Fenomena ini tidak hanya merusak hubungan antara jemaat dan pemimpin, tetapi juga menimbulkan ketidakpercayaan terhadap institusi gereja secara keseluruhan. Pelayanan yang seharusnya menjadi sarana pertumbuhan rohani dan teladan iman berubah menjadi arena konflik, perebutan kekuasaan, manipulasi kepentingan, ketidakadilan, kecurigaan, dan perselisihan internal yang berkepanjangan. Dampak negatifnya menyentuh berbagai aspek: dari kualitas kehidupan rohani jemaat, tatanan organisasi gereja, integritas dokumen dan prosedur, hingga persatuan komunitas dan kesaksian gereja di tengah masyarakat. Oleh karena itu, sebelum membahas dampak secara spesifik, penting untuk memahami bahwa praktik semacam ini mengancam misi utama gereja sebagai tubuh Kristus yang hidup, kudus, dan bersaksi di dunia. Berikut uraian dampak yang muncul:
1. Rohani – Jual beli jabatan mengaburkan panggilan Tuhan dan menurunkan kualitas pelayanan. Pemimpin yang diperoleh melalui mekanisme komersial sering kali tidak memiliki kesungguhan rohani atau ketulusan pelayanan, sehingga iman jemaat terancam. Jemaat kehilangan teladan rohani yang benar, pertumbuhan iman terganggu, dan atmosfer doa serta kesaksian menjadi lemah. Pangkal panggilan ilahi yang seharusnya menjadi dasar pelayanan tergeser oleh motif keuntungan, sehingga pelayanan kehilangan kesucian dan makna rohani. Fenomena ini dapat dilihat, misalnya, pada sebuah jemaat pesisir yang seluruhnya dikendalikan oleh pihak-pihak yang memanfaatkan kepentingan pribadi, mengedepankan kepura-puraan dan akal-akalan untuk mencari keuntungan materi atau status. Rohani mereka telah digerogoti oleh kepentingan duniawi, sehingga semangat ibadah dan pelayanan rohani hampir hilang, diganti oleh kepentingan pragmatis dan manipulasi. Lebih parah lagi, pengurus struktural setempat justru mendukung dan menutup mata terhadap praktik semacam ini, karena mereka sejalan dengan motif yang sama—mementingkan kekuasaan, uang, atau posisi. Akibatnya, struktur rohani yang semestinya menjadi wadah pembinaan iman dan kesucian pelayanan menjadi ternodai, jemaat kehilangan arah rohani, dan gereja tidak lagi mencerminkan wajah Kristus sebagai teladan kasih, kebenaran, dan kesetiaan kepada panggilan Tuhan. Jika dibiarkan, situasi ini akan menimbulkan generasi jemaat yang sekadar mengikuti praktik manipulatif, tanpa memahami nilai rohani dan panggilan Tuhan yang sejati, sehingga pelayanan gereja pun secara sistematis terdegradasi menjadi arena intrik, kepentingan, dan kepalsuan rohani, serta melemahkan kesatuan jemaat, kepercayaan masyarakat, dan otoritas kepemimpinan rohani.
2. Struktural – Gereja berubah menjadi organisasi bisnis, bukan tubuh Kristus. Jabatan rohani yang seharusnya lahir dari ketaatan, integritas, dan pemanggilan Tuhan justru diperlakukan sebagai komoditas yang bisa diperjualbelikan atau diperebutkan demi keuntungan pribadi maupun kelompok tertentu. Struktur yang sesungguhnya dirancang untuk menjaga kesatuan, keteraturan, dan keberlangsungan pelayanan tubuh Kristus, malah disalahgunakan sebagai alat untuk meraih kuasa, menguatkan posisi tertentu, atau menyingkirkan pemimpin yang sah. Akibatnya, tata kelola gereja menjadi kacau, musyawarah dan koordinasi yang seharusnya membangun persatuan diabaikan, dan setiap keputusan strategis diambil berdasarkan kepentingan individu, kelompok, atau materi, bukan kepentingan rohani jemaat. Fenomena ini juga membuat proses administrasi dan legalitas gereja tidak berjalan dengan tertib; penerbitan dokumen resmi, pengangkatan gembala, dan penetapan kebijakan sering dimanipulasi untuk melayani ambisi tertentu, bukan untuk membimbing jemaat. Di beberapa daerah pesisir, misalnya, pengurus wilayah struktural menunjukkan ambisi luar biasa untuk “mencaplok” gereja yang terlihat menguntungkan. Mereka secara sengaja menghilangkan dokumen-dokumen inti cabang gereja, menyusun strategi licik, dan memprovokasi jemaat agar menyingkirkan gembala sah. Tujuannya jelas: memperoleh kontrol penuh atas gereja demi keuntungan pribadi dan kelompok. Tindakan ini memperlihatkan pola perilaku para pendeta pengurus wilayah yang hanya berorientasi pada perebutan kekuasaan, mentalnya malas, dan berperan sebagai perusak keharmonisan gereja dalam satu wadah sinode. Pada akhirnya, tubuh Kristus yang seharusnya bersatu dalam kasih dan ketaatan terhadap Firman Tuhan berubah menjadi arena politik internal yang memecah belah, mengikis kepercayaan jemaat, dan merusak kesaksian gereja di hadapan masyarakat luas. Keadaan semacam ini memperlihatkan bahwa ketika struktur gereja sudah terkontaminasi oleh ambisi pribadi, sinode harus berani mengambil tindakan tegas untuk membersihkan dan merestorasi kepemimpinan agar pelayanan tetap murni dan sah secara rohani. Bagi para pendeta atau gembala yang terzolimi akibat perilaku pengurus struktural yang kurang ajar dan manipulatif, tidak cukup hanya berdoa atau bersabar. Mereka harus berani menegakkan kebenaran dan keadilan dengan menempuh jalur yang benar, yakni membawa persoalan ini ke ranah hukum gereja, menuntut pertanggungjawaban, dan bila perlu menindak secara pidana jika tindakan pengurus tersebut menimbulkan kerugian atau merusak pelayanan. Langkah ini penting agar menjadi contoh tegas bahwa tidak ada ruang bagi individu atau pengurus struktural yang menyalahgunakan jabatan untuk kepentingan pribadi, dan agar gereja tetap bersih, adil, dan berintegritas, melindungi hamba Tuhan yang setia serta menjaga kesucian pelayanan bagi seluruh jemaat. Pihak sinode tidak boleh hanya berani memecat pendeta yang mungkin dituduh melakukan kesalahan moral, tetapi juga harus tegas memecat dan mengeluarkan dari sinode mereka yang melakukan kejahatan struktural secara berkelompok. Tidak boleh ada toleransi atau kesempatan lagi bagi mereka yang tidak menunjukkan niat untuk bertobat, agar tubuh gereja tetap suci, aman, terjaga dari praktik penyalahgunaan kekuasaan yang merusak, serta menjadi teladan ketaatan, integritas, kesetiaan, dan kepatuhan penuh kepada panggilan Kristus bagi seluruh jemaat.
3. Etika & Hukum – Praktik jual beli jabatan atau pengangkatan yang tidak sah berpotensi menimbulkan penipuan, pemalsuan dokumen, serta penyalahgunaan jabatan yang merugikan jemaat maupun gereja secara keseluruhan. Surat keputusan, dokumen administrasi, atau legitimasi kepemimpinan sering dimanipulasi untuk memberikan keuntungan bagi pihak tertentu, baik secara materi maupun posisi strategis. Tindakan semacam ini jelas melanggar hukum Tata Gereja, karena setiap keputusan rohani seharusnya lahir dari prosedur resmi, transparan, dan penuh tanggung jawab, bukan dari ambisi pribadi atau kelompok. Lebih jauh, praktik ini juga dapat berimplikasi pada ranah hukum negara apabila menimbulkan kerugian materiil, pencemaran nama baik, atau penyalahgunaan aset gereja. Dari sisi etika, perilaku semacam ini menyalahi prinsip pelayanan rohani yang menekankan kejujuran, integritas, dan tanggung jawab moral, sehingga menimbulkan budaya manipulatif, ketidakpercayaan, dan konflik internal dalam tubuh gereja. Fenomena ini tidak hanya merusak reputasi pemimpin dan lembaga gereja, tetapi juga melemahkan kesaksian Kristus di mata jemaat maupun masyarakat luas, karena pelayanan rohani yang seharusnya menjadi teladan kebenaran berubah menjadi arena intrik dan kepentingan pribadi. Sosial – Jemaat terpecah, timbul konflik internal, bahkan lahir gereja tandingan. Ketika kepemimpinan diambil alih melalui praktik yang tidak sah, rasa kepercayaan jemaat terhadap pemimpin dan institusi menurun drastis. Konflik internal sering muncul karena perbedaan loyalitas dan pertentangan kepentingan. Dalam kasus ekstrem, sebagian jemaat bahkan memilih membentuk gereja tandingan atau cabang ilegal, sehingga persatuan komunitas gereja hancur dan kesaksian di hadapan masyarakat ternoda. Salah satu contoh nyata terjadi di sebuah jemaat pesisir, di mana sekelompok besar pemberontak—mulai dari anak muda hingga orang tua—dikendalikan oleh roh pemberontak dan perilaku manipulatif. Salah satu tokoh utamanya, Baluhab, bersama istrinya Manang Katera, berasal dari keluarga yang terbiasa dengan sikap manipulatif, curang, dan tidak menghormati otoritas rohani.. Mereka, bersama pengikutnya, membentuk gereja tandingan dari jemaat yang sebelumnya dibina oleh gereja induk, menguasai jemaat melalui kebohongan, intimidasi, dan manipulasi dokumen. Saat mencoba bergabung dengan sinode baru, mereka bertemu dengan pengurus struktural yang juga terjerat roh mata duit, sehingga tercipta komunitas yang bekerja demi kepentingan pribadi dan duniawi, bukan pelayanan Tuhan. Semua data, dokumen, dan legitimasi yang mereka klaim berasal dari cara-cara manipulatif, pemberontakan, serta penghinaan terhadap gembala sah. Fenomena ini menunjukkan betapa bahayanya kombinasi pemberontakan jemaat dan pengurus struktural yang korup: gereja yang seharusnya menjadi rumah Tuhan justru menjadi arena intrik, penipuan, dan dominasi roh jahat, sehingga merusak kesatuan, integritas, dan kesaksian rohani di tengah masyarakat.
Dampak negatif jual beli jabatan pendeta dan gembala tidak bisa dianggap sepele. Dari sisi rohani, struktural, etika, dan sosial, fenomena ini melemahkan tubuh Kristus, merusak integritas pelayanan, dan menimbulkan kerusakan yang bisa bertahan lama. Oleh karena itu, setiap upaya komersialisasi jabatan harus dihentikan. Gereja perlu menegakkan mekanisme transparan dan adil berlandaskan panggilan Tuhan, agar pelayanan tetap murni, jemaat terlindungi, dan kesatuan tubuh Kristus terjaga, sehingga gereja tetap menjadi terang, berkat, dan rumah Tuhan yang kudus.
BAB III
JUAL BELI JABATAN PENDETA DAN GEMBALA
MELALUI PENYALAHGUNAAN
KEKUASAAN STRUKTURAL
Melalui penyalahgunaan kekuasaan struktural, praktik ini tidak hanya menjadi pelanggaran administratif biasa, melainkan sebuah pelanggaran serius yang menyasar inti prinsip rohani, etika, dan ketertiban tata gereja. Jabatan rohani, yang seharusnya lahir dari panggilan Tuhan, integritas, kesetiaan, pengorbanan, dan pelayanan yang tulus, justru direndahkan menjadi alat tawar-menawar untuk meraih kekuasaan, materi, dan kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Dampaknya sangat luas dan merusak: integritas pemimpin yang sah dipertanyakan, struktur organisasi terguncang, kualitas pelayanan menurun, dan pertumbuhan iman jemaat terganggu.
Lebih jauh lagi, praktik ini menimbulkan ketidakpercayaan jemaat terhadap otoritas rohani, menciptakan konflik internal, memperlemah solidaritas, dan merusak kesatuan tubuh Kristus, sekaligus menodai kesaksian gereja di mata masyarakat. Dalam jangka panjang, gereja berisiko berubah dari rumah Tuhan yang kudus menjadi arena intrik, manipulasi, dan perebutan kepentingan, di mana prinsip kasih, ketaatan, dan keadilan rohani menjadi subordinat terhadap ambisi pribadi dan kelompok. Selain itu, Praktik ini membuka peluang bagi generasi pemimpin yang terbiasa manipulatif, menurunkan standar moral, dan menumbuhkan sikap permisif terhadap penyalahgunaan wewenang, sehingga siklus kerusakan rohani berlanjut. Karena itu, ada beberapa hal penting sebelum membahas bentuk-bentuk penyalahgunaan kekuasaan struktural.
1. Kepemimpinan diputuskan sepihak tanpa transparansi. Keputusan mengenai pengangkatan pemimpin rohani, pengelolaan jemaat, atau penetapan kebijakan strategis sering kali dijalankan sepihak oleh pihak struktural yang berkuasa, tanpa melibatkan musyawarah, doa bersama, atau konsultasi dengan jemaat dan gembala lokal. Kurangnya transparansi ini membuat jemaat tidak memahami alasan di balik keputusan yang diambil, sehingga menimbulkan kebingungan, kecurigaan, dan ketidakpercayaan terhadap pemimpin maupun struktur organisasi gereja. Selain itu, keputusan sepihak sering kali digunakan untuk memperkuat posisi kelompok tertentu, menyingkirkan pemimpin yang sah, atau memanipulasi jalannya pelayanan demi kepentingan pribadi maupun materi. Praktik semacam ini secara langsung merusak prinsip keadilan, melemahkan kesatuan tubuh Kristus, dan mengikis semangat persekutuan yang seharusnya menjadi dasar kehidupan jemaat. Jemaat yang merasa diabaikan kehilangan motivasi untuk berpartisipasi dalam pelayanan, sementara suasana doa dan kesaksian gereja menjadi hambar, yang pada akhirnya menurunkan integritas rohani dan wibawa gereja di mata masyarakat. Fenomena ini terlihat jelas di beberapa jemaat pesisir, di mana pengurus struktural wilayah sering memutuskan pengangkatan gembala baru atau pengelolaan jemaat tanpa melibatkan gembala yang telah merintis pelayanan dari nol. Dalam kasus nyata, pengurus wilayah yang ambisius mengganti gembala sah dengan orang yang dekat dengan mereka, semata-mata karena keuntungan materi atau loyalitas pribadi. Gembala yang sah disingkirkan dengan alasan administratif semu, sementara jemaat yang setia ditekan dan diintimidasi agar menerima keputusan tersebut. Kurangnya transparansi ini membuka celah bagi manipulasi dokumen dan pemberian legitimasi palsu kepada pihak tertentu, sehingga pemimpin yang setia dan tulus dalam pelayanan kehilangan haknya. Dalam jangka panjang, keputusan sepihak merusak prinsip keadilan, mengikis kesatuan tubuh Kristus, dan melemahkan semangat persekutuan. Jemaat yang menyaksikan ketidakadilan kehilangan motivasi berpartisipasi dalam pelayanan, suasana doa menjadi hambar, dan wibawa gereja di mata masyarakat terganggu. Akibatnya, tubuh Kristus yang seharusnya bersatu dalam kasih dan ketaatan Firman Tuhan berubah menjadi arena konflik, intrik, dan perebutan kekuasaan.
2. Jabatan diberikan karena kedekatan atau materi, bukan kualifikasi rohani.
Jabatan rohani, yang seharusnya mencerminkan panggilan Tuhan, integritas, dan kualitas pelayanan, sering kali diberikan bukan berdasarkan kualifikasi rohani, melainkan karena kedekatan pribadi, loyalitas kelompok, atau imbalan materi. Praktik ini mereduksi makna panggilan rohani menjadi alat kepentingan pribadi, sehingga pemimpin rohani bukan lagi teladan iman, melainkan instrumen untuk memperkuat posisi kelompok tertentu. Jemaat kehilangan contoh kepemimpinan yang benar, sementara struktur gereja berubah menjadi arena politik internal yang penuh intrik, persaingan, dan manipulasi. Di beberapa wilayah, fenomena ini terlihat jelas melalui perilaku pengurus struktural yang dikenal sebagai “pendekar pencaplok.” Mereka menggunakan kedudukan dan wibawa rohani semu untuk merebut gereja lain, menyingkirkan gembala sah, dan menguasai aset serta jemaat. Kelompok kerja mereka, yang sering terdiri dari individu-individu pemalas namun tergiur jabatan, menjual jabatan pendeta atau gembala demi keuntungan pribadi bagi Ketua, Sekretaris, dan Ketua Perwil. Jabatan yang seharusnya lahir dari pengorbanan dan panggilan Tuhan dijadikan komoditas, dipertukarkan, atau diperebutkan, sehingga pelayanan rohani kehilangan kesucian dan wibawa. Akibatnya, gembala yang setia dan tulus dalam pelayanan disingkirkan, sementara pihak yang mendapatkan jabatan hanya fokus pada keuntungan materi, bukan membangun jemaat. Jemaat menjadi bingung dan kehilangan arah rohani, karena pemimpin yang sah tidak dihargai, sedangkan pemimpin yang tidak layak diberi legitimasi. Praktik semacam ini tidak hanya merusak integritas individu yang terlibat, tetapi juga melemahkan kesatuan gereja, mengikis kepercayaan jemaat, dan menodai kesaksian gereja di mata masyarakat. Dengan kondisi seperti ini, jelas bahwa penyalahgunaan jabatan demi materi atau kedekatan pribadi adalah ancaman serius bagi tubuh Kristus. Gereja yang membiarkan praktik ini terus berjalan akan kehilangan panggilan sejatinya sebagai rumah Tuhan yang kudus, teladan kasih, dan wadah pelayanan yang murni. Lebih jauh lagi, jika tidak segera ditangani, praktik ini dapat membentuk budaya manipulatif yang menular ke generasi pemimpin berikutnya, menurunkan standar moral, dan menumbuhkan sikap permisif terhadap penyalahgunaan wewenang. Jemaat yang melihat ketidakadilan ini akan kehilangan motivasi untuk berpartisipasi dalam pelayanan, doa dan kesaksian menjadi hambar, dan semangat rohani masyarakat luas terhadap gereja menurun. Oleh karena itu, penting bagi sinode dan pengurus gereja untuk bertindak tegas: menegakkan keadilan, membersihkan struktur dari individu yang menyalahgunakan jabatan, dan menegaskan bahwa kepemimpinan rohani adalah panggilan suci, bukan alat untuk meraih keuntungan pribadi atau kelompok. Langkah-langkah ini melindungi hamba Tuhan yang setia, memulihkan wibawa gereja, dan menjaga tubuh Kristus tetap bersatu, kudus, serta setia pada Firman Tuhan.
3. Jemaat atau gembala sah dimarginalkan/ditekan. Pemimpin yang setia merintis pelayanan dari nol sering tersingkir, sementara pihak lain yang kurang berkompeten justru memperoleh legitimasi palsu. Tekanan dan marginalisasi ini menimbulkan ketidakadilan, mengikis semangat pelayanan, serta melemahkan kepercayaan jemaat terhadap struktur dan otoritas gereja. Sebagai contoh, seorang tokoh bernama Baluhab, yang sangat terobsesi untuk menjadi gembala—didukung istrinya, Manang Katera—mulai memainkan strategi licik agar cita-citanya tercapai. Dengan kecerdikan manipulatif, mereka melobi Ketua Daerah dan tim kerjanya, yang sama-sama ambisius dan oportunis, untuk memecat gembala sah. Akhirnya, Ketua Wilayah atau Daerah menyetujui pengangkatan Baluhab, meskipun kemampuan rohani dan integritasnya jauh di bawah gembala yang sah. Baluhab, bersama kelompoknya yang semuanya tergila-gila pada jabatan dan dipenuhi ambisi serta kelicikan, menggunakan bisnis pribadinya sebagai alat untuk mengatur sistem gereja demi kepentingan sendiri. Praktik ini menimbulkan tekanan psikologis dan rohani terhadap jemaat, memecah kesatuan tubuh Kristus, serta menjadikan struktur gereja sarana perdagangan dan perebutan kekuasaan, bukan wadah pelayanan yang kudus dan setia pada panggilan Tuhan. Kelompok Baluhab, karena mentalitasnya yang manipulatif dan oportunis, jelas merupakan ancaman serius bagi integritas sinode; mereka tidak layak menjadi pengurus gereja, termasuk pengurus wilayah, karena kehadiran mereka hanya merusak tatanan pelayanan, menggerogoti kepercayaan jemaat, menodai kesucian kepemimpinan rohani, memicu konflik internal berkepanjangan, menyebarkan budaya kepatuhan semu, menghambat pertumbuhan rohani jemaat secara menyeluruh, dan merusak reputasi sinode di mata publik serta jemaat luas.
4. Surat keputusan atau dokumen direkayasa untuk kepentingan tertentu. Surat keputusan atau dokumen yang seharusnya menjadi alat ketertiban, legitimasi, dan legalitas pelayanan sering direkayasa demi kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Dokumen administrasi, seperti SK pengangkatan gembala, perubahan data jemaat, sertifikat gereja, atau dokumen resmi lainnya, dapat dipalsukan untuk menyingkirkan pemimpin yang sah sekaligus memberikan legitimasi palsu kepada pihak yang diuntungkan. Praktik semacam ini bukan sekadar pelanggaran administratif, melainkan pelanggaran serius terhadap Tata Gereja, nilai kejujuran, integritas, dan transparansi, serta berpotensi menimbulkan implikasi hukum di ranah perdata maupun pidana. Di beberapa kasus, pihak sinode tidak boleh menyepelekan manipulasi dokumen ini, karena dampaknya sangat luas. Misalnya, seorang Ketua Daerah struktural sengaja menghilangkan satu kata penting dalam surat, seperti kata “cabang”, sehingga kelak dapat menimbulkan konflik kepemilikan, klaim palsu, atau sengketa hukum terhadap gereja yang sah. Praktik ini sering dilakukan untuk kepentingan pribadi, termasuk mengalihkan keuntungan perpuluhan, donasi, atau dana gereja ke kantong individu, baik secara langsung maupun melalui skema “ongkos” atau pembayaran terselubung kepada pengurus struktural. Lebih jauh, manipulasi dokumen menjadi alat untuk menguatkan posisi kelompok tertentu, menyingkirkan pemimpin sah, dan menanamkan budaya kepatuhan semu. Gereja yang seharusnya menjadi wadah pelayanan murni, justru dijadikan arena perebutan kekuasaan, ambisi pribadi, dan sumber keuntungan. Akibatnya, integritas pelayanan runtuh, kepercayaan jemaat tergerus, kesatuan tubuh Kristus terancam, dan kesucian institusi gereja ternoda.
5. Komunikasi internal ditutup atau dipelintir untuk menutupi praktik. Informasi yang seharusnya transparan di kalangan pengurus maupun jemaat sengaja disembunyikan, dipelintir, atau disalurkan secara selektif untuk menutupi praktik penyalahgunaan kekuasaan. Hal ini menciptakan kesenjangan informasi yang tajam: pemimpin rohani yang sah dan jemaat setia tidak mendapat akses ke data, keputusan, atau kebijakan yang seharusnya mereka pahami, sementara pihak manipulatif bebas menjalankan agenda pribadi atau kelompok tanpa pertanggungjawaban. Praktik ini menimbulkan kebingungan, kecurigaan, dan ketidakpercayaan, sehingga ikatan antara jemaat dan pemimpin rohani melemah. Sebagai contoh nyata, terdapat sebuah kelompok pemberontak yang mengadakan rapat tertutup bersama pengurus daerah. Dalam pertemuan itu hadir Pdt. Sihotai, yang tampak seolah-olah hadir untuk menyelesaikan konflik jemaat. Namun, rapat tersebut sejatinya merupakan penipuan; tujuan sebenarnya adalah menyingkirkan gembala yang sah tanpa persetujuan atau pengetahuan jemaat yang benar-benar setia. Dengan manipulasi ini, mereka berencana mengambil alih gereja dengan dalih “hak sebagai ketua”, padahal tindakan itu tidak sah rohani maupun struktural. Setelah gembala sah ditekan, kelompok tersebut menguasai gereja, menegaskan agenda pribadi, serta mengabaikan prinsip pelayanan, integritas, dan keadilan. Informasi yang dipelintir digunakan untuk memprovokasi konflik, menjustifikasi tindakan tidak sah, dan menutup peluang bagi jemaat atau gembala sah menegakkan kebenaran. Dalam jangka panjang, komunikasi manipulatif ini mengikis transparansi, merusak kultur pelayanan, dan menjadikan gereja arena intrik serta perebutan kekuasaan, bukan rumah Tuhan yang kudus.
Secara keseluruhan, praktik jual beli jabatan pendeta dan gembala melalui penyalahgunaan kekuasaan struktural menghancurkan fondasi rohani, integritas, dan kesatuan gereja. Dampaknya sangat luas: merusak kepercayaan jemaat, melemahkan kualitas pelayanan, menodai wibawa gereja, dan menumbuhkan budaya manipulatif. Gereja harus mengambil langkah tegas untuk menegakkan transparansi, keadilan, dan ketaatan pada panggilan Tuhan. Pemimpin yang sah harus dilindungi, dan setiap praktik penyalahgunaan kekuasaan harus ditindak sesuai tata gereja maupun hukum yang berlaku, agar tubuh Kristus tetap murni, kudus, dan menjadi terang di tengah masyarakat.
Pihak sinode tidak boleh bersikap pilih kasih. Jika terdapat Ketua Daerah atau pengurus struktural yang manipulatif, menyalahgunakan jabatan, atau terbiasa merebut gereja orang lain, mereka harus diberhentikan dari posisi pengurus dan, bila perlu, diproses secara pidana. Tindakan tegas ini bukan hanya untuk menegakkan keadilan, tetapi juga memberi efek jera, mencegah munculnya praktik serupa di masa depan, dan melindungi gereja dari perpecahan. Ketidakbertindakan akan menimbulkan preseden berbahaya, di mana ambisi pribadi dan kepentingan kelompok menguasai tubuh Kristus, merusak kesatuan jemaat, dan menodai kesucian pelayanan. Dengan demikian, sinode memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa setiap pengurus yang terbukti melakukan manipulasi atau provokasi, terutama yang bersifat sistematis, tidak lagi memiliki ruang untuk merusak pelayanan, menekan pemimpin sah, atau memecah belah jemaat, sehingga gereja tetap menjadi rumah Tuhan yang aman, kudus, dan menjadi teladan integritas, keadilan, dan kasih Kristus bagi seluruh jemaat maupun masyarakat luas, sekaligus mencegah penyebaran budaya manipulatif dan ambisi pribadi dalam pelayanan gereja.
BAB IV
UPAYA PENCEGAHAN TERHADAP PRAKTIK
JUAL BELI JABATAN PENDETA DAN GEMBALA
Praktik jual beli jabatan pendeta dan gembala bukan hanya merusak integritas individu, tetapi juga menghancurkan kesatuan jemaat, menodai kesucian pelayanan, dan melemahkan wibawa gereja di mata masyarakat. Jabatan rohani yang seharusnya lahir dari panggilan Tuhan, integritas, dan pengorbanan pelayanan, justru disalahgunakan sebagai alat untuk tawar-menawar kekuasaan, materi, atau keuntungan pribadi. Dampak praktik ini sangat luas: pemimpin yang sah ditekan, dimarginalkan, atau bahkan disingkirkan, jemaat kehilangan teladan rohani yang seharusnya menjadi panutan, dan struktur gereja berubah menjadi arena intrik, manipulasi, serta perebutan kepentingan pribadi atau kelompok, bukan lagi wadah pelayanan murni yang menuntun jemaat dalam iman dan ketaatan kepada Tuhan. Praktik ini juga menimbulkan ketidakpercayaan jemaat terhadap otoritas rohani, memicu konflik internal berkepanjangan, dan menumbuhkan budaya kepatuhan semu yang merusak fondasi iman.
Karena itu, penting bagi sinode dan pengurus gereja untuk mengambil langkah-langkah pencegahan yang komprehensif dan konsisten. Pencegahan ini tidak hanya berkaitan dengan administrasi, tetapi juga penguatan budaya rohani, etika pelayanan, transparansi, dan akuntabilitas di seluruh struktur gereja. Langkah-langkah ini diperlukan agar tubuh Kristus tetap kudus, pemimpin sah terlindungi, dan jemaat dapat bertumbuh dalam iman, pelayanan, serta kesetiaan kepada Firman Tuhan. Beberapa hal penting harus diperhatikan dan diterapkan sebelum praktik penyalahgunaan jabatan dapat dicegah secara efektif, antara lain:
1. Ketaatan pada Tata Gereja. Semua jabatan rohani harus melalui prosedur resmi sesuai ketentuan Tata Gereja, termasuk musyawarah, persetujuan jemaat, dan keputusan sinode. Proses ini memastikan setiap pemimpin lahir dari panggilan Tuhan, memiliki integritas rohani, dan layak memimpin jemaat. Ketaatan pada Tata Gereja bukan sekadar formalitas administratif, tetapi juga merupakan wujud ketaatan pada perintah Tuhan. Ketika gereja dan pengurus taat pada prosedur ini, perpecahan, konflik, dan praktik penyalahgunaan kekuasaan hampir tidak mungkin terjadi. Sebaliknya, jika Tata Gereja dipelintir untuk kepentingan pribadi—misalnya meloloskan individu yang tidak layak sebagai pejabat gereja atau membiarkan kelompok pemberontak menguasai jemaat karena iming-iming materi—akibatnya sangat merusak tubuh Kristus. Oleh karena itu, pelaksanaan Tata Gereja yang benar dan konsisten menjadi fondasi utama untuk mencegah konflik, menjaga kesucian pelayanan, dan menutup celah bagi praktik jual beli jabatan pendeta dan gembala. Ketaatan yang sejati menjamin integritas, keadilan, dan kesatuan jemaat, sehingga setiap keputusan rohani selaras dengan kehendak Tuhan. Terlebih lagi, seorang Ketua dalam struktur daerah harus benar-benar memahami Tata Gereja. Pernah terjadi kasus di mana seorang Ketua struktural daerah mengambil peran sebagai pembina atas sebuah gereja yang sedang mengalami konflik, padahal gereja tersebut adalah cabang resmi dari gereja lain. Lebih parah lagi, ia menilai kebijakan bodohnya sebagai tata gereja karangannya sendiri, tanpa koordinasi dengan gembala sah gereja tersebut. Akibatnya, ia mengambil alih gereja itu dan mengklaim pihak daerah sebagai pembina, tindakan yang jelas melanggar Tata Gereja, merusak otoritas gembala sah, dan menimbulkan potensi konflik serta perpecahan di tubuh jemaat.
2. Audit dan Transparansi. Setiap keputusan kepemimpinan harus diawasi melalui mekanisme internal yang jelas, termasuk audit rutin terhadap dokumen administrasi, SK pengangkatan, serta catatan keuangan gereja. Transparansi semacam ini sangat penting untuk mencegah manipulasi, pemalsuan, atau penyalahgunaan jabatan yang dapat merusak integritas pelayanan dan menurunkan kepercayaan jemaat. Dengan audit yang konsisten, setiap pihak yang terlibat dalam proses pengangkatan atau pengelolaan gereja dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya, sehingga praktik-praktik merugikan dapat segera terdeteksi dan ditindaklanjuti. Sebagai contoh, pernah terjadi kasus di mana seorang Ketua Daerah, sebut saja Pdt. Sihotai, bersama timnya mengeluarkan Surat Lapor Gereja tanpa mencantumkan status cabang yang benar. Akibatnya, surat tersebut seolah-olah menegaskan bahwa gereja cabang itu berdiri sendiri, padahal permohonan awal dari gembala sah menegaskan bahwa gereja tersebut adalah cabang resmi. Kesalahan ini menimbulkan konflik internal, memungkinkan jemaat yang bermental pemberontak menyingkirkan gembala sah, dan pada akhirnya terlihat bahwa tindakan Ketua Daerah tersebut dimaksudkan untuk mencaplok gereja tersebut demi kepentingan pribadi atau kelompoknya. Kasus ini menegaskan pentingnya audit yang teliti, transparansi penuh, dan pengawasan internal agar semua proses kepemimpinan berjalan sesuai Tata Gereja dan integritas pelayanan tetap terjaga, sekaligus mencegah manipulasi, konflik internal, dan perebutan kekuasaan oleh individu atau kelompok yang oportunis, serta menjaga kepercayaan jemaat, menguatkan kesatuan tubuh Kristus, menegaskan kredibilitas gereja di mata masyarakat luas, dan membentuk budaya pelayanan yang jujur, akuntabel, dan berlandaskan kasih Kristus.
3. Pendidikan Jemaat. Jemaat harus diberdayakan untuk memahami hak, kewajiban, dan ketentuan tata gereja, termasuk mekanisme pengangkatan pemimpin, prosedur administrasi, dan prinsip-prinsip pelayanan yang benar. Pendidikan rohani dan pemahaman tata gereja ini sangat penting agar jemaat dapat mengenali praktik manipulatif, menolak tekanan atau intimidasi, serta memberikan dukungan kepada pemimpin yang sah dan berintegritas. Selain itu, jemaat yang teredukasi memiliki kesadaran kritis untuk menilai keputusan struktural, memahami proses pengawasan internal, dan berperan aktif dalam menjaga keadilan serta transparansi pelayanan. Dengan demikian, individu atau kelompok yang berniat mengeksploitasi struktur gereja akan semakin sulit menjalankan agenda oportunistik mereka. Pendidikan jemaat tidak hanya membekali mereka dengan pengetahuan formal tentang tata gereja, tetapi juga menanamkan pemahaman rohani yang mendalam tentang panggilan, tanggung jawab, dan etika pelayanan. Dengan budaya disiplin rohani yang terbangun, jemaat terdorong untuk berpartisipasi aktif dalam pelayanan, ikut membangun lingkungan gereja yang sehat, dan menegakkan nilai-nilai kebenaran serta keadilan. Pemahaman yang kuat tentang tata gereja juga memungkinkan jemaat menjadi pengawas alami terhadap setiap praktik penyalahgunaan kekuasaan, sehingga potensi manipulasi, intimidasi, atau korupsi dalam struktur gereja dapat diminimalkan. Jemaat menjadi mitra aktif pemimpin dalam menjaga integritas dan kesucian gereja. Dengan kesadaran hak dan tanggung jawab, mereka memperkuat kesatuan, menumbuhkan solidaritas, melindungi pelayanan, mendukung pemimpin yang sah, memantau penyalahgunaan wewenang, dan menjadikan gereja teladan iman, keadilan, dan kasih Kristus bagi masyarakat.
4. Pelaporan ke Sinode. Setiap indikasi penyalahgunaan jabatan, manipulasi dokumen, atau provokasi terhadap pemimpin sah harus segera dilaporkan kepada sinode. Laporan yang cepat dan tepat waktu memungkinkan sinode menindaklanjuti kasus secara adil, meluruskan praktik yang menyimpang, dan memberikan perlindungan bagi pemimpin serta jemaat yang dirugikan. Mekanisme pelaporan ini juga berfungsi sebagai peringatan bagi pihak lain agar tidak mengulang praktik serupa. Jika terbukti adanya manipulasi dokumen oleh pihak struktural daerah atau provokasi terhadap pemimpin sah, sinode harus mengambil keputusan tegas, menegaskan mana yang benar dan salah, tanpa ambigu. Terutama ketika gembala yang sah dirugikan oleh dokumen yang sengaja dikaburkan oleh Ketua Daerah, maka Ketua Daerah beserta timnya harus diberhentikan dan diproses sesuai aturan internal gereja, karena tindakan manipulatif ini termasuk pelanggaran serius terhadap integritas pelayanan dan lebih parah dari sekadar pelanggaran administrasi. Selain itu, gembala yang dirugikan berhak menempuh jalur hukum di negara dan melaporkan ke kepolisian untuk menegakkan keadilan, sehingga tindakan manipulatif tidak dibiarkan merusak tubuh Kristus dan wibawa gereja. Hal ini bukan soal dendam pribadi, tetapi upaya membersihkan tubuh struktural dari individu yang menyalahgunakan jabatan. Jika pihak yang melakukan manipulasi dokumen, baik Ketua maupun pengurus struktural di suatu daerah, tidak mengakui kesalahan, maka tindakan hukum, termasuk penahanan (penjara), menjadi langkah tepat untuk menegakkan keadilan, memberi efek jera, dan menyadarkan mereka akan tanggung jawab rohani dan hukum. Langkah ini memastikan integritas pelayanan tetap terjaga dan jemaat terlindungi dari praktik manipulatif.
5. Sanksi Tegas. Sanksi tegas bagi pejabat atau pengurus yang terbukti menyalahgunakan jabatan, memalsukan dokumen, atau menindas pemimpin sah harus ditegakkan secara konsisten sesuai Tata Gereja dan hukum yang berlaku. Penerapan sanksi ini tidak semata-mata bersifat penghukuman, tetapi juga sebagai efek jera untuk mencegah praktik penyalahgunaan jabatan berulang, melindungi jemaat, serta menjaga kredibilitas dan kesucian gereja. Sanksi harus diberlakukan tanpa pandang bulu, termasuk terhadap Ketua Daerah atau pengurus struktural lainnya, apabila terbukti manipulatif atau merugikan jemaat dan pelayanan. Jika suatu dokumen tidak sesuai SOP dan terdapat indikasi manipulasi jelas, kasus tersebut tidak boleh disamarkan demi nama baik sinode, keluarga, atau suku tertentu. Semua bukti harus ditindaklanjuti dengan tegas: pemecatan adalah langkah minimum, dan bila pelanggaran bersifat serius, tindakan hukum pidana, termasuk penahanan, dapat diterapkan. Tujuan utama penerapan sanksi tegas ini adalah mencegah terulangnya praktik buruk oleh individu berkedok rohani, memastikan struktur gereja tetap bersih dari kepentingan pribadi atau kelompok, serta menegakkan keadilan, integritas, dan tanggung jawab pelayanan. Dengan langkah-langkah ini, jemaat terlindungi dari manipulasi dan penyalahgunaan kekuasaan, pemimpin sah dihormati dan diberdayakan, dan tubuh Kristus tetap kudus, bersatu, dan berfungsi sebagai teladan iman, keadilan, serta kasih Kristus bagi masyarakat luas. Selain itu, penerapan sanksi tegas juga menanamkan budaya akuntabilitas, mendorong kepatuhan terhadap Tata Gereja, meningkatkan integritas pelayanan, memperkuat disiplin rohani, menegakkan keadilan, dan menguatkan kepercayaan jemaat terhadap otoritas rohani yang sah.
Upaya pencegahan yang terpadu ini menekankan pentingnya integritas, transparansi, dan ketaatan pada panggilan Tuhan dalam setiap proses pengangkatan pemimpin maupun pelaksanaan pelayanan gereja. Dengan menerapkan prosedur resmi yang sesuai Tata Gereja, melakukan audit internal secara berkala, memberdayakan jemaat melalui pendidikan rohani dan tata gereja, memastikan mekanisme pelaporan yang efektif, serta menegakkan sanksi tegas bagi pihak yang menyalahgunakan jabatan atau memanipulasi dokumen, gereja dapat menjaga tubuh Kristus tetap bersih, kudus, dan berfungsi sebagai terang yang memancarkan nilai-nilai Kristiani di tengah masyarakat.
Pencegahan ini tidak hanya bertujuan melindungi pemimpin yang sah dan jemaat dari praktik manipulatif atau tekanan yang tidak rohani, tetapi juga memulihkan wibawa gereja yang mungkin telah ternoda oleh kepentingan pribadi atau kelompok. Dengan langkah-langkah pencegahan yang konsisten, kesatuan tubuh Kristus diperkuat, budaya pelayanan yang murni dan berintegritas ditegakkan, serta kesempatan bagi praktik jual beli jabatan atau intrik internal dapat diminimalisir.
Lebih jauh, pendekatan ini menegaskan bahwa pelayanan rohani bukanlah arena kekuasaan atau keuntungan pribadi, melainkan panggilan untuk menegakkan kebenaran, keadilan, dan kasih Kristus. Gereja yang disiplin, transparan, dan akuntabel akan menjadi teladan bagi jemaat dan masyarakat luas, menciptakan lingkungan di mana iman, kesetiaan, integritas rohani, tanggung jawab sosial, dan kepedulian sesama berkembang secara optimal. Dengan demikian, setiap keputusan, tindakan, dan kebijakan gereja selaras dengan kehendak Tuhan, serta memastikan bahwa tubuh Kristus tetap kudus, bersatu, dan mampu memancarkan terang rohani ke seluruh lingkungan secara konsisten, berkelanjutan, dan membangun kehidupan rohani jemaat.
PENUTUP
Praktik jual beli jabatan pendeta atau gembala yang terselubung dalam struktur gereja merupakan bentuk penyalahgunaan kekuasaan yang licik, merusak kesucian pelayanan, dan menimbulkan perpecahan di tengah jemaat. Dampak dari praktik ini sangat luas: pemimpin sah ditekan atau dimarginalkan, jemaat kehilangan teladan rohani yang benar, dan struktur gereja menjadi arena intrik serta perebutan kepentingan pribadi atau kelompok.
Gereja harus kembali kepada panggilan rohani yang sejati, menegakkan ketaatan terhadap Tata Gereja, dan menjaga integritas seluruh proses kepemimpinan. Kepemimpinan rohani tidak boleh ditentukan oleh manipulasi manusia atau kepentingan pribadi, melainkan sepenuhnya berdasarkan kehendak Tuhan, integritas, dan pelayanan yang tulus.
Selain itu, pihak sinode memiliki tanggung jawab untuk bertindak tegas terhadap setiap praktik jual beli jabatan pendeta dan gembala. Jika terbukti adanya manipulasi data atau dokumen, meskipun tampak asli, namun sesungguhnya merupakan penipuan, maka individu yang terlibat, termasuk pejabat struktural, harus diberi sanksi tegas, mulai dari pemecatan hingga penegakan hukum pidana. Langkah ini bukan hanya untuk menegakkan keadilan, tetapi juga memberikan efek jera, melindungi jemaat, dan menjaga agar tubuh Kristus tetap kudus, bersatu, dan berfungsi sebagai teladan integritas, kebenaran, dan kasih Kristus bagi masyarakat. Dengan demikian, pencegahan, pengawasan, dan sanksi harus dijalankan konsisten dan transparan. Ketegasan sinode dan ketaatan pada Tata Gereja memastikan pelayanan rohani murni, adil, dan selaras panggilan Tuhan, memancarkan terang rohani bagi jemaat dan lingkungan.
Sebagai penutup, praktik jual beli jabatan pendeta dan gembala harus dipandang sebagai ancaman serius terhadap integritas gereja. Sinode, pengurus, dan seluruh jemaat wajib bersinergi untuk mencegah, menindak, dan memastikan bahwa pelayanan rohani selalu berada di jalur panggilan Tuhan, bukan kekuasaan manusia. Pihak sinode gereja tidak boleh ragu atau bersikap ambigu dalam mengambil tindakan terhadap pendeta atau pengurus yang terbukti melakukan manipulasi dokumen, menyalahgunakan jabatan, merugikan gereja, atau memicu pemberontakan di antara jemaat. Langkah tegas sangat penting, termasuk penegakan sanksi internal sesuai Tata Gereja, pelaporan ke pihak kepolisian, atau bahkan tindakan pidana hingga penahanan di penjara, agar perilaku manipulatif tidak dibiarkan merusak integritas dan kesucian pelayanan. Penindakan ini bukan semata bentuk hukuman, tetapi juga sarana mendidik, menyadarkan, dan mendorong pertobatan bagi individu yang bersalah, sekaligus melindungi jemaat dan pemimpin sah dari praktik merugikan. Dengan demikian, tubuh Kristus tetap terjaga, kesatuan gereja dipertahankan, dan pelayanan rohani berlangsung murni, adil, serta sesuai panggilan Tuhan. Penahanan atau hukuman pidana menjadi langkah terakhir yang diperlukan untuk menimbulkan efek jera, mencegah pengulangan perbuatan, dan menegaskan bahwa penyalahgunaan jabatan rohani tidak akan ditoleransi.
"Belajarlah melakukan apa yang baik; usahakan keadilan,
tegakkan kebenaran, lindungilah orang yang tertindas." — Yesaya 1:17
DAFTAR PUSTAKA
Alkitab Terjemahan Baru (LAI).
Catatan pelayanan pribadi dan pengalaman penggembalaan
Refleksi atas dinamika gereja kontemporer di lingkungan Gereja Gereja
============
Biografi Singkat Penulis– Pdt. Syaiful Hamzah Nahampun, M.Th
Gembala Sidang GBI Jl. Plumpang Semper No.22 (JPS22) – Jakarta Utara
Gembala Cabang GBI PRJ Sion – Pearaja Parlilitan, Sumatera Utara
=============
Lahir : 12 April 1974
Pendidikan : Magister Teologi (M.Th)
Sedang menempuh : Program Doktor (S3) di STT Gragion
Sinode : Gereja Bethel Indonesia (GBI)
Istri : Pdm. Tiolida Sihotang S.PdK
Anak : Malkhi K dan Josua Rajahot Eklesyaiful
Orang Tua Pdt. Syaiful Hamzah
Nama ayah : Alm. Haji Andi Thahir (Makkasar)
Nama Ibu : Alm. Hajjah Ramlah Sari Harahap
==============
Profil Pelayanan
· Dipanggil dari latar belakang agama Islam dan kehidupan yang penuh tantangan, Pdt. Syaiful Hamzah Nahampun merespons panggilan Tuhan dengan hati yang tulus dan tekad yang teguh. Ia melayani dengan komitmen terhadap kebenaran firman Tuhan, serta menjunjung ketaatan pada struktur dan doktrin Gereja Bethel Indonesia sebagai bentuk kesetiaan kepada otoritas rohani yang sah.
· Bersama istri, Pdm. Tiolida Sihotang S.PdK, beliau menggembalakan jemaat di berbagai wilayah, termasuk cabang-cabang luar Jakarta seperti Dayun (Riau) dan Pearaja Parlilitan (Sumatera Utara).
· Pernah menggembalakan sebuah jemaat di salah satu daerah di Riau secara sah di bawah GBI JPS No. 22, namun kemudian menghadapi pembangkangan jemaat yang keluar secara sepihak tanpa ketaatan rohani maupun struktural.
· Pelayanannya menekankan pemuridan sejati dalam karakter, pertobatan, dan tanggung jawab, serta menyoroti bahaya teologi spiritual bypass—kerohanian semu yang menghindari pemulihan dan keadilan.
· Saat ini, beliau juga menempuh studi doktoral (S3) dalam bidang Misi di STT Gragion, dan aktif mengajar sebagai dosen di beberapa sekolah tinggi teologi, membentuk pemimpin-pemimpin gereja yang sehat secara doktrin maupun karakter.
Catatan Penting: Tulisan ini disusun khusus untuk kalangan sendiri sebagai bahan ilustrasi rohani dan refleksi teologis. Jika terdapat kemiripan dengan peristiwa, tempat, atau individu tertentu, itu tidak disengaja dan bukan merupakan tuduhan pribadi, melainkan ajakan untuk perenungan bersama dalam terang Firman Tuhan. Dilarang menyalin, menyebarluaskan, atau memperbanyak isi tulisan ini tanpa izin tertulis dari penulis.