GEREJA YANG LAHIR DARI PENGHIANATAN OLEH PDT. SYAIFUL HAMZAH M.Th

 

GEREJA YANG LAHIR  

DARI PENGKHIANATAN

Tanpa Hadirat Allah, Penuh Kemunafikan:

Ketika Pelayanan Tidak Lagi Berasal dari Salib,

tetapi dari Kudeta Rohani

 

Oleh: Pdt. Syaiful Hamzah, M.Th

 

I.                 PENDAHULUAN:

Tidak semua gereja berdiri atas dasar salib. Tidak semua mimbar dibangun dari air mata, doa, dan ketaatan. Di balik kemegahan gedung dan ramainya ibadah, tersembunyi realitas yang lebih gelap: ada gereja yang lahir bukan karena kehendak Allah, melainkan karena kekecewaan terhadap manusia; bukan karena panggilan, tetapi karena ambisi pribadi yang tersakiti. Ada pelayanan yang bukan dilahirkan dalam hadirat Allah, melainkan dalam roh pemberontakan. Ia tidak muncul dari ruang doa yang dalam, tetapi dari ruang diskusi yang penuh keluhan dan rencana pembelotan. Gereja semacam itu bukan hasil perutusan, melainkan hasil pelarian. Ia bukan pelayanan yang lahir dari salib, melainkan pelayanan yang dibangun dari luka yang tidak dipulihkan, dendam terhadap otoritas yang sah, dan keinginan tersembunyi untuk memimpin tanpa ketaatan. Dan di situlah pelayanan kehilangan kemurniannya. Hadirat Allah tidak lagi tinggal di tengahnya. Yang tersisa hanyalah kemunafikan: liturgi yang indah tanpa kehidupan, kotbah yang fasih tanpa urapan, pujian yang meriah tanpa pengurapan. Nama Tuhan tetap disebut, tetapi Roh-Nya telah lama meninggalkan tempat itu. Firman Tuhan berkata: “Setiap pohon yang tidak ditanam oleh Bapa-Ku yang di sorga akan dicabut dengan akar-akarnya.”(Matius 15:13), Artinya, tidak semua yang terlihat "rohani" adalah benar di hadapan Allah. Apa yang tidak ditanam oleh Bapa, tidak akan bertahan.  Gereja yang berdiri dari kudeta akan runtuh oleh penghakiman. Pelayanan yang berakar dari pengkhianatan tidak akan menghasilkan buah yang kudus. Mungkin untuk sementara waktu terlihat hidup—dengan mimbar yang aktif, jemaat yang hadir, dan aktivitas pelayanan yang ramai. Namun, di balik keramaian itu, tak ada langit yang terbuka, tak ada suara Tuhan yang berkenan, dan tak ada minyak urapan yang mengalir dari takhta-Nya. Yang ada hanyalah rutinitas rohani tanpa roh, formalitas tanpa kekudusan, dan popularitas tanpa otoritas. Ketika pelayanan tidak lagi berakar dalam ketaatan kepada Tuhan, tetapi justru tumbuh dari akar kepahitan yang belum dibereskan, pemberontakan terhadap otoritas rohani yang sah, dan ambisi pribadi yang tersembunyi, maka sesungguhnya itu bukan pekerjaan Tuhan—melainkan kudeta rohani yang dibungkus dengan liturgi dan bahasa pelayanan. Itu bukan panggilan dari surga, tapi reaksi dari hati yang terluka dan menolak dipulihkan. Kudeta rohani seperti ini tidak membangun Kerajaan Allah, tetapi memperluas wilayah ego manusia. Mereka memakai nama Tuhan, namun hati mereka jauh dari-Nya. Mereka membawa Alkitab, tapi menolak kebenaran yang terkandung di dalamnya. Lebih dari itu, mereka bahkan berani mengklaim bahwa Tuhan menyertai mereka, padahal segala sesuatu yang mereka bangun berdiri di atas dasar pemberontakan, pengkhianatan, dan ketidaktaatan. Dan inilah yang paling berbahaya: bukan hanya menipu orang lain, tapi juga menipu diri sendiri dengan membenarkan dosa atas nama pelayanan.

Tuhan tidak pernah menyertai pelayanan yang dimulai dari pembangkangan. Pelayanan yang lahir dari dosa akan berakhir dalam kehancuran. Gereja yang dibangun dari ketidaktaatan akan menjadi bangunan tanpa hadirat. Dan pelayanan yang lahir dari pengkhianatan, cepat atau lambat, akan menjadi ladang kekacauan, Karena Tuhan tidak berkenan tinggal di tempat yang dibangun di atas pemberontakan. Ia tidak menghuni mimbar yang dibangun di atas luka yang tidak dipulihkan, atau mezbah yang didirikan dari semangat pembangkangan. Tuhan adalah Allah yang kudus, dan Dia tidak menyertai pekerjaan yang keluar dari jalur perintah-Nya. Apa pun yang dimulai dari kehendak daging—meski disamarkan dengan liturgi dan pujian—tidak akan pernah diurapi oleh Roh-Nya. Firman-Nya berkata tegas: “Celakalah mereka, sebab mereka telah mengikuti jalan yang ditempuh Kain, dan karena keuntungan mereka telah menyerahkan diri kepada kesesatan Bileam, dan binasa karena pemberontakan Korah.”(Yudas 1:11), Tiga tokoh yang disebutkan dalam ayat ini—Kain, Bileam, dan Korah—adalah simbol pengkhianatan terhadap rencana Allah:

1.     Kain Melambangkan Ibadah Tanpa Ketaatan. Kisah Kain dalam Kejadian 4 bukan sekadar kisah dua bersaudara yang mempersembahkan korban. Itu adalah gambaran dua sikap hati yang sangat berbeda dalam beribadah kepada Tuhan. Kain dan Habel sama-sama membawa persembahan, namun hanya Habel yang diterima, sementara Kain ditolak. Apa penyebabnya?, Alkitab berkata: “Tetapi Kain dan korban persembahannya tidak diindahkan-Nya.” (Kejadian 4:5). Masalahnya bukan pada bentuk persembahan semata, tetapi pada hati dan motivasi si pemberi. Kain mempersembahkan sesuatu, tapi bukan dengan hati yang taat dan benar di hadapan Allah. Ia beribadah, tetapi tidak tunduk. Ia mempersembahkan, tetapi tidak mendengarkan suara Tuhan. Inilah ibadah yang kosong: dilakukan secara lahiriah, namun tanpa ketaatan batiniah. Ibadah seperti ini masih terjadi hari ini. Orang-orang datang ke gereja, melayani, berkhotbah, bernyanyi, bahkan memimpin jemaat—tetapi bukan dari roh yang tunduk, melainkan dari ambisi, rutinitas, atau karena kepentingan pribadi. Kain bukan ateis. Ia percaya Tuhan. Ia bahkan berbicara dengan Tuhan. Tapi ia tetap menolak untuk berubah. Ketika Tuhan menegurnya dan memberinya kesempatan untuk memperbaiki sikap hatinya, Kain memilih untuk marah dan menolak teguran itu. Ia tidak bertobat—ia justru menyerang Habel, simbol orang benar yang hidup dalam ketaatan. “Jika engkau berbuat baik, bukankah engkau akan diterima? Tetapi jika engkau tidak berbuat baik, dosa sudah mengintip di depan pintu; ia sangat menggoda engkau, tetapi engkau harus berkuasa atasnya.” (Kejadian 4:7). Pesan ini jelas: Ibadah tanpa ketaatan adalah ibadah yang ditolak Tuhan. Dan jika tidak segera dibenahi, ibadah seperti itu akan melahirkan kecemburuan, kemarahan, bahkan pembunuhan rohani—seperti yang dilakukan Kain terhadap Habel. Kain adalah cermin dari mereka yang tetap melayani Tuhan, namun dengan hati yang keras. Mereka membawa korban, tetapi menolak kebenaran. Mereka beribadah, tetapi tidak tunduk. Dan itulah ibadah yang tidak pernah berkenan di hadapan Allah.

2.     Bileam Bileam Mewakili Pelayanan yang Digerakkan oleh Motif Keuntungan Pribadi. Bileam adalah sosok yang penuh paradoks. Dalam Bilangan 22–24, ia disebut sebagai nabi atau orang yang punya akses kepada suara Allah. Tapi yang membedakan Bileam dari nabi-nabi sejati adalah motivasi hatinya: ia melayani bukan untuk taat kepada kehendak Tuhan, tetapi untuk keuntungan pribadi. Ketika Balak, raja Moab, mengutus orang-orang untuk memanggil Bileam agar mengutuki bangsa Israel, tawaran itu disertai dengan imbalan yang besar. Bileam tahu bahwa Israel adalah umat Allah dan bahwa mengutuki mereka bertentangan dengan kehendak Tuhan. Namun, karena matanya telah dibutakan oleh iming-iming upah, ia tetap mencari celah untuk “melayani” sesuai keinginan manusia, sambil tetap berpura-pura taat kepada Tuhan. “Sekalipun Balak memberikan kepadaku penuh rumahnya dengan perak dan emas, aku tidak dapat berbuat apa-apa...”—namun hati Bileam tetap menginginkannya. (Bilangan 22:18, parafrase), Secara lahiriah, Bileam tampak saleh. Ia berbicara seperti nabi. Ia bahkan mengucapkan berkat atas Israel sesuai perintah Tuhan. Tapi Tuhan melihat hati, dan Firman mencatat bahwa motivasinya sudah rusak: “Mereka telah meninggalkan jalan yang benar dan tersesat, karena mereka mengikuti jalan Bileam bin Beor, yang suka menerima upah karena perbuatan-perbuatan yang jahat.” (2 Petrus 2:15).  “Celakalah mereka, karena... mereka menyerahkan diri kepada kesesatan Bileam demi keuntungan.”(Yudas 1:11).  Bileam adalah gambaran mereka yang tetap berbicara tentang Tuhan, tetap berkhotbah, tetap memimpin pelayanan, tapi bukan karena takut akan Tuhan—melainkan demi reputasi, posisi, dan materi. Mereka menukar urapan dengan uang, dan menggadaikan integritas demi pengaruh. Pelayanan seperti Bileam adalah pelayanan yang pintar menyebut nama Tuhan, tapi sesungguhnya menjual panggilan-Nya demi kepentingan diri. Mereka tidak digerakkan oleh kasih kepada domba, tetapi oleh kecintaan terhadap "perak dan emas". Mereka adalah “pelayan Tuhan” di luar, tapi pedagang rohani di dalam.

 

3.     Korah sebagai Gambaran Pemberontakan terhadap Otoritas yang Ditetapkan Allah. Korah adalah tokoh utama dalam pemberontakan terhadap Musa dan Harun, sebagaimana dicatat dalam Bilangan 16. Ia adalah seorang Lewi, bagian dari suku yang sudah ditetapkan untuk melayani di Kemah Suci. Namun Korah tidak puas hanya melayani—ia ingin memimpin. Didorong oleh kesombongan dan rasa iri, Korah mulai menghasut dua ratus lima puluh pemimpin umat lainnya. Ia berkata: "Cukup sampai di sini! Semua orang dalam umat TUHAN adalah orang kudus dan TUHAN ada di tengah-tengah mereka. Mengapa kamu meninggikan diri di atas jemaah TUHAN?" (Bilangan 16:3). Kalimat ini terdengar rohani—seolah ia membela kesetaraan umat—namun motivasi di baliknya adalah kudeta terselubung. Ia menyamakan dirinya dengan Musa dan Harun, padahal Allah sendiri yang menetapkan otoritas Musa. Korah adalah lambang dari mereka yang: Menolak tunduk kepada pemimpin yang ditetapkan Tuhan (gembala sidang), Membungkus ambisi pribadi dengan bahasa “kerohanian” dan “kesetaraan,” Mengajak orang lain dalam pemberontakan dengan menyebarkan kecurigaan dan ketidakpuasan. Tuhan sendiri yang menanggapi pemberontakan itu. Tidak dengan debat, tetapi dengan penghakiman langsung dari langit: “Tanah yang di bawah mereka terbelah... mereka hidup-hidup turun ke dunia orang mati... dan lenyap dari tengah-tengah umat itu.” (Bilangan 16:31–33). Ini bukan hanya teguran; ini adalah deklarasi Tuhan bahwa pemberontakan terhadap otoritas rohani yang sah adalah pemberontakan terhadap Allah sendiri. Korah adalah simbol dari mereka yang tidak puas menjadi pelayan, tetapi ingin menjadi pemimpin tanpa penetapan ilahi. Mereka melawan gembala sah, bukan karena kebenaran, tapi karena keinginan tersembunyi untuk berkuasa dan diakui. Pemberontakan seperti ini bukan hanya mencabik-cabik tubuh Kristus, tapi menantang otoritas Allah sendiri—dan konsekuensinya berat.

Gereja-gereja yang dibangun di atas jejak Kain, Bileam, dan Korah mungkin tampak hidup secara lahiriah—ramai dengan aktivitas, penuh suara dan sorotan mimbar—tetapi sesungguhnya mati, karena dibangun bukan dari salib, melainkan dari pengkhianatan yang dibungkus kerohanian palsu, tanpa hadirat Allah, tanpa restu surga, dan hanya menuntun banyak jiwa ke arah kehancuran rohani yang terselubung. Mereka menjadi rumah ibadah yang kehilangan arah, tempat di mana mimbar dijadikan panggung, pelayanan dijadikan ambisi, dan kesetiaan kepada otoritas Ilahi digantikan oleh loyalitas kepada pemberontakan yang dibalut spiritualitas semu.

II.       PELAYANAN DARI KUDETA: BUKAN PANGGILAN, TAPI PEREBUTAN

Pelayanan sejati dimulai dari panggilan ilahi, bukan dari ambisi pribadi. Ia lahir dari perjumpaan dengan Tuhan, dari proses pemurnian di hadapan salib, dan dari penundukan total kepada otoritas sorgawi maupun otoritas rohani yang ditetapkan Tuhan di bumi. Namun, dalam realita gereja masa kini, fenomena yang menyedihkan sekaligus mengkhawatirkan semakin nyata dan berani: munculnya orang-orang yang keluar dari penggembalaan yang sah, bukan karena panggilan atau pengutusan ilahi, melainkan karena kekecewaan yang dipelihara, sakit hati yang tidak disembuhkan, dan hati yang menolak tunduk kepada otoritas rohani yang telah ditetapkan Tuhan. Mereka tidak lagi mau berjalan dalam proses, tidak rela ditegur, tidak sabar dalam pembentukan, dan akhirnya memilih untuk memberontak dengan cara mendirikan gereja sendiri, seolah-olah itu adalah "jalan Tuhan" bagi mereka.

Padahal, jauh di balik layar, pelayanan yang mereka dirikan bukanlah buah dari ketaatan dan pemuridan, melainkan hasil dari pelarian emosional dan ambisi yang terpendam. Mereka membawa lari jemaat, merusak kepercayaan umat, dan membangun sesuatu yang terlihat seperti pelayanan, tetapi sesungguhnya lahir dari ketidaktaatan, dilandasi oleh ego, dan diarahkan oleh kehendak sendiri, bukan oleh kehendak Allah. Ironisnya, mereka membawa keluar jemaat yang pernah dititipkan kepada otoritas rohani tersebut. Mereka membajak nama gereja, mencuri pengaruh, bahkan memanipulasi narasi seolah-olah mereka adalah korban, padahal sejatinya mereka adalah pelaku pemberontakan terselubung. Mereka memulai pelayanan bukan dengan restu ilahi, melainkan dengan semangat kudeta: menggulingkan otoritas, lalu mendirikan mimbar sendiri di atas puing relasi yang hancur, hal ini dapat dikatakan:

1)           Itu bukan kelahiran rohani. Itu adalah lahir dari rahim pemberontakan, bukan dari rahim doa dan penundukan diri. Itu bukan hasil perjumpaan dengan salib, melainkan hasil dari kekecewaan yang tidak dibereskan dan ambisi yang dibungkus kerohanian palsu.

2)           Itu bukan pengutusan. Itu adalah pemberangkatan diri sendiri, tanpa restu surga dan tanpa pengakuan dari otoritas yang sah. Mereka tidak diutus—mereka melarikan diri, lalu menyebut pelariannya sebagai panggilan.

3)           Itu bukan pelayanan. Itu adalah panggung untuk menyuarakan ego, bukan mimbar untuk memberitakan salib. Mereka memakai nama Tuhan, tapi menolak jalan Tuhan. Mereka berbicara tentang kebenaran, tapi menolak tunduk kepada otoritas kebenaran.

4)           Itu bukan gereja. Itu adalah bentukan rohani yang cacat sejak kelahirannya—karena tidak lahir dari panggilan ilahi, tetapi dari pemberontakan yang terselubung. Ia dibangun di atas reruntuhan perpecahan, bukan di atas dasar Kristus yang kokoh. Didirikan bukan oleh dorongan Roh Kudus, tetapi oleh desakan luka, ambisi, dan keinginan untuk melepaskan diri dari proses pemuridan. Ia dipelihara bukan dengan pengurapan, tetapi dengan manipulasi emosi, loyalitas pribadi, dan cerita-cerita yang dibengkokkan untuk membenarkan pembangkangan. Gereja seperti ini bukan tubuh Kristus—melainkan bangunan buatan manusia yang menggunakan simbol rohani untuk menutupi dosa struktural.  Ada sebuah kisah yang menggambarkan dinamika kelam dalam dunia pelayanan masa kini. Suatu ketika, sekelompok jemaat yang sebelumnya digembalakan secara sah di bawah sebuah gereja lokal yang terdaftar dalam sinode A, memutuskan untuk keluar secara sepihak. Mereka meninggalkan gereja bukan karena pengutusan, bukan karena panggilan ilahi, tetapi karena tidak mau lagi tunduk pada proses, disiplin, dan otoritas rohani. Bahkan sebelum pergi, mereka menyebarkan fitnah dan narasi buruk tentang gembala mereka sendiri—seorang hamba Tuhan yang selama ini telah melayani mereka dengan kasih dan kesetiaan. Kelompok ini lalu mendirikan gereja tandingan, sambil mencatut nama sinode A—sinode yang sama dengan sinode gembala mereka—seolah-olah mereka adalah cabang resmi dari gereja tersebut. Mereka bahkan mencoba bergabung dengan gereja lain dalam sinode A yang bersedia menerima mereka sebagai cabang. Namun ketika sinode mengetahui bahwa tindakan ini menyalahi tata gereja dan dilakukan secara sepihak, sinode A segera mengeluarkan surat resmi penghentian seluruh aktivitas mereka. Secara struktural, posisi mereka tidak sah.  Namun kisahnya tidak berhenti di sana. Mereka kemudian mencari sinode lain—sinode B—dan mengajukan permohonan secara tertulis dan bermaterai untuk menjadi cabang baru. Sinode B, yang belum mengetahui rekam jejak mereka sebelumnya, menerima mereka sebagai bagian. Seorang pendeta ditugaskan untuk melayani dan bahkan mendaftarkan mereka secara resmi sebagai cabang sah di bawah sinode B. Namun pola lama kembali terulang. Setelah pelayanan berjalan, mereka mulai menunjukkan penolakan terhadap otoritas. Hingga akhirnya, mereka menolak gembala yang menaungi mereka, bahkan kemudian memutus hubungan dengan gembala dan juga memutuskan hubungan sebagai cabang dari gereja yang ada di sinode B secara sepiihak, dengan alasan ingin berdiri mandiri dan merasa cukup mampu menggembalakan diri sendiri, serta mengklaim memiliki visi dan misi yang berbeda—yang tampaknya rohani di permukaan, namun pada dasarnya lahir dari semangat ketidaktaatan terhadap otoritas yang sah. Mereka telah keluar sebagai cabang, namun tetap berdiri atas nama pelayanan—tanpa dasar struktural yang sah, tanpa legalitas yang benar, dan yang lebih fatal lagi: mereka masih menguasai aset dan gedung gereja milik gereja induk yang dulu mereka tinggalkan dan khianati. Padahal gedung itu selesai dibangun di bawah penggembalaan yang mereka tolak, melalui doa, pengorbanan, dan kesetiaan rohani yang kini mereka injak dengan ego dan ambisi. Mereka menyebutnya pelayanan, tapi Tuhan tidak pernah mengutusnya. Mereka menyebutnya gereja, tapi Tuhan tidak pernah menanamnya. Mereka berdiri di atas nama-Nya, tapi mengkhianati jalan-Nya. Inilah wajah dari pelayanan yang lahir dari kudeta rohani: Dibungkus liturgi, tapi penuh kepahitan, Ramai aktivitas, tapi kosong hadirat, Penuh suara, tapi tak punya restu surga.

            Semua Itu adalah kudeta rohani yang dibungkus dalam liturgi. Dan Alkitab sudah memperingatkan tentang orang-orang semacam ini: “Orang-orang ini menimbulkan perpecahan, mereka dikuasai oleh keinginan-keinginannya sendiri, mereka tidak memiliki Roh.” (Yudas 1:19). Mereka menabur perpecahan bukan karena kebenaran, tapi karena hasrat untuk berkuasa tanpa proses, tanpa penundukan, tanpa salib. Mereka menolak dididik, tetapi ingin memimpin.

            Mereka tidak mau taat, tetapi ingin dihormati. Dan karena itulah, Roh Allah tidak bekerja dalam mereka—yang ada hanyalah semangat daging yang dikemas dalam kemasan pelayanan. Dalam pelayanan sejati, kita mati supaya Kristus hidup. Tapi dalam pelayanan yang lahir dari kudeta, Kristus disingkirkan, dan ego pribadi diangkat menjadi pusat. Gereja semacam ini akan terus hidup dalam konflik, karena fondasinya bukan batu karang, melainkan pemberontakan yang dilapisi spiritualitas palsu. "Bukan semua yang berbicara tentang Tuhan berasal dari Tuhan. Beberapa hanya memakai nama-Nya untuk melanggengkan kepentingan pribadinya". Pelayanan seperti ini mungkin tetap berjalan, bahkan berkembang secara angka, tetapi tidak membawa kehidupan—karena tidak ada salib di tengahnya, tidak ada pertobatan di dasarnya, dan tidak ada hadirat Tuhan yang menyertainya. Ia hanya menjadi sarana bagi ambisi pribadi yang dibungkus liturgi, dan memproduksi murid-murid yang belajar memberontak daripada tunduk.

            Di atas mimbar mereka ada suara, tetapi tidak ada suara Surga. Di balik pelayanan mereka ada aktivitas, tetapi bukan pengurapan. Dan di ujung jalannya, bukan kemuliaan Tuhan—melainkan kehancuran rohani yang terselubung.

III.      TANPA HADIRAT ALLAH (GEREJA KOSMETIK)

            Gereja yang lahir dari pengkhianatan dan pemberontakan bisa saja tampak hidup secara lahiriah. Jemaat tetap berkumpul setiap minggu, musik tetap mengalun indah, mimbar tetap terisi dengan suara keras dan bahasa rohani, bahkan suasana ibadah bisa tampak “menggugah.” Tapi satu hal yang paling menentukan justru tidak ada di sana: hadirat Allah. Mengapa? Karena Tuhan tidak menyertai pemberontakan. Tuhan tidak hadir di tempat di mana ketaatan dikorbankan demi ambisi pribadi. Firman Tuhan berkata dengan tegas: “Tuhan itu jauh dari pada orang fasik, tetapi doa orang benar didengar-Nya.”(Amsal 15:29).  Ini berarti bahwa bukan semua aktivitas yang mengatasnamakan ibadah atau gereja otomatis menghadirkan Tuhan. Keberadaan-Nya tidak bisa dimanipulasi oleh liturgi atau kesibukan pelayanan. Ketika gereja dibangun bukan di atas dasar salib dan ketaatan, tapi dari luka, ambisi, atau kudeta rohani, maka segala yang dilakukan hanyalah gerak tubuh tanpa nyawa—seperti tubuh yang tanpa roh (Yakobus 2:26).

            Gereja sejati tidak diukur dari jumlah kursi yang terisi, keindahan gedung, kemewahan alat musik, atau sorotan lampu mimbar. Gereja sejati diukur dari satu hal: hadirat Allah yang nyata dan memerintah di tengah-tengah umat-Nya. Ketika hadirat itu tidak ada, semua aktivitas rohani berubah menjadi rutinitas hampa. Itu bukan ibadah, itu pertunjukan. Itu bukan pelayanan, itu panggung manusia. Inilah yang disebut oleh banyak hamba Tuhan sebagai "gereja kosmetik"—gereja yang terlihat sehat di luar, tetapi busuk di dalam. Dipoles rapi secara visual, tetapi penuh kebingungan dan konflik secara rohani. Ibadah tetap berlangsung, tetapi tanpa penundukan hati. Pelayanan dijalankan, tetapi bukan karena pengurapan, melainkan karena kebiasaan atau popularitas. Suara tetap berkumandang, tetapi bukan suara Tuhan—melainkan suara ambisi, manipulasi, dan pencitraan.

            Ini seperti zaman Nabi Yehezkiel, ketika kemuliaan Tuhan beranjak pergi dari Bait Suci (Yehezkiel 10:18–19), namun ibadah tetap dijalankan oleh umat yang tidak sadar bahwa kemuliaan sudah meninggalkan tempat itu. Mereka terus beribadah seperti biasa, tetapi hadirat Tuhan telah tiada. Dan bukankah itu yang terjadi hari ini di banyak tempat? Pelayanan tetap berlangsung, tetapi tidak ada pertobatan. Jemaat terus bertambah, tetapi tidak ada pembaruan hidup. Program gereja makin kompleks, tetapi kuasa Tuhan tidak nyata. Semua ini adalah tanda bahwa aktivitas telah menggantikan hadirat, dan ritual telah menggantikan relasi. Tuhan tidak lagi menjadi pusat. Gereja menjadi institusi manusiawi, bukan tempat pemerintahan Kristus.

               Gereja kosmetik tidak lahir dari salib, tetapi dari kepentingan pribadi. Ia tidak dibangun dari air mata dan ketaatan, tetapi dari perhitungan keuntungan, pengaruh, dan pencitraan diri. Ia bukan tempat di mana orang mencari Tuhan, melainkan tempat di mana manusia membangun kerajaannya sendiri atas nama Tuhan. Itulah sebabnya ia tidak menghasilkan buah roh, melainkan buah konflik, kritik, kemunafikan, dan akhirnya menggandakan semangat pemberontakan yang melahirkannya. Secara teologis, gereja semacam ini tidak bertumbuh dalam Kristus (Efesus 4:15), melainkan bertumbuh dalam sistem yang menyenangkan daging. Bahkan Yesus pernah menegur gereja semacam ini: “Aku tahu segala pekerjaanmu: engkau dikira hidup, padahal engkau mati!” (Wahyu 3:1, tentang Gereja Sardis). Inilah tragedi gereja kosmetik: masih menyebut nama Tuhan, tapi Tuhan tidak pernah menanamnya. Masih membagikan berkat, padahal Tuhan tidak pernah mengutusnya. Masih berdiri atas nama pelayanan, padahal Tuhan sudah menolak dasar keberadaannya. Sebab apa gunanya bangunan megah, mimbar ramai, pengikut banyak, jika akhirnya Tuhan berkata: “Aku tidak pernah mengenal kamu”? Apa gunanya menyebut diri gereja, jika Tuhan sudah lama meninggalkan tempat itu?. Itulah yang pernah penulis alami secara nyata: Dengan kasih dan pengharapan, penulis pernah mencoba memelihara mereka yang telah membangkang—orang-orang yang sebelumnya dilayani dalam kasih, dibina dalam penggembalaan yang sabar, namun kemudian memilih jalan pemberontakan. Bahkan setelah mereka berbuat salah, penulis tetap membuka pintu pengampunan, memberi ruang untuk pulih, dan tetap percaya bahwa perubahan itu mungkin. Namun seiring waktu, satu hal menjadi jelas: karakter mereka tidak berubah. Mereka tidak bertobat, tidak melembut, bahkan semakin keras dan licik dalam menutupi motif mereka dengan topeng kerohanian. Apa yang dulunya hanya penyimpangan, kini menjadi pola. Apa yang tadinya hanya reaksi, kini menjadi gaya hidup rohani yang rusak—berpindah dari satu wadah ke wadah lain, membajak struktur, lalu membuang otoritas. Sampai pada titik tertentu, penulis hanya bisa berkata dalam gentar: Mungkin mereka telah hidup di bawah kutuk karena pemberontakan yang mereka pelihara. Sebab Firman Tuhan berkata dengan jelas: "Sebab pemberontakan adalah sama seperti dosa bertenung, dan kedegilan adalah sama seperti menyembah berhala dan terafim. Karena engkau telah menolak firman TUHAN, maka Ia telah menolak engkau..." (1 Samuel 15:23). Pemberontakan terhadap otoritas rohani yang ditetapkan Allah bukan sekadar konflik personal—itu adalah pemberontakan terhadap Allah sendiri. Dan ketika seseorang membangun pelayanan di atas fondasi pengkhianatan, maka jangan heran jika kehadiran Tuhan menjauh, dan hidup mereka tertutup dari anugerah yang sejati. Sebab tidak semua yang terlihat rohani berasal dari Tuhan. Dan tidak semua yang mengatasnamakan pelayanan sedang berjalan dalam panggilan Ilahi.  Inilah peringatan yang lahir dari luka, tetapi juga dari terang kebenaran. Kiranya yang membaca merenung dalam gentar, dan memilih jalan salib, bukan jalan kudeta. Karena hanya di jalan salib, hadirat Tuhan tetap tinggal.  Dan untuk itu, ada beberapa hal yang patut direnungkan dengan sungguh-sungguh, antara lain:

a)           Tidak semua yang memakai nama Tuhan diutus oleh Tuhan. Banyak yang berdiri di mimbar, tetapi tidak pernah melewati proses salib. Mereka membawa pesan, tapi bukan dari surga. Mereka membangun gereja, tapi tanpa fondasi yang benar.

b)          Tidak semua perpecahan adalah panggilan baru. Ada perpecahan yang lahir bukan karena visi, tetapi karena ambisi. Bukan karena pengutusan, tetapi karena penolakan terhadap otoritas yang sah. Dan semua itu tidak menghasilkan Kerajaan Allah, tetapi memperluas wilayah pemberontakan. Hadirat Allah tidak bisa dipalsukan.

c)           Tidak semua suasana ibadah berarti hadirat Allah hadir. Musik bisa dibuat megah, suasana bisa diatur menyentuh, dan kata-kata bisa dibentuk sangat rohani—tetapi hadirat Allah hanya tinggal di tempat yang sungguh-sungguh tunduk kepada-Nya. Di luar ketaatan, semua kemegahan hanyalah kebisingan kosong. Ibadah yang tak lahir dari hati yang hancur di hadapan Tuhan hanyalah pertunjukan yang menipu diri sendiri dan jemaat.

d)          Tidak ada pelayanan sejati tanpa salib. Pelayanan yang tidak dimulai dari salib—dari kematian atas ego, ambisi, dan keinginan pribadi—pasti akan berakhir pada kejatuhan. Sebab salib bukan sekadar simbol, tetapi fondasi rohani. Tanpa salib, pelayanan hanyalah panggung pertunjukan rohani yang mengejar pujian manusia, bukan perkenanan Tuhan. Dan Tuhan tidak berkenan pada panggung yang dibangun untuk ego. Sebab mimbar bukan tempat meninggikan manusia, tapi salib tempat manusia direndahkan agar Kristus ditinggikan. Ketika pelayanan berubah menjadi panggung pencitraan, hadirat Tuhan pun menjauh, dan yang tersisa hanyalah pertunjukan kosong yang membius jiwa tapi tidak menyelamatkan..

e)           Tidak ada pemberontakan rohani yang luput dari penghakiman Allah. Pengkhianatan terhadap otoritas ilahi tidak pernah tanpa konsekuensi. Tuhan memang panjang sabar, tetapi Ia tidak buta. Alkitab menegaskan bahwa apa yang ditabur, pasti akan dituai. Maka siapa pun yang menabur perpecahan, fitnah, dan kudeta rohani akan menuai kebinasaan rohani yang menyakitkan—di dunia ini dan dalam kekekalan.

Karena itu, jangan bangun pelayanan di atas dasar pemberontakan. Jangan klaim panggilan tanpa ketaatan. Dan jangan bawa nama Tuhan untuk agenda pribadi. Hanya di jalan salib, gereja sejati bisa bertumbuh—di sanalah kita dipanggil, dibentuk, dan diutus. Dan bagi umat Tuhan, jangan datang ke gereja yang lahir dari kudeta rohani. Sekalipun tampak rohani, penuh aktivitas, dan dibungkus liturgi yang megah, itu bukan ladang penggembalaan yang sehat, melainkan jebakan rohani yang menyesatkan. Gereja seperti ini mungkin berbicara tentang Tuhan, tapi tidak berjalan bersama Tuhan. Mereka bisa mengutip ayat, menyanyikan pujian, bahkan melakukan pelayanan sosial—namun hadirat Allah tidak tinggal di sana karena fondasinya adalah pemberontakan, bukan ketaatan. Jika engkau menanam hidupmu di tempat yang salah, maka buah rohanimu pun akan rusak. Jangan biarkan dirimu dituntun oleh pemimpin yang muncul dari ambisi dan pemberontakan, sebab arah mereka bukan menuju salib, tetapi menuju kehancuran rohani—baik bagi dirinya sendiri, maupun bagi domba-domba yang mengikutinya. Waspadalah, karena tersesat dalam sistem rohani yang salah bisa membawa dampak kekal yang tidak bisa dibatalkan oleh penyesalan di kemudian hari. Pilihlah gereja yang lahir dari salib, tunduk pada otoritas ilahi, dan dipenuhi hadirat-Nya. Bukan yang ramai secara lahiriah, tetapi yang berakar dalam kebenaran dan ketaatan. Di sanalah ada pemuridan sejati, penggembalaan yang murni, dan kasih yang tidak palsu. Di sanalah hidup rohani bertumbuh, iman dikuatkan, dan keselamatan kekal dipelihara sampai akhir. Sebab hanya di tempat di mana Tuhan hadir dan ditaati, jiwa kita aman dan masa depan rohani kita terarah. Bukan karena sempurnanya pemimpin atau sistem, tetapi karena dasar gereja itu adalah salib dan kehadiran Tuhan—bukan ambisi manusia.  Tetaplah setia di sana, sekalipun tidak sempurna, selama Tuhan masih berkenan tinggal di tengah-tengahnya. Sebab lebih baik berada di tengah kawanan kecil yang benar, daripada ramai-ramai di jalan yang menyesatkan.

IV.        KEMUNAFIKAN YANG DISELIMUTI KATA ‘PELAYANAN’

Yang lebih tragis dari pemberontakan adalah ketika pengkhianatan terhadap otoritas rohani dibungkus dengan kata "pelayanan". Mereka tetap menyebut nama Tuhan, tetap berkhotbah, tetap berkata "Tuhan berbicara padaku", tetap mengangkat tangan dalam ibadah—padahal akar dari semua itu adalah ketidaktaatan dan ambisi pribadi. Di sinilah kemunafikan beroperasi paling halus: ketika dosa dibungkus liturgi, dan pelanggaran dijustifikasi dengan bahasa rohani. Yesus sendiri sudah memperingatkan: “Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku.” (Matius 7:21)  Ayat ini bukan ditujukan kepada orang luar gereja, tapi kepada mereka yang berada "di dalam" pelayanan, namun hidupnya tidak selaras dengan kehendak Allah. Artinya, tidak semua yang bernuansa pelayanan adalah kehendak Allah. Tidak semua mimbar adalah altar, dan tidak semua pemimpin adalah utusan Tuhan. Di hadapan Allah, ketaatan lebih penting daripada aktivitas. Apa pun yang dilakukan di luar ketaatan kepada kehendak-Nya adalah kesia-siaan—bahkan bisa menjadi kejahatan rohani. Dalam konteks kehidupan nyata, ini adalah peringatan bagi:

1)           Mereka yang memulai pelayanan dengan motivasi yang salah—entah karena sakit hati, kecewa, ambisi, atau ingin membuktikan sesuatu Pelayanan sejati lahir dari panggilan ilahi dan proses pemurnian, bukan dari reaksi emosional. Namun banyak yang memulai "pelayanan" bukan karena mereka mendengar suara Tuhan, tetapi karena mereka ingin membuktikan bahwa mereka mampu setelah ditolak, disakiti, atau dikoreksi.

2)           Mereka yang tetap aktif dalam pelayanan, tetapi menolak pemrosesan karakter, tidak mau tunduk pada otoritas, dan bersikeras mengatasnamakan "panggilan", padahal yang mendorong hanyalah kepentingan diri. Pelayanan bukan hanya soal aktivitas, tetapi proses pembentukan karakter dan penundukan diri di hadapan Tuhan. Namun banyak orang menolak disiplin rohani dan tidak mau dikoreksi, tetapi tetap melayani—karena pelayanan memberi mereka posisi, sorotan, dan pengaruh. Mereka menggunakan kata "panggilan" untuk menghindari konfrontasi. Mereka berkata "Tuhan yang panggil saya," tapi menolak semua bentuk otoritas yang sah. Padahal panggilan sejati selalu membawa seseorang tunduk, bukan liar; rendah hati, bukan membangkang. Pelayanan yang tidak melewati proses akan menghasilkan pemimpin tanpa karakter dan pelayanan tanpa integritas. Akhirnya, mereka lebih sibuk mengatur orang lain daripada membiarkan Tuhan membentuk diri mereka sendiri. Dan karena fondasinya rusak, pelayanan itu akan mencemari orang-orang yang dilayani, bukan membangun mereka. Mereka yang tetap aktif dalam pelayanan, tetapi menolak pemrosesan karakter, tidak mau tunduk pada otoritas, dan bersikeras mengatasnamakan "panggilan", padahal yang mendorong hanyalah kepentingan diri.

3)           Mereka yang mengumpulkan pengikut, membentuk sistem, membangun gedung, bahkan melakukan aktivitas misi, tetapi semuanya berasal dari akar pemberontakan, bukan pengutusan ilahi. Ada pelayanan yang tampak “berhasil” secara angka dan struktur: jemaat banyak, cabang bertambah, aktivitas misi berjalan. Namun Tuhan tidak pernah mengutusnya. Semuanya lahir bukan dari ketaatan kepada Roh Kudus, melainkan dari pemberontakan terhadap penggembalaan sah atau otoritas gereja. Mereka menggunakan infrastruktur gereja sebagai kendaraan ambisi pribadi. Mereka membajak sistem rohani untuk membangun kerajaan kecilnya sendiri, bukan memperluas Kerajaan Allah. Bahaya terbesar dari pelayanan semacam ini adalah: tampak seperti gereja, tapi sesungguhnya hanya sistem yang memanfaatkan nama Tuhan, tanpa hadirat-Nya. Dan lebih fatal lagi, Banyak jiwa tertipu dan tertarik oleh kemasan itu—liturgi yang rapi, pesan yang terdengar manis, serta suasana yang menggugah—padahal secara rohani, mereka sedang dituntun menjauh dari salib dan dari kebenaran sejati. Yang lebih menyedihkan, para pemimpin dan majelis yang berada di dalam struktur pelayanan semacam ini justru menjadi agen penghasutan rohani: menyebarkan narasi pemberontakan, menormalisasi pembangkangan terhadap otoritas yang sah, dan membungkus semua itu dengan istilah “visi bersama.” Alih-alih membawa jemaat untuk bertobat dan kembali kepada jalan salib, mereka justru mendorong umat untuk meninggalkan gembala yang benar, menolak pemrosesan, dan hidup dalam semangat “kebebasan rohani” yang menolak disiplin ilahi. Yang lebih tragis—mereka tidak merasa malu, bahkan merasa benar, karena sudah terbiasa menyebut ambisi sebagai visi, dan pembangkangan sebagai pembaruan. Inilah bentuk kemunafikan yang paling berbahaya: ketika kebohongan dipoles dengan bahasa rohani, dan ketika pemberontakan berjubah pelayanan. Maka tidak heran, jika hadirat Allah menjauh, dan yang tersisa hanyalah organisasi manusia yang sibuk membangun nama, bukan menyatakan kemuliaan Tuhan.

Kemunafikan semacam ini tidak tampak di luar—karena semua tampak “baik” dan “rohani”. Tapi di hadapan Tuhan, yang dilihat adalah hati, motivasi, dan ketaatan. Seperti Yesaya 29:13 berkata: “Bangsa ini datang mendekat dengan mulutnya dan memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya jauh dari pada-Ku…” Jangan jadikan pelayanan sebagai topeng untuk menutupi pelanggaran. Jangan jadikan aktivitas gereja sebagai tempat berlindung dari proses pemulihan.

Pelayanan yang benar lahir dari salib, bukan dari strategi. Dari kehancuran ego, bukan dari ambisi yang terselubung. Karena Tuhan tidak tertarik pada kemasan—Dia mencari ketaatan dan ketulusan. Lebih baik jadi kecil dan tidak dikenal, asal benar di hadapan Tuhan—daripada tampak rohani, tapi sebenarnya sedang menumpuk murka untuk hari penghakiman.

V.       PEMBERONTAKAN BERTOPENG SALIB

Kristus bukan untuk dibelah. Gereja adalah tubuh-Nya yang kudus dan satu. Mereka yang dengan sadar memecah gereja—dengan membangun mimbar tandingan, memecah jemaat, dan membajak otoritas rohani demi ambisi pribadi—sesungguhnya sedang mengoyak tubuh Kristus sendiri. Ini bukan sekadar konflik antarpelayan, ini adalah pengkhianatan terhadap kesatuan tubuh rohani yang telah ditebus oleh darah Anak Domba. Rasul Paulus mengingatkan secara tegas dalam 1 Korintus 3:17: “Jika ada orang yang merusak Bait Allah, maka Allah akan membinasakan dia. Sebab Bait Allah adalah kudus dan Bait Allah itu ialah kamu.” Ayat ini menegaskan bahwa gereja bukanlah gedung, melainkan komunitas orang percaya yang telah disatukan dalam Kristus.

Ketika seseorang menyebabkan perpecahan, merusak otoritas rohani yang sah, dan menabur pemberontakan, ia tidak hanya melukai relasi secara horizontal antar sesama orang percaya, tetapi juga melawan Allah secara vertikal. Sebab gereja bukan milik pribadi, bukan buatan manusia, melainkan tubuh Kristus sendiri—dibangun oleh darah-Nya, dipimpin oleh Roh-Nya, dan dijaga oleh otoritas yang ditetapkan-Nya. Maka saat seseorang merusak gereja dari dalam, ia sedang menentang Pendirinya sendiri, yaitu Kristus. Secara teologis, ada beberapa hal penting yang harus kita pahami:

a)     Tubuh Kristus adalah satu. Dalam Efesus 4:4-5 menegaskan dengan kuat: “Satu tubuh dan satu Roh, sebagaimana kamu telah dipanggil kepada satu pengharapan yang terkandung dalam panggilanmu, satu Tuhan, satu iman, satu baptisan.” Ini adalah deklarasi ilahi tentang kesatuan gereja yang tidak dapat ditawar, dikompromikan, atau dipaksakan secara manusiawi. Kesatuan ini adalah karya Roh Kudus yang menyatukan semua orang percaya ke dalam satu tubuh, yaitu tubuh Kristus. Maka, setiap tindakan yang menimbulkan perpecahan—baik melalui pembentukan gereja secara liar, pemisahan diri dari otoritas rohani yang sah, maupun pencatutan nama pelayanan tanpa pengutusan—adalah bentuk penolakan terhadap karya Roh Kudus. Sebab Roh Kudus tidak pernah melahirkan kekacauan, tetapi selalu memelihara kesatuan dalam kebenaran. Setiap tindakan yang menciptakan perpecahan bukan berasal dari Roh Kudus, melainkan dari roh lain—yaitu roh pemberontakan, yang sejak awal adalah roh yang sama yang ada dalam diri Lucifer ketika ia memberontak terhadap otoritas Allah di surga. Pemberontakan bukan sekadar pelanggaran organisasi, melainkan dosa rohani yang serius dan membawa dampak kekekalan. Dalam Perjanjian Lama, kita melihat betapa seriusnya Tuhan memandang hal ini. Kisah Korach (Korah) dalam Bilangan 16 adalah peringatan keras bagi siapa pun yang mencoba menggulingkan otoritas yang ditetapkan Allah. Ketika Korah dan orang-orangnya menolak kepemimpinan Musa dan Harun—yang ditetapkan langsung oleh Tuhan—Tuhan sendiri yang turun tangan dan menghakimi mereka. Bukan Musa yang membalas, tetapi Tuhan yang membela otoritas-Nya. Dalam konteks Perjanjian Baru, prinsipnya tetap sama: Tuhan tidak pernah mengutus siapa pun untuk memecah tubuh-Nya sendiri. Tidak ada seorang pun yang diberi mandat ilahi untuk mendirikan gereja baru dengan membawa pemberontakan, memecah jemaat, dan menghancurkan hubungan tubuh Kristus. Justru, setiap tindakan seperti itu adalah bentuk kudeta rohani yang menyalahi prinsip salib dan merusak kesatuan yang telah dibentuk oleh Roh Kudus. Dan jika seseorang tetap bersikeras melakukannya—meskipun diselimuti liturgi, kata-kata rohani, bahkan berlabel “panggilan Tuhan”—sesungguhnya ia sedang menyamar dalam terang, tetapi berjalan dalam kegelapan. Mereka mungkin masih memakai nama Yesus, tetapi tindakan mereka sedang mencabik-cabik tubuh Kristus. Mereka mungkin masih berdiri di mimbar, tetapi hadirat Tuhan sudah tidak menyertai. Yang mereka lakukan bukan pelayanan, melainkan pengkhianatan terhadap rancangan Allah bagi gereja-Nya. Dan pemberontakan seperti itu, cepat atau lambat, akan menuai penghakiman dari Tuhan sendiri. Karena itu, gereja tidak boleh membiarkan pemberontakan menjadi kebiasaan yang dimaklumi. Jemaat tidak boleh menganggap remeh orang-orang yang keluar dari penggembalaan sah lalu membentuk “pelayanan” mereka sendiri. Sebab dalam terang Firman Tuhan, itu bukan kebebasan rohani—itu pemberontakan yang dibungkus dengan kemasan rohani. Dan Tuhan tidak akan berkenan kepada pelayanan yang lahir dari roh yang salah.

b)     Topeng salib adalah kemunafikan rohani.  Saat seseorang mengaku “dipanggil Tuhan” namun tindakan dan buah hidupnya menunjukkan pembangkangan, ia sedang memakai salib sebagai topeng, bukan sebagai saluran anugerah. Dan salib yang dipakai sebagai topeng tidak menyelamatkan—ia malah membinasakan. Hukuman atas pengkoyakan tubuh Kristus nyata dan berat. Dalam konteks 1 Korintus 3:17, "membinasakan" menunjuk pada konsekuensi serius baik di dunia maupun di kekekalan. Allah tidak main-main dengan kesatuan dan kekudusan tubuh-Nya. Perpecahan yang disengaja adalah bentuk penistaan terhadap karya salib Kristus yang menyatukan manusia dengan Allah dan satu sama lain. Pemberontakan tidak selalu datang dengan wajah bengis. Kadang, ia datang dengan liturgi, dengan suara “profetik”, dengan ibadah yang tampak megah—tetapi semua itu hanya hiasan kosong yang menyembunyikan luka yang tidak disembuhkan dan ambisi yang tidak diserahkan. Maka, setiap pelayanan yang tidak berakar dari salib, hanya akan menghasilkan mimbar yang berisi suara manusia, bukan suara Tuhan. Dan ingat: Salib bukan tempat membangun tahta. Salib adalah tempat mati bagi ego dan lahir bagi kehendak Allah. ” (1 Korintus 3:17)

c)     Kekudusan tubuh Kristus tidak bisa dinegosiasikan. Gereja bukan sekadar komunitas rohani. Gereja adalah tubuh Kristus yang kudus—dan kekudusan ini tidak bisa dikompromikan hanya karena konflik, tekanan, atau loyalitas manusia. Pemisahan diri dari gereja sah dengan alasan “panggilan” yang tidak melalui pengutusan adalah bentuk penyesatan spiritual yang berbahaya. Banyak orang saat ini tergoda membentuk “pelayanan baru” atau “gereja sendiri” dengan dalih perbedaan visi dan misi. Namun jika dasar perbedaan itu bukan salib, melainkan sakit hati, ego, dan pemberontakan, maka mereka bukan sedang melanjutkan misi Tuhan, melainkan sedang mendirikan menara Babel rohani.

d)     Setiap pemberontakan rohani berdampak pada kekekalan. Kita harus sadar, dosa pemberontakan tidak hanya melukai tubuh Kristus di bumi, tetapi juga mencemarkan catatan kita di hadapan Tuhan. Orang yang memberontak terhadap otoritas rohani yang sah, tetapi tetap memakai nama Tuhan, sebenarnya sedang menyalahgunakan nama-Nya untuk kepentingan diri sendiri. Ini adalah bentuk penyesatan terselubung. Dan dampaknya bukan hanya ke dunia, tetapi ke kekekalan. Sebab Tuhan tidak melihat keberhasilan pelayanan dari jumlah jemaat atau besarnya gedung, tetapi dari ketaatan pada panggilan-Nya yang benar dan cara kita menghormati otoritas-Nya.

Kesatuan, kekudusan, dan ketaatan adalah tiga tiang tak tergantikan dalam tubuh Kristus. Ketika ketiganya digantikan dengan ambisi, pemberontakan, dan topeng rohani, maka gereja bukan lagi tempat kehadiran Tuhan, melainkan panggung manusia. Karena itu, siapa pun yang hendak melayani Tuhan, harus memulainya bukan dari kemarahan, bukan dari kepahitan, bukan dari agenda pribadi—tetapi dari salib. Sebab hanya di salib, kehendak manusia mati dan kehendak Allah hidup. Di sanalah pelayanan sejati dimulai, dan hanya di sanalah hadirat Tuhan tinggal. Kepada siapa pun yang memulai pelayanan dari luka, amarah, atau pemberontakan—dengarlah suara Roh Kudus hari ini: Kembalilah ke salib. Pulanglah ke hadirat. Hentikan kudeta rohani. Tuhan tidak hadir di sana. Tapi Dia masih menanti di tempat pertama Engkau pernah berkata: “Bukan kehendakku, melainkan kehendak-Mu yang jadi.”

VI.     PENUTUP: KEMBALI KE SALIB, HENTIKAN KUDETA ROHANI

Gereja sejati tidak dibangun dari ambisi, amarah, atau pemberontakan, melainkan dari salib—tempat di mana ego mati dan kehendak Allah hidup. Salib bukan sekadar simbol agama, tetapi pusat dari seluruh kehidupan rohani. Di sanalah kehendak pribadi dikuburkan, luka diserahkan, dan agenda manusia digantikan dengan rencana ilahi. Salib bukan tempat memamerkan kekuatan, tapi tempat penyerahan total kepada Tuhan. Ketika pelayanan dimulai bukan dari ketaatan, tetapi dari luka dan pemberontakan, maka yang dihasilkan bukan tubuh Kristus, melainkan panggung manusia yang kehilangan hadirat Tuhan. Pelayanan semacam itu mungkin terlihat hidup di mata manusia—dengan gedung yang ramai, suara yang lantang, dan aktivitas yang padat—tetapi secara rohani itu adalah panggung kosong yang tidak menyentuh surga. Sebab Tuhan tidak menyertai pemberontakan. Ia hadir di tengah umat yang hancur hatinya, tunduk kepada-Nya, dan taat kepada otoritas yang Ia tetapkan. Tidak peduli seberapa megah sebuah gereja dibangun, jika fondasinya adalah ambisi dan keinginan pribadi, maka gereja itu hanya akan menjadi menara Babel rohani—tinggi, sibuk, ramai, tetapi tidak pernah sampai ke sorga. Sebab gereja bukan tentang pencapaian manusia, tetapi tentang kehendak Allah yang digenapi di bumi melalui umat yang setia.

Pemberontakan rohani, betapapun dibungkus dengan kata-kata “panggilan” atau “visi,” tetaplah bentuk penolakan terhadap otoritas Allah. Kita hidup di zaman di mana banyak orang menyamarkan ambisi pribadi sebagai suara Tuhan, dan menyebut ketidaktaatan sebagai kebebasan rohani. Namun, di balik semua itu, Tuhan melihat hati. Ia tidak tertipu oleh kemasan, liturgi, atau bahasa-bahasa rohani yang kosong. Apa yang lahir dari pemberontakan tidak akan pernah membawa hadirat-Nya. Sebaliknya, itu akan menjadi alat perpecahan, kebingungan, dan kehampaan spiritual yang merusak umat Tuhan secara perlahan tapi pasti.

Pelayanan yang berdiri di atas pemberontakan tidak akan pernah berbuah kekal. Mungkin terlihat berhasil di permukaan: gedung dibangun, program dijalankan, dan jemaat berdatangan. Namun semua itu hanyalah struktur tanpa jiwa, aktivitas tanpa urapan, dan mimbar tanpa otoritas ilahi. Sebab Tuhan tidak akan menaruh meterai-Nya pada sesuatu yang dibangun tanpa restu-Nya. Pelayanan sejati lahir dari salib—dari ketaatan, penyerahan, dan kerendahan hati. Di sanalah Tuhan menyatakan hadirat-Nya, menyatakan kuasa-Nya, dan menyatakan kemuliaan-Nya.

Karena itu, kembalilah ke salib. Pulanglah ke hadirat. Hentikan kudeta rohani. Bangunlah kembali pelayanan di atas dasar kebenaran dan ketaatan. Biarlah setiap mimbar, setiap pelayanan, dan setiap bangunan rohani kita berdiri bukan di atas emosi, konflik, atau ambisi pribadi—tetapi di atas dasar yang teguh, yaitu Kristus yang disalibkan. Sebab Firman Tuhan berkata dengan tegas: “Jika bukan TUHAN yang membangun rumah, sia-sialah usaha orang yang membangunnya; jika bukan TUHAN yang mengawal kota, sia-sialah pengawal berjaga-jaga.” (Mazmur 127:1). Dan hanya di atas salib—bukan di atas kudeta—Tuhan akan membangun gereja-Nya. Di sanalah hadirat-Nya tinggal. Di sanalah pelayanan menemukan arti sejati. Dan di sanalah kita, umat-Nya, dipanggil kembali untuk hidup dalam kebenaran—bukan kebenaran versi manusia, tetapi kebenaran yang lahir dari salib, dituntun oleh Roh Kudus, dan berakar dalam Firman. Di sanalah pula karakter kita ditempa, ego kita dikikis, dan tujuan hidup kita diarahkan sepenuhnya untuk kemuliaan-Nya, bukan agenda kita. Sebab pelayanan sejati bukan tentang seberapa tinggi kita bisa berdiri di atas mimbar, tetapi seberapa dalam kita rela merendahkan diri di hadapan salib. Hanya di tempat itu, Tuhan berkenan hadir dan Hanya dari tempat itu, pelayanan sejati bisa lahir Serta  hanya di tempat itu, kekekalan dimulai.

Matius 7:21 “Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku:

Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan dia

yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di sorga.”

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Alkitab Terjemahan Baru (LAI)

Catatan pelayanan pribadi dan pengalaman penggembalaan

Refleksi atas dinamika gereja kontemporer di lingkungan Gereja Gereja

 

============

Biografi Singkat Penulis– Pdt. Syaiful Hamzah Nahampun, M.Th

Gembala Sidang GBI Jl. Plumpang Semper No.22 (JPS22) – Jakarta Utara

Gembala Cabang GBI PRJ Sion – Pearaja Parlilitan, Sumatera Utara

=============

 

Lahir                                : 12 April 1974

Pendidikan                        : Magister Teologi (M.Th)

Sedang menempuh            : Program Doktor (S3) di STT Gragion

Sinode                              : Gereja Bethel Indonesia (GBI)

Istri                                  : Pdm. Tiolida Sihotang S.PdK

Anak                                 : Malkhi K dan Josua Rajahot Eklesyaiful Nahampun

 

Profil Pelayanan

·     Dipanggil dari latar belakang kehidupan yang keras, Pdt. Syaiful Hamzah Nahampun melayani dengan hati yang tulus dan komitmen tinggi terhadap kebenaran firman Tuhan serta ketaatan terhadap struktur dan doktrin GBI.

·     Bersama istri, Pdm. Tiolida Sihotang S.PdK, beliau menggembalakan jemaat di berbagai wilayah, termasuk cabang-cabang luar Jakarta seperti Dayun (Riau) dan Pearaja Parlilitan (Sumatera Utara).

·     Pernah menggembalakan sebuah jemaat di salah satu daerah di Riau secara sah di bawah GBI JPS No. 22, namun kemudian menghadapi pembangkangan jemaat yang keluar secara sepihak tanpa ketaatan rohani maupun struktural.

·     Pelayanannya menekankan pemuridan sejati dalam karakter, pertobatan, dan tanggung jawab, serta menyoroti bahaya teologi spiritual bypass—kerohanian semu yang menghindari pemulihan dan keadilan.

·     Saat ini, beliau juga menempuh studi doktoral (S3) dalam bidang Misi di STT Gragion, dan aktif mengajar sebagai dosen di beberapa sekolah tinggi teologi, membentuk pemimpin-pemimpin gereja yang sehat secara doktrin maupun karakter.

 

 

Catatan Penting: Tulisan ini disusun khusus untuk kalangan sendiri sebagai bahan ilustrasi rohani dan refleksi teologis. Jika terdapat kemiripan dengan peristiwa, tempat, atau individu tertentu, itu tidak disengaja dan bukan merupakan tuduhan pribadi, melainkan ajakan untuk perenungan bersama dalam terang Firman Tuhan. Dilarang menyalin, menyebarluaskan, atau memperbanyak isi tulisan ini tanpa izin tertulis dari penulis.