BAPTISAN ILEGAL - Oleh: Pdt. Syaiful Hamzah M.Th

  


 
 
BAPTISAN ILEGAL:

(KETIKA SAKRAMEN DIRUSAK OLEH KETIDAKTERTIBAN)

Oleh: Pdt. Syaiful Hamzah M.Th

 

I.                 PENDAHULUAN

Dalam beberapa tahun terakhir, gereja menghadapi fenomena yang semakin mengkhawatirkan: orang-orang yang bukan pendeta atau hamba Tuhan yang ditahbiskan, mulai melayani baptisan dengan mengandalkan keyakinan pribadi atau perasaan bahwa mereka “dipakai Tuhan.” Mereka mungkin aktif berkhotbah atau memimpin doa, lalu mengambil kesimpulan bahwa mereka juga layak melayani sakramen seperti baptisan, meskipun tidak memiliki mandat atau pengakuan struktural dari gereja.

Fenomena ini telah menimbulkan kekacauan dalam tubuh Kristus, baik secara rohani maupun struktural. Jemaat menjadi bingung, keabsahan pelayanan menjadi kabur, dan otoritas gereja dilemahkan. Pelayanan sakramen yang seharusnya dilakukan dengan penuh kekudusan dan tanggung jawab, berubah menjadi tindakan sembarangan atas dasar perasaan pribadi.

Tulisan ini ingin menegaskan bahwa dalam konteks gereja masa kini, terutama gereja yang memiliki tata gereja seperti GBI, pelayanan baptisan hanya boleh dilaksanakan oleh pendeta atau hamba Tuhan yang memiliki otoritas sah (Gembala Sidang). Sakramen bukan tindakan sembarangan, dan pelayanan gereja bukan ajang ekspresi pribadi, melainkan panggilan yang dijalani dalam ketaatan terhadap Tuhan dan terhadap tubuh Kristus yang tertib.

II.               DASAR TEOLOGIS DAN ALKITABIAH TENTANG BAPTISAN

Baptisan merupakan perintah langsung dari Tuhan Yesus. Dalam Amanat Agung, Yesus memerintahkan murid-murid-Nya untuk membaptis semua bangsa. Namun perlu dipahami, perintah itu tidak bersifat bebas untuk siapa saja. Amanat itu diberikan kepada murid-murid yang telah diperlengkapi, dididik, dan hidup dalam otoritas komunitas rohani.

Dalam kisah gereja mula-mula, pelayanan baptisan selalu dilakukan oleh orang-orang yang sudah diutus dan diakui otoritasnya. Filipus, seorang diaken, membaptis sida-sida Etiopia bukan karena inisiatif pribadi, tetapi karena dia adalah pelayan gereja yang penuh dengan Roh Kudus dan tunduk pada struktur pelayanan rasuli. Paulus dan Barnabas menunjuk penatua-penatua untuk menggembalakan jemaat, dan pelayanan sakramen tidak pernah dilepaskan dari otoritas tersebut.

Baptisan bukan tindakan pribadi, melainkan tindakan tubuh Kristus. Maka yang melakukannya tidak hanya harus memiliki pengetahuan rohani, tetapi juga berada dalam lingkup otoritas yang dapat dipercaya dan bertanggung jawab. Pelayanan baptisan adalah bagian dari representasi gereja sebagai tubuh Kristus yang satu, kudus, dan am (universal), sehingga tidak boleh dipisahkan dari pengutusan dan pengakuan gerejawi. Tanpa otoritas yang sah, pelayanan ini kehilangan legitimasi rohani dan struktural, dan berisiko membawa kebingungan serta perpecahan di tengah jemaat

III.              SAKRAMEN DALAM KONTEKS GEREJA MASA KINI

Gereja masa kini bukan lagi dalam fase awal seperti gereja mula-mula. Kita hidup dalam konteks gereja yang sudah terstruktur dengan jelas, dengan sinode, tata gereja, dan sistem akuntabilitas. Maka pelayanan sakramen pun harus tunduk pada sistem tersebut. Struktur gereja bukan penghalang pelayanan, melainkan alat untuk menjaga kekudusan, ketertiban, dan keutuhan tubuh Kristus.

Dalam gereja modern, termasuk Gereja Bethel Indonesia (GBI), pelayanan sakramen diatur dengan jelas. Tidak setiap orang boleh melayani baptisan, bahkan jika ia aktif dalam pelayanan sekalipun. Yang memiliki otoritas untuk membaptis hanyalah mereka yang ditetapkan secara resmi sebagai pendeta, atau hamba Tuhan yang ditugaskan secara sah oleh Gembala Sidang atau struktur di atasnya. Ini penting untuk menjaga agar tidak terjadi penyimpangan doktrin, konflik administrasi, dan penyesatan. Tanpa pengawasan yang ketat terhadap siapa yang berhak melayani sakramen, gereja dapat kehilangan arah teologis, membuka ruang bagi interpretasi ajaran yang sembarangan, serta memicu perpecahan struktural yang sulit dikendalikan. Karena itu, penetapan otoritas pelayanan harus menjadi pagar suci bagi kemurnian ajaran dan ketertiban pelayanan.

Struktur gereja bukanlah hasil rekayasa manusia semata, melainkan perwujudan dari prinsip-prinsip Alkitab yang diterapkan dalam konteks dunia yang semakin kompleks. Sejak masa gereja mula-mula, kita melihat bahwa jemaat tidak berjalan sendiri-sendiri atau bertindak semaunya. Ada para rasul, penatua, diaken, dan pelayan lainnya yang ditetapkan secara sah (Kisah Para Rasul 6:1–6; 14:23; Titus 1:5), dengan tugas utama memastikan agar seluruh pelayanan berlangsung secara tertib, terarah, dan tidak menimbulkan kekacauan di tengah jemaat.

Struktur gereja adalah bentuk konkret dari ketaatan terhadap Allah, yang adalah Tuhan atas tatanan—bukan kekacauan (1 Korintus 14:33, 40). Firman Tuhan dengan jelas menghendaki agar segala sesuatu dalam gereja dilakukan “dengan sopan dan teratur,” termasuk dalam pelaksanaan pelayanan dan sakramen. Tanpa struktur, pelayanan menjadi liar; dan tanpa otoritas, tidak ada kejelasan dalam pertanggungjawaban.

Pelayanan yang tidak dibingkai oleh otoritas struktural akan cenderung menciptakan kekacauan rohani, konflik internal, dan penyimpangan ajaran. Setiap orang bisa merasa diri “dipakai Tuhan” dan mulai melayani sakramen tanpa proses pembentukan, pengujian, atau pengutusan. Akibatnya, muncul budaya pelayanan yang tidak sehat—di mana karisma menggantikan karakter, dan klaim rohani menggantikan akuntabilitas.

Struktur gereja bukan sekadar sistem organisasi, tetapi merupakan wadah ketaatan dan perlindungan. Tanpa otoritas yang sah:

·        Tidak ada mekanisme disiplin untuk menertibkan pelanggaran.

Tanpa struktur gereja yang sah, tidak ada sistem atau badan otoritatif yang dapat menegur, menegakkan aturan, atau menghukum pelanggaran pelayanan secara adil dan berimbang. Setiap tindakan keliru—baik dalam ajaran, perilaku moral, maupun penyalahgunaan jabatan—akan sulit dikoreksi karena tidak ada garis komando yang jelas. Akibatnya, pelayan yang bersalah bisa terus melakukan pelanggaran tanpa pertanggungjawaban, dan gereja kehilangan wibawa serta integritasnya di mata jemaat maupun masyarakat.

·        Tidak ada standar pengajaran yang dapat dipertanggungjawabkan.

Dalam tubuh Kristus yang sehat, ajaran harus tunduk pada pengujian oleh para penatua atau otoritas gereja, agar sesuai dengan Firman Tuhan dan doktrin resmi gereja. Tanpa struktur, siapa saja bisa mengajarkan doktrin pribadi—yang belum tentu benar secara alkitabiah—dan mengklaim itu sebagai “wahyu dari Tuhan.” Hal ini membuka ruang bagi doktrin-doktrin ekstrem, sinkretis, atau menyimpang, yang justru akan mencemari iman jemaat dan menyesatkan mereka yang lemah secara rohani.

·        Tidak ada perlindungan bagi jemaat dari penyesatan dan manipulasi rohani.

Struktur gereja berfungsi sebagai pagar dan pelindung bagi jemaat, agar mereka tidak mudah dimanipulasi oleh pribadi yang mengklaim otoritas rohani tanpa pengakuan resmi. Ketika tidak ada struktur yang memverifikasi siapa yang layak menjadi pemimpin atau pelayan, maka jemaat rentan disesatkan oleh orang-orang yang bersikap karismatik namun tidak bertanggung jawab. Jemaat bisa dijadikan objek kepentingan pribadi, diperas secara emosi, keuangan, bahkan doktrin. Tanpa perlindungan struktural, domba-domba Tuhan menjadi sasaran empuk bagi serigala berbulu domba. Karena itu, gereja yang sehat adalah gereja yang tertib—bukan hanya dalam bentuk ibadah yang rapi dan liturgi yang teratur, tetapi juga dalam hal penetapan pelayan, pengutusan, serta pelaksanaan sakramen sebagai tindakan kudus yang harus dijaga kemurniannya. Ketertiban ini mencerminkan karakter Allah sendiri, yang adalah Allah damai sejahtera dan bukan Allah kekacauan (1 Kor. 14:33).

Pelayanan yang tertib menunjukkan bahwa gereja memiliki pengakuan otoritas yang jelas, proses yang dapat dipertanggungjawabkan, dan komitmen untuk melayani sesuai prinsip Alkitab dan ketetapan gerejawi. Penetapan pelayan bukan sekadar formalitas administratif, melainkan proses rohani yang menempatkan seseorang dalam otoritas tubuh Kristus, melalui tahapan pengujian, pembentukan, dan pengutusan. Tanpa proses ini, pelayanan berisiko menjadi liar, dangkal, dan berpusat pada keinginan pribadi, bukan pada kehendak Tuhan.

Demikian juga dengan pengutusan: seorang pelayan yang tidak diutus oleh struktur gereja akan cenderung bertindak di luar kendali, dan merasa tidak terikat oleh pertanggungjawaban kepada siapa pun. Ini bertentangan dengan model pelayanan dalam Perjanjian Baru, di mana bahkan Paulus dan Barnabas pun diutus secara resmi oleh jemaat di Antiokhia (Kis. 13:1–3).

Sedangkan sakramen seperti baptisan adalah tindakan rohani yang kudus, bukan ritual biasa. Sakramen mengandung makna teologis yang dalam, menyangkut perjanjian Allah dengan umat-Nya, kesaksian iman, dan persekutuan dengan tubuh Kristus. Oleh karena itu, pelaksanaannya harus dijaga dari penyalahgunaan, dilaksanakan oleh orang yang layak secara rohani dan sah secara struktural, serta dicatat dengan benar demi integritas administrasi dan kesaksian gereja.

Gereja yang tidak menjaga ketertiban dalam tiga hal ini—penetapan pelayan, pengutusan, dan sakramen—sedang membuka jalan bagi kerusakan rohani, penyesatan ajaran, dan penghinaan terhadap kekudusan Allah. Maka ketertiban bukan sekadar etika organisasi, melainkan wujud nyata dari ibadah yang sejati dan penghormatan terhadap tatanan ilahi.

 

IV.             AKIBAT FATAL DARI PELAYANAN BAPTISAN TANPA OTORITAS

Pelayanan baptisan oleh individu yang tidak memiliki otoritas resmi bukan sekadar pelanggaran tata gereja, tetapi juga membawa akibat serius bagi tubuh Kristus secara rohani, struktural, dan sosial. Kekacauan ini dapat menghancurkan integritas pelayanan, melemahkan kepercayaan jemaat, dan membuka celah bagi penyimpangan yang lebih besar.

1.      Kerancuan Keabsahan Sakramen

Ketika sakramen seperti baptisan dilayani oleh orang yang tidak memiliki otoritas gerejawi yang sah, maka keabsahan tindakan tersebut menjadi kabur, baik secara teologis maupun administratif. Meskipun secara lahiriah tampak sebagai tindakan rohani, namun tanpa pengutusan dan pengakuan struktural, baptisan tersebut tidak memiliki dasar otoritatif dalam tubuh Kristus yang resmi. Akibatnya, gereja-gereja lain—terutama yang memiliki tata gereja yang tertib—berhak menolak pengakuan atas baptisan tersebut, karena tidak dilayani oleh pelayan yang ditahbiskan atau diutus secara sah. Hal ini menimbulkan ketidakpastian status rohani bagi jemaat yang dibaptis secara ilegal: apakah baptisan mereka sah? Apakah mereka perlu dibaptis ulang? Apakah pelayanan mereka diterima?

Situasi seperti ini dapat menciptakan kebingungan, kegelisahan, dan bahkan kekecewaan dalam hati jemaat. Kesaksian iman yang seharusnya menjadi sumber sukacita dan peneguhan rohani, justru menjadi sumber pertanyaan dan konflik. Bukannya membawa umat kepada kedewasaan rohani, pelayanan yang tidak sah justru merusak tatanan, mengaburkan kebenaran, dan melemahkan kepercayaan jemaat terhadap gereja. Karena itu, keabsahan sakramen harus dijaga dengan ketat oleh gereja, bukan hanya sebagai formalitas organisasi, tetapi sebagai bentuk penghormatan terhadap kekudusan perintah Tuhan dan untuk menjamin kejelasan status rohani umat-Nya.

2.      Disorientasi Jemaat dan Keraguan terhadap Gereja

Ketika sakramen—terutama baptisan—dilayani oleh orang yang tidak memiliki otoritas resmi, maka dampaknya tidak hanya bersifat administratif, tetapi juga mengganggu arah spiritual dan loyalitas jemaat. Jemaat mulai mengalami disorientasi rohani, karena mereka menyaksikan praktik pelayanan yang tidak sesuai dengan struktur yang selama ini diajarkan dan dipegang oleh gereja. Dalam kebingungan itu, jemaat bisa mulai bertanya-tanya:

·        “Kalau orang ini bisa melayani sakramen tanpa ditahbiskan, mengapa kami harus tunduk pada gembala?”

·        “Apakah struktur gereja memang perlu, ataukah bisa diabaikan?”

·        “Siapa sebenarnya yang punya otoritas rohani?”

Pertanyaan-pertanyaan seperti ini jika dibiarkan, akan melahirkan keraguan terhadap gembala yang sah dan sistem gereja secara keseluruhan. Jemaat menjadi tidak lagi hormat kepada pemimpin yang ditetapkan secara legal, dan malah condong pada figur-figur yang tampil lebih berani, tetapi tidak memiliki keabsahan pelayanan. Dalam jangka panjang, hal ini menyebabkan pelemahan kepercayaan terhadap sistem pelayanan gereja. Jemaat mulai melihat struktur sebagai sesuatu yang kaku atau tidak relevan, dan lebih mudah terpengaruh oleh kelompok atau individu yang membawa ajaran “alternatif” atau gaya pelayanan yang liar, meskipun tidak alkitabiah. Akibatnya, bukan hanya otoritas gembala yang terkikis, tapi juga stabilitas dan kesatuan jemaat terganggu. Gereja bisa terpecah, dan kehadiran pelayanan liar menjadi benih perpecahan yang terus tumbuh jika tidak segera ditertibkan.

3.      Munculnya Kelompok Pelayanan Liar Tanpa Struktur

Ketika seseorang melayani sakramen—seperti baptisan—tanpa memiliki otoritas yang sah dari gereja atau sinode, hal itu bukan hanya merupakan pelanggaran administratif, tetapi juga cikal bakal terbentuknya kelompok pelayanan liar yang tidak tunduk pada struktur dan tidak berada dalam sistem pertanggungjawaban yang jelas. Individu atau kelompok semacam ini biasanya bertindak berdasarkan klaim pribadi akan panggilan Tuhan, namun menolak proses legal gereja seperti tahbisan, pengutusan, atau evaluasi rohani dari otoritas yang sah. Dalam praktiknya, mereka mulai mengumpulkan jemaat, mengadakan ibadah sendiri, bahkan menabalkan diri sebagai pemimpin rohani atau “gembala”, meskipun tidak pernah diakui secara struktural.

Situasi ini menciptakan “jemaat bayangan” atau gereja-gereja kecil yang beroperasi di luar sistem sinode dan tanpa akuntabilitas. Mereka tidak mengikuti tata gereja, tidak mencatat pelayanan secara resmi, dan tidak bertanggung jawab kepada siapa pun kecuali diri sendiri atau kelompok internal mereka. Akibatnya:

·        Tidak ada mekanisme koreksi jika terjadi penyimpangan ajaran.

·        Tidak ada disiplin jika terjadi pelanggaran moral atau penyalahgunaan kuasa.

·        Tidak ada perlindungan bagi jemaat dari manipulasi atau penyesatan.

Pelayanan liar semacam ini merusak kesatuan tubuh Kristus, karena menciptakan pembelahan rohani dan struktur ganda di tengah masyarakat Kristen. Mereka bisa memakai nama “gereja” atau bahkan mencatut nama sinode tertentu, namun pada kenyataannya mereka bukan bagian dari sistem yang sah. Ini bisa membingungkan jemaat, melemahkan otoritas gereja resmi, dan menciptakan konflik di lapangan antara pelayanan sah dan pelayanan sempalan. Karena itu, gereja harus bersikap tegas: membedakan antara pelayanan sah dan liar, menertibkan kelompok tidak resmi, serta mendidik jemaat agar memahami pentingnya otoritas dan pengutusan dalam setiap pelayanan.

4.      Ajaran Menyimpang dan Gerakan Radikal

Salah satu dampak paling berbahaya dari pelayanan yang berjalan tanpa otoritas gereja adalah masuknya ajaran-ajaran yang menyimpang dan lahirnya gerakan-gerakan radikal yang tidak alkitabiah. Ketika seseorang atau kelompok melayani tanpa struktur dan tanpa pengawasan rohani, maka tidak ada filter teologis yang menguji apakah ajaran mereka sesuai dengan Firman Tuhan dan doktrin resmi gereja. Pelayanan liar seperti ini cenderung membentuk pola pikir eksklusif dan ekstrem. Mereka merasa bahwa mereka lebih “murni,” lebih “berpengurapan,” atau lebih “benar” dibandingkan gereja-gereja yang terstruktur. Akibatnya, muncul sikap menghakimi terhadap gereja arus utama, menolak sinode, dan bahkan menyebarkan doktrin yang bertentangan dengan pengajaran Yesus dan para rasul. Beberapa ciri umum dari penyimpangan ini meliputi:

·        Legalistik

Kelompok-kelompok ini cenderung menekankan peraturan, larangan, atau tata cara tertentu secara kaku dan ekstrem, melebihi apa yang diajarkan Alkitab. Mereka bisa menentukan bahwa hanya baptisan dengan cara atau formula mereka yang sah, atau hanya jemaat dengan penampilan tertentu yang dianggap layak diselamatkan. Mereka mengaburkan kasih karunia Kristus dengan sistem "keselamatan berdasarkan perbuatan", dan menempatkan hukum manusia di atas hukum kasih. Hal ini sering membuat jemaat hidup dalam ketakutan, merasa tidak pernah cukup layak, dan kehilangan sukacita dalam Kristus. Dalam jangka panjang, ini menjauhkan jemaat dari Injil yang sejati.

·        Eksklusivistik

Kelompok pelayanan liar yang bersifat eksklusivistik biasanya meyakini bahwa hanya mereka yang benar secara penuh, dan semua gereja lain—bahkan yang sudah berdiri lama dan memiliki struktur teologis yang kuat—dianggap telah menyimpang, kompromi dengan dunia, atau “sudah ditinggalkan oleh Roh Kudus.” Klaim semacam ini sering tidak didasarkan pada kebenaran Alkitab atau sejarah gereja, tetapi pada penafsiran sempit dan subjektif, yang tidak bisa dipertanggungjawabkan secara doktrinal maupun struktural.

Mereka membangun tembok pemisah, bukan jembatan penginjilan. Dalam praktiknya, mereka melarang jemaatnya menghadiri ibadah di gereja lain, membaca buku dari penulis Kristen yang berbeda, atau menerima pengajaran dari hamba Tuhan di luar komunitas mereka. Sikap ini secara tidak langsung menanamkan rasa kecurigaan, kebencian rohani, dan penghakiman terhadap tubuh Kristus lainnya. Akibatnya:

a.      Jemaat menjadi tertutup secara teologis, tidak lagi berkembang dalam pemahaman firman secara luas dan seimbang. Ketika sebuah kelompok hanya mengizinkan satu sumber ajaran, satu penafsiran, atau hanya merujuk pada pengkhotbah dari kelompok mereka sendiri, maka jemaat kehilangan akses terhadap kekayaan tubuh Kristus secara global. Mereka tidak lagi belajar dari perspektif lain yang juga berdasarkan Alkitab dan iman yang sama, hanya karena perbedaan pendekatan atau metode pengajaran. Hal ini menyebabkan pemahaman mereka tentang Firman menjadi dangkal, sempit, dan tidak bertumbuh. Padahal Efesus 4:11–13 menunjukkan bahwa Tuhan memberi ragam pelayan (rasul, nabi, penginjil, gembala, pengajar) untuk memperlengkapi jemaat sampai mencapai kedewasaan rohani. Jika jemaat hanya mendengar satu suara tanpa interaksi teologis yang sehat, maka mereka akan rentan terhadap doktrin yang berat sebelah, fanatisme, bahkan manipulasi.

b.      Terjadi keretakan hubungan antar gereja, dan hilangnya semangat kerja sama dalam pelayanan lintas denominasi yang sehat. Sikap eksklusivistik menolak kerja sama dengan gereja-gereja lain, bahkan jika ajaran dan imannya sebenarnya sejalan. Mereka sering memandang gereja lain sebagai “duniawi,” “jatuh,” atau “tidak benar,” sehingga menolak bergabung dalam kegiatan lintas gereja, pelayanan kota, persekutuan antar denominasi, atau doa bersama antar jemaat.  Dampaknya, tubuh Kristus yang seharusnya bersatu menjadi terpecah-pecah secara sosial dan spiritual. Pelayanan yang seharusnya bisa dikerjakan bersama menjadi terbengkalai karena prasangka dan sekat-sekat yang tidak alkitabiah. Ini bertentangan dengan prinsip kesatuan tubuh Kristus (1 Korintus 12), yang menekankan bahwa meskipun banyak anggota, kita adalah satu tubuh.

 

c.      Umat mengalami isolasi rohani, karena hanya bersandar pada satu sudut pandang yang tidak pernah dikritisi secara sehat. Kelompok eksklusivistik biasanya mengembangkan budaya rohani yang tertutup terhadap pertanyaan, diskusi terbuka, atau pengujian ajaran. Umat didorong untuk menelan mentah-mentah semua yang disampaikan pemimpin kelompok, tanpa diajarkan bagaimana menguji segala sesuatu (1 Tesalonika 5:21). Akibatnya, jemaat hidup dalam isolasi rohani yang membutakan: mereka tidak tahu bahwa di luar sana ada pelayanan yang sehat, pengajaran yang seimbang, atau pengalaman tubuh Kristus yang lebih luas. Mereka juga cenderung takut untuk bertanya atau mengkritisi ajaran, karena hal itu dianggap sebagai pemberontakan atau kurang iman. Dalam jangka panjang, isolasi ini menghancurkan daya kritis dan kedewasaan rohani jemaat, menjadikan mereka pengikut yang pasif dan mudah dikendalikan—bukan murid Kristus yang berpikir sehat, dewasa, dan bertumbuh dalam pengenalan akan Tuhan.  Jika kelompok ini berkembang, maka akan menciptakan sekte-sekte kecil yang memecah belah tubuh Kristus, bukan membangunnya.Mentalitas eksklusif seperti ini bukan berasal dari Roh Kudus, melainkan dari roh kesombongan rohani yang merasa paling benar sendiri. Padahal, Yesus sendiri berdoa agar gereja menjadi satu (Yohanes 17:21), dan Rasul Paulus dengan keras mengecam perpecahan serta pengkultusan kelompok dalam tubuh Kristus (1 Korintus 1:10–13). Sikap eksklusivistik bertolak belakang dengan misi gereja, karena seharusnya gereja menjadi terang bagi dunia, bukan membentuk kelompok elit rohani yang tertutup dan memandang hina saudara seiman lainnya.

 

d.     Mistik dan Fanatik

Kelompok-kelompok pelayanan liar sering kali lebih mengandalkan pengalaman pribadi—seperti mimpi, penglihatan, atau merasa mendengar suara Tuhan—daripada berpegang teguh pada Alkitab dan bimbingan dari gereja yang sah. Mereka bisa berkata:

§  “Tadi malam saya bermimpi Tuhan berkata...”,

§  atau “Saya lihat dalam roh, kamu harus begini...”,

 

tapi tanpa bisa dibuktikan atau diuji kebenarannya secara Alkitabiah. Masalahnya, pengalaman seperti ini sangat subjektif. Artinya, hanya orang itu sendiri yang tahu atau merasakannya, dan tidak bisa diuji oleh jemaat lain. Ini sangat berbahaya, karena bisa membuat jemaat percaya membabi buta, seolah-olah semua “suara” itu pasti dari Tuhan—padahal bisa jadi dari emosi sendiri, bahkan dari roh lain yang menyesatkan. Kalau tidak ada pembimbing rohani yang sah dan tidak ada gereja yang menguji, orang bisa mulai mengklaim hal-hal yang tidak masuk akal, seperti:

 

§  Meramal masa depan jemaat lewat “nubuatan” pribadi.

§  Menabur rasa takut, misalnya: “Kalau kamu nggak taat sama saya, Tuhan akan hukum kamu.”

§  Menyuruh jemaat memberi uang atau melakukan sesuatu dengan dalih “Tuhan bicara langsung.”

 

Tanpa firman Tuhan sebagai dasar dan tanpa otoritas gereja yang menilai, pelayanan seperti ini jadi sangat berbahaya. Itu bukan lagi tuntunan Roh Kudus, tapi manipulasi rohani. Jemaat jadi takut, bingung, dan kehilangan arah, karena lebih mendengar suara manusia yang mengaku dari Tuhan, daripada suara Tuhan yang benar melalui Alkitab. Dalam jangka panjang, praktik semacam ini bisa menyerupai okultisme atau ilmu gelap yang dibungkus rohani. Ada kuasa, tapi bukan dari Tuhan. Ada pengaruh, tapi bukan dari kasih. Maka, gereja harus waspada dan mengingatkan jemaat: pengalaman pribadi tidak bisa jadi patokan utama kebenaran. Kebenaran sejati tetap berasal dari Firman Tuhan yang murni dan bisa diuji.

e.      Anti-struktur dan Anti-otoritas

Salah satu ciri paling mencolok dari pelayanan liar adalah penolakan terhadap otoritas gereja. Mereka mengajarkan bahwa setiap orang bisa menjadi pelayan Tuhan tanpa perlu tahbisan, proses pembentukan, atau pengakuan dari struktur gereja. Dalih mereka biasanya terdengar rohani: "Roh Kudus bisa pakai siapa saja", atau "Yang penting hati, bukan struktur." Namun tanpa proses dan pengutusan, pelayanan justru menjadi liar, tidak akuntabel, dan rawan penyalahgunaan. Penolakan terhadap struktur juga membuka ruang pemberontakan terselubung, di mana seseorang mengklaim dipakai Tuhan sambil menolak tunduk pada kepemimpinan rohani yang sah. Ini bukan ketaatan pada Roh Kudus, melainkan pelarian dari tanggung jawab gerejawi yang seharusnya dipikul. Karena tidak tunduk kepada siapa pun dan tidak memiliki pembimbing rohani, ajaran mereka dibiarkan berkembang liar, tanpa koreksi, tanpa klarifikasi, dan tanpa keseimbangan. Ini bukan hanya menyimpang, tetapi bisa masuk ke kategori bidat (heresy), yaitu penyesatan yang sistematis dan berpotensi memisahkan jemaat dari keselamatan sejati dalam Kristus. Tanpa struktur gereja yang sah, tidak ada doktrin yang dibakukan, tidak ada standar pengajaran, dan tidak ada penegakan disiplin terhadap ajaran yang menyesatkan. Inilah yang membuat gereja liar menjadi ladang subur bagi doktrin palsu, gerakan radikal, bahkan sekte-sekte rohani yang menghancurkan iman umat. Karena itu, gereja harus menjaga tembok doktrin dengan teguh, memastikan bahwa semua pengajaran melewati pengujian rohani, teologis, dan struktural — agar tubuh Kristus tetap berjalan dalam kebenaran dan tidak terseret oleh angin pengajaran yang menyesatkan (Efesus 4:14).

 

5.      Pelemahan Otoritas Pendeta

Jika gereja membiarkan praktik baptisan atau pelayanan sakramen dilakukan oleh orang-orang yang tidak memiliki otoritas resmi, maka jabatan pendeta—sebagai pelayan sah yang ditetapkan secara gerejawi—akan kehilangan wibawa dan makna teologisnya. Ini bukan hanya masalah administratif, melainkan menyentuh inti dari struktur gereja dan makna pengutusan dalam tubuh Kristus. Dalam tradisi gereja, jabatan pendeta tidak pernah dimaknai sebagai fungsi biasa atau jabatan kehormatan semata. Pendeta adalah hasil dari proses rohani, teologis, dan struktural yang melibatkan:

·        Panggilan dari Tuhan (vocatio interna). Ini adalah dorongan batin yang kuat dari Roh Kudus, di mana seseorang merasa terpanggil untuk melayani Tuhan secara penuh. Panggilan ini bukan sekadar keinginan pribadi atau ambisi pelayanan, melainkan kesadaran rohani yang lahir dari relasi intim dengan Tuhan, disertai dengan beban terhadap jiwa-jiwa dan keinginan untuk membangun tubuh Kristus. Namun, panggilan ini harus diuji — sebab banyak orang mengira mereka dipanggil, padahal hanya terdorong oleh emosi atau kekaguman terhadap figur tertentu.

·        Pengakuan dan pengujian dari gereja (vocatio externa). Gereja berperan penting dalam mengkonfirmasi panggilan seseorang melalui pengamatan karakter, kesetiaan, buah pelayanan, dan pertumbuhan rohani. Tanpa pengakuan dari tubuh Kristus, panggilan pribadi belum sah secara gerejawi. Inilah alasan mengapa gereja lokal, sinode, atau presbiterium harus menguji dan menilai apakah seseorang benar-benar layak untuk diutus, baik secara doktrin, karakter, maupun integritas.

·        Pembentukan teologis dan karakter melalui pendidikan serta mentoring. Pelayan Tuhan tidak cukup hanya punya semangat, tetapi juga perlu pengetahuan yang benar tentang Firman, serta pembentukan karakter dan kedewasaan emosional. Ini biasanya dilakukan melalui jalur teologi formal, pelatihan pelayanan, dan pendampingan oleh gembala senior. Tanpa pembentukan ini, seseorang bisa menjadi pelayan yang fanatik, tidak bijak, atau bahkan menyimpang, meskipun tampak “berapi-api” secara rohani.

·        Peneguhan atau tahbisan oleh otoritas gereja yang sah. Ini adalah pengakuan resmi dan publik dari tubuh Kristus bahwa seseorang telah layak diutus untuk melayani sakramen dan menggembalakan jemaat. Tahbisan bukan sekadar seremoni, melainkan tindakan rohani dan struktural yang mengikat seseorang pada tanggung jawab dan pertanggungjawaban. Tanpa tahbisan atau pengutusan yang sah, pelayanan seseorang bersifat liar—meskipun ia merasa dipanggil. Ketika seseorang yang tidak menjalani proses ini dengan sah justru melayani sakramen, maka yang terjadi adalah:

a)      Otoritas pendeta direndahkan menjadi sebatas “gelar biasa”, bukan lagi mandat ilahi dan gerejawi.

b)     Setiap orang merasa berhak menjadi “pendeta” hanya karena mereka aktif melayani atau merasa “dipakai Tuhan.”

c)      Jemaat kehilangan kepercayaan terhadap struktur, karena pelayanan sakramen bisa diambil alih siapa saja tanpa proses dan tanggung jawab.

d)     Batas antara pelayan sah dan liar menjadi kabur, menciptakan kekacauan dalam penggembalaan dan pengajaran.

Dalam konteks Alkitab, otoritas rohani selalu diberikan melalui pengutusan, bukan klaim pribadi. Paulus dan Barnabas ditetapkan oleh Roh Kudus melalui pemimpin gereja yang berdoa dan menumpangkan tangan (Kis. 13:1–3). Bahkan Yesus pun tidak memulai pelayanan publik-Nya tanpa terlebih dahulu diteguhkan oleh Bapa dan diurapi oleh Roh Kudus (Luk. 3:21–22). Jika prinsip ini diabaikan, maka gereja sedang membiarkan otoritasnya sendiri dilumpuhkan dari dalam. Dalam jangka panjang, ini akan membuka pintu bagi penyimpangan doktrin, pelayanan yang tidak akuntabel, dan kerusakan sistemik dalam kepemimpinan gereja lokal maupun sinodal. Tegasnya, gereja yang tidak melindungi otoritas pendeta sama dengan gereja yang menghancurkan pagar penggembalaan yang seharusnya menjaga kawanan domba. Maka perlu ditegaskan kembali: sakramen hanya sah jika dilayani oleh pendeta atau pengerja yang diutus secara struktural—bukan oleh individu yang bertindak sendiri tanpa proses dan legitimasi.

6.      Masalah Administratif dan Legal

Baptisan yang dilakukan oleh individu tanpa otoritas resmi dan di luar struktur gereja bukan hanya menyalahi tata gereja, tetapi juga menimbulkan persoalan administratif yang serius. Karena tidak tercatat secara resmi, baptisan semacam ini tidak dapat digunakan sebagai dasar keanggotaan gereja, penerimaan sakramen lainnya, maupun sebagai syarat administratif untuk pelayanan seperti pernikahan atau pengangkatan sebagai pengerja. Selain itu, dalam beberapa kasus, surat baptisan juga dibutuhkan untuk keperluan sipil, seperti pendaftaran pernikahan di Kantor Catatan Sipil atau sebagai bukti keanggotaan agama di lembaga pendidikan berbasis Kristen. Bila tidak dikeluarkan oleh gereja yang sah dan tidak memiliki pencatatan struktural, maka surat tersebut tidak memiliki kekuatan hukum dan bisa ditolak secara formal.

Pelayanan yang tidak sah ini pada akhirnya bukan hanya mengganggu ketertiban rohani, tetapi juga merusak keabsahan pelayanan gereja secara sosial dan administratif. Ketika baptisan dilakukan tanpa otoritas yang sah dan tanpa pencatatan resmi, maka status rohani seseorang menjadi kabur, dan gereja kehilangan pijakan untuk membina serta memimpin mereka secara bertanggung jawab. Hal ini menciptakan celah serius dalam sistem pelayanan—di mana gereja tidak dapat memastikan siapa yang benar-benar sudah dibaptis, siapa yang layak menerima sakramen lanjutan, atau siapa yang memiliki status anggota aktif secara formal. Akibatnya, keutuhan sistem penggembalaan terganggu, dan kepercayaan terhadap tata kelola gereja pun melemah.

Lebih dari itu, pelayanan semacam ini juga menimbulkan kerugian secara eksternal. Ketika surat baptisan tidak diakui oleh gereja atau lembaga lain karena tidak memenuhi standar administratif, maka jemaat bisa mengalami kesulitan dalam urusan-urusan penting seperti pernikahan Kristen, pendaftaran anak di sekolah berbasis iman, atau perpindahan antar gereja dalam satu sinode. Kekacauan administratif semacam ini bukan hanya membingungkan jemaat, tetapi juga mempermalukan gereja secara institusional di hadapan masyarakat luas. Oleh karena itu, penting bagi gereja untuk menegakkan bahwa setiap pelayanan sakramen, termasuk baptisan, hanya boleh dilakukan oleh mereka yang telah ditahbiskan atau diutus secara resmi, serta harus disertai dengan pencatatan yang akurat, sah, dan dapat dipertanggungjawabkan secara gerejawi maupun sipil. Ini adalah wujud dari kesetiaan gereja terhadap prinsip ketertiban, dan bentuk perlindungan terhadap kekudusan pelayanan, keabsahan dokumen rohani, dan kesejahteraan umat Tuhan secara utuh.

7.      Pemberontakan Terselubung

Mengatasnamakan “panggilan Tuhan” tetapi menolak tunduk pada otoritas gereja sebenarnya merupakan bentuk pemberontakan rohani yang dibungkus dengan kemasan religius. Secara kasat mata, orang-orang semacam ini tampak rohani—bahkan mungkin aktif berkhotbah, bernubuat, atau membaptis jemaat—namun mereka menolak proses, otoritas, dan struktur yang Tuhan sendiri tetapkan melalui tubuh Kristus, yaitu gereja yang sah. Dalam bahasa yang lebih sederhana: mereka ingin dipakai Tuhan, tapi tidak mau dibentuk oleh Tuhan melalui gereja-Nya. Mereka merasa cukup dengan semangat dan pengalaman pribadi, lalu langsung melayani atas nama "panggilan" tanpa pernah melewati jalur pengutusan, pembinaan, atau peneguhan. Ini sama seperti seseorang yang merasa terpanggil menjadi dokter, lalu langsung membuka praktik medis tanpa kuliah, tanpa izin, dan tanpa pengawasan. Niatnya mungkin terlihat baik, tetapi tindakannya membahayakan.

Secara teologis, sikap seperti ini melawan prinsip dasar dalam Alkitab, bahwa tidak ada pelayanan tanpa pengutusan. Bahkan Yesus sendiri, yang adalah Anak Allah, tidak memulai pelayanan publik-Nya sebelum diteguhkan oleh Bapa dan diurapi oleh Roh Kudus (Luk. 3:21–22). Para rasul tidak memberangkatkan Paulus dan Barnabas tanpa doa, puasa, dan penumpangan tangan oleh para pemimpin gereja (Kis. 13:1–3). Menolak otoritas bukan hanya soal karakter buruk, tapi bisa menjadi akar dari kesesatan rohani yang halus. Mereka mungkin berkata bahwa mereka dipimpin Roh Kudus, tetapi kenyataannya mereka hanya dipimpin oleh kehendak sendiri, dan tidak mau mempertanggungjawabkan pelayanannya kepada siapa pun. Ini sangat berbahaya, karena tanpa proses pembentukan dan koreksi, pelayanan yang lahir dari pemberontakan akan melahirkan pemberontakan baru dalam tubuh Kristus—baik secara ajaran, karakter, maupun struktur. Gereja tidak boleh membiarkan bentuk pemberontakan terselubung ini terus berkembang. Karena jika tidak ditertibkan, akan muncul generasi pelayan yang hanya bermodalkan semangat dan mimpi, tanpa proses, tanpa dasar, dan tanpa integritas. Akhirnya, bukan hanya gereja yang rusak, tapi nama Tuhan pun dicemarkan oleh pelayanan yang liar dan tak bisa dipertanggungjawabkan.

V.               ANALISIS DAN SIKAP GEREJA

Gereja harus mengambil sikap tegas terhadap kekacauan pelayanan sakramen yang dilakukan di luar otoritas. Memang, di satu sisi kita tidak boleh memadamkan semangat orang-orang yang merasa dipanggil Tuhan—karena semangat itu bisa menjadi awal dari panggilan sejati. Namun, di sisi lain, panggilan yang benar harus melalui proses pengujian, pembentukan, dan pengutusan agar tidak berubah menjadi kebebasan liar yang menyesatkan banyak orang. Banyak orang merasa “dipanggil” karena memiliki karunia tertentu—mampu berkhotbah, berdoa, atau melayani dengan penuh semangat. Namun gereja harus menegaskan prinsip yang tidak boleh dikaburkan, yaitu:

·        Karunia tidak menggantikan otoritas

Memiliki karunia dari Tuhan, seperti bernubuat, menyembuhkan, atau mengajar, bukanlah izin otomatis untuk menjalankan pelayanan struktural seperti membaptis atau menggembalakan. Karunia adalah anugerah, sedangkan otoritas adalah pengutusan. Karunia bisa dimiliki siapa saja, tetapi otoritas hanya diberikan kepada mereka yang melalui proses seleksi, pembentukan, dan peneguhan dalam tubuh Kristus. Tanpa otoritas, karunia bisa disalahgunakan. Bahkan Iblis pun dapat menyamar sebagai malaikat terang (2 Kor. 11:14). Maka, gereja harus tegas: setiap pelayanan yang sah bukan hanya ditandai oleh kemampuan, tetapi oleh ketaatan kepada otoritas ilahi yang dinyatakan melalui gereja.

·        Panggilan harus disertai pengutusan

Alkitab selalu menunjukkan pola bahwa orang-orang yang dipanggil Tuhan akan diutus melalui perwakilan dari tubuh Kristus. Musa diutus setelah bertemu Tuhan. Yesaya diutus setelah penglihatan di bait Allah. Paulus diutus oleh gereja Antiokhia setelah masa pembinaan. Panggilan sejati tidak anti terhadap proses gereja. Seseorang yang benar-benar dipanggil justru akan bersedia dibentuk, diuji, dan diberi kepercayaan melalui struktur yang sah. Jika ada orang yang menolak pengutusan atau tidak mau tunduk pada otoritas, besar kemungkinan ia bukan sedang melayani Tuhan, melainkan sedang mengejar validasi diri,  Maka, gereja perlu melakukan empat langkah konkret:

a)      Menertibkan pelayanan-pelayanan tidak sah. Gereja harus mengidentifikasi dan mengambil tindakan terhadap semua bentuk pelayanan sakramen, khususnya baptisan, yang dilakukan oleh individu tanpa penugasan resmi. Jika tidak ditertibkan, maka pelayanan semacam ini akan membuka pintu bagi kekacauan ajaran, kerancuan status jemaat, dan rusaknya tatanan gereja lokal. Penertiban ini bisa berupa:

o   Pendataan ulang siapa saja yang telah membaptis atau dibaptis tanpa otoritas. Gereja perlu mencatat dan mengidentifikasi dengan jelas siapa saja individu yang pernah melayani baptisan tanpa pengutusan resmi, serta siapa saja jemaat yang dibaptis melalui cara tersebut. Tujuannya adalah untuk meluruskan status rohani dan administratif, serta menjadi dasar dalam mengambil langkah koreksi selanjutnya.

o   Peringatan pastoral bagi pelaku, dan klarifikasi terbuka kepada jemaat. Individu yang terbukti melakukan pelanggaran harus diberikan teguran pastoral secara pribadi—bukan untuk menghukum, tetapi untuk membina dan mengarahkan kembali ke jalur yang benar. Di sisi lain, jemaat juga perlu diberi penjelasan terbuka agar tidak bingung atau terseret ke dalam praktik yang sama, serta tetap menghargai otoritas pelayanan yang sah.

o   Bila perlu, pengulangan sakramen secara sah di bawah otoritas gereja. Jika ditemukan bahwa baptisan dilakukan secara tidak sah—misalnya oleh orang yang bukan pendeta atau tanpa mandat gereja—maka gereja dapat menawarkan baptisan ulang secara resmi di bawah peneguhan otoritas yang sah. Hal ini dilakukan bukan untuk merendahkan pengalaman rohani jemaat, melainkan untuk menegaskan keabsahan sakramen di mata gereja dan struktur yang berlaku.

b)     Mendidik jemaat agar memahami pentingnya struktur dan otoritas. Banyak jemaat tidak paham bahwa sakramen adalah bagian dari otoritas gereja, bukan tindakan pribadi. Gereja harus memberikan pendidikan jemaat secara rutin tentang:

o   Apa itu sakramen?

o   Siapa yang boleh melayankannya?

o   Mengapa struktur dan tata gereja penting bagi kekudusan pelayanan?

Dengan pemahaman yang benar, jemaat akan lebih berhati-hati dan tidak mudah tertipu oleh individu yang mengaku “dipanggil” tetapi berjalan sendiri tanpa pengutusan.

c)      Melarang keras praktik baptisan pribadi tanpa pengutusan. Larangan ini bukan karena gereja ingin mengontrol ruang pelayanan secara otoriter, tetapi karena gereja bertanggung jawab melindungi kekudusan sakramen serta menjaga jemaat dari kebingungan doktrinal dan praktik yang menyimpang. Baptisan bukan eksperimen spiritual atau ekspresi karismatik pribadi yang bisa dilakukan atas dasar “perasaan dipakai Tuhan.” Ini adalah perintah kudus yang harus dilaksanakan dalam terang otoritas ilahi dan pengutusan resmi. Setiap pelanggaran harus ditegur dengan kasih, tetapi juga dengan ketegasan, sebab membiarkan pelanggaran hanya akan merusak tatanan tubuh Kristus. Gereja tidak boleh memberikan toleransi apa pun terhadap praktik baptisan ilegal, sekalipun pelakunya tampak rohani, fasih berkhotbah, atau sering memimpin doa. Sebab jika dibiarkan, hal ini akan membuka jalan bagi pemberontakan rohani yang dibungkus spiritualitas palsu dan mencederai wibawa gereja sebagai perwakilan Kristus di dunia..”

d)     Memberikan sanksi gerejawi terhadap tindakan semacam ini bila disengaja dan merusak. Jika seseorang secara sadar dan berulang melayani sakramen tanpa otoritas, maka harus ada konsekuensi gerejawi yang jelas. Ini bisa berupa:

 

o   Teguran terbuka dari Gembala atau struktur sinode.

o   Larangan pelayanan dalam lingkup gereja lokal atau regional.

o   Bila diperlukan, proses disiplin atau pencabutan keanggotaan.

Perlu ditegaskan bahwa sanksi bukanlah tindakan penghukuman semata, melainkan sarana pemulihan. Tujuannya adalah membawa yang bersalah kembali kepada jalur yang benar, agar mereka bisa bertobat dan dipulihkan dalam kasih dan kebenaran Kristus. Namun, jika pelanggaran ini dibiarkan tanpa respons, maka gereja akan kehilangan integritas rohani dan moral—bukan hanya di hadapan jemaat, tetapi juga di hadapan dunia luar. Ketidaktegasan terhadap pelanggaran sakramen akan dilihat sebagai kelemahan struktural dan bisa memicu lebih banyak pelayanan liar yang tidak tunduk kepada otoritas. Maka, menegakkan disiplin gereja adalah bagian dari kesetiaan gereja kepada Kristus sebagai Kepala yang Kudus dan tertib, yang memanggil umat-Nya untuk hidup dalam terang kebenaran, bukan dalam kebingungan atau pemberontakan rohani.

VI.             KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Baptisan bukan sekadar ritual atau simbol publik, melainkan tindakan kudus dalam tubuh Kristus. Oleh sebab itu, sakramen ini hanya boleh dilayani oleh mereka yang secara sah ditetapkan oleh gereja — yaitu para pendeta dan pengerja yang diutus dalam struktur yang jelas. Orang-orang yang merasa dipanggil Tuhan wajib tunduk dan melalui proses pembentukan serta pengakuan gerejawi. Tidak ada panggilan pribadi yang dibenarkan jika merusak kesatuan dan menolak otoritas tubuh Kristus.

Gereja harus Sebagai penjaga kebenaran dan ketertiban dalam tubuh Kristus, gereja tidak boleh bersikap pasif terhadap munculnya pelayanan sakramen yang tidak sah. Gereja memiliki tanggung jawab moral, teologis, dan struktural untuk bertindak secara jelas dan tegas. Karena itu:

1.      Tegas menjaga batas antara pelayanan sah dan liar.

Gereja tidak boleh membiarkan ambiguitas dalam soal otoritas pelayanan. Pelayanan yang sah adalah pelayanan yang dilakukan oleh mereka yang ditahbiskan atau diberi mandat oleh struktur yang diakui. Sebaliknya, pelayanan liar adalah tindakan yang dilakukan tanpa pengutusan, di luar pengakuan gerejawi, dan sering kali mengandalkan “perasaan dipakai Tuhan” tanpa pengujian. Jika batas ini dibiarkan kabur, maka jemaat akan kesulitan membedakan antara pelayanan yang benar dan yang menyesatkan. Gereja harus menegakkan garis ini dengan jelas—melalui pengajaran, kebijakan internal, dan disiplin gerejawi.

2.      Tidak mentolerir pelanggaran sakramen.

Sakramen, termasuk baptisan, adalah tindakan kudus yang menyangkut keselamatan dan persekutuan dengan tubuh Kristus. Pelanggaran terhadap pelaksanaan sakramen bukan sekadar kesalahan teknis, tetapi bentuk pelecehan terhadap kekudusan perintah Tuhan. Gereja tidak boleh menganggapnya remeh atau membiarkannya berlalu tanpa tindakan. Toleransi terhadap pelanggaran sakramen hanya akan membuka celah bagi penyimpangan yang lebih besar, bahkan memunculkan generasi pelayan tanpa akar, tanpa proses, dan tanpa pengutusan.

3.      Menegakkan kejelasan otoritas sebagai wujud menjaga kekudusan pelayanan.

Pelayanan yang kudus membutuhkan kejelasan siapa yang berwenang melakukannya. Gereja harus memastikan bahwa setiap orang yang melayani, apalagi dalam sakramen, benar-benar telah melewati proses pembentukan, peneguhan, dan pengutusan secara struktural. Kejelasan otoritas ini bukan hanya untuk menjaga ketertiban organisasi, tetapi juga sebagai bentuk penghormatan terhadap kekudusan pelayanan itu sendiri. Di sinilah gereja menjadi benteng terakhir agar pelayanan tidak menjadi panggung ambisi pribadi, melainkan tetap menjadi saluran anugerah Allah yang murni dan tertib. Karena Allah bukan Allah kekacauan, melainkan Allah damai sejahtera dan ketertiban. Maka pelayanan pun harus berlangsung dalam terang otoritas ilahi yang sah — demi kemuliaan Tuhan dan kesehatan tubuh Kristus.

 

“Tetapi segala sesuatu harus berlangsung dengan sopan dan teratur.”

(1 Korintus 14:40)

 

============

Biografi Singkat Penulis– Pdt. Syaiful Hamzah Nahampun, M.Th

Gembala Sidang GBI Jl. Plumpang Semper No.22 (JPS22) – Jakarta Utara

Gembala Cabang GBI PRJ Sion – Pearaja Parlilitan, Sumatera Utara

=============

 

Lahir                                : 12 April 1974

Pendidikan                        : Magister Teologi (M.Th)

Sedang menempuh            : Program Doktor (S3) dalam bidang Misi di STT Gragion

Sinode                              : Gereja Bethel Indonesia (GBI)

Istri                                  : Pdm. Tiolida Sihotang S.PdK

Anak                                 : Malkhi K dan Josua Rajahot Eklesyaiful Nahampun

 

Profil Pelayanan

  • Dipanggil dari latar belakang kehidupan yang keras, Pdt. Syaiful Hamzah Nahampun melayani dengan hati yang tulus dan komitmen tinggi terhadap kebenaran firman Tuhan serta ketaatan terhadap struktur dan doktrin GBI.
  • Bersama istri, Pdm. Tiolida Sihotang S.PdK, beliau menggembalakan jemaat di berbagai wilayah, termasuk cabang-cabang luar Jakarta seperti Dayun (Riau) dan Pearaja Parlilitan (Sumatera Utara).
  • Pernah menggembalakan sebuah jemaat di salah satu daerah di Riau secara sah di bawah GBI JPS No. 22, namun kemudian menghadapi pembangkangan jemaat yang keluar secara sepihak tanpa ketaatan rohani maupun struktural.
  • Pelayanannya menekankan pemuridan sejati dalam karakter, pertobatan, dan tanggung jawab, serta menyoroti bahaya teologi spiritual bypass—kerohanian semu yang menghindari pemulihan dan keadilan.
  • Saat ini, beliau juga menempuh studi doktoral (S3) dalam bidang Misi di STT Gragion, dan aktif mengajar sebagai dosen di beberapa sekolah tinggi teologi, membentuk pemimpin-pemimpin gereja yang sehat secara doktrin maupun karakter.

 

Catatan Penting: Tulisan ini dibuat khusus untuk kalangan  Sendiri.

Dilarang menyalin, menyebarluaskan, atau memperbanyak isi tanpa izin tertulis dari penulis.