KONSEP KESELAMATAN YANG KOSONG
“Iman tanpa Ketaatan”
Oleh: Pdt. Syaiful Hamzah M.Th
1 Samuel 15:23 (TB): “Sebab pendurhakaan adalah sama seperti dosa bertenung, dan kedegilan adalah sama seperti menyembah berhala dan terafim. Karena engkau telah menolak firman TUHAN, maka Ia telah menolak engkau sebagai raja.”
Pendahuluan
Di tengah arus ajaran populer yang menekankan bahwa keselamatan adalah jaminan mutlak tanpa syarat—cukup percaya tanpa perlu taat—gereja masa kini menghadapi bahaya serius: penyalahgunaan kasih karunia. Paham ini telah menciptakan generasi Kristen yang merasa aman secara rohani, tetapi hidup jauh dari ketaatan kepada firman Allah. Padahal, Alkitab menegaskan bahwa iman tanpa perbuatan adalah mati (Yakobus 2:17), dan bukan setiap orang yang berseru ‘Tuhan, Tuhan’ akan masuk Kerajaan Surga, melainkan mereka yang melakukan kehendak Bapa (Matius 7:21). Keselamatan memang adalah anugerah, namun anugerah yang sejati tidak membiarkan manusia tetap dalam dosa—melainkan memanggil mereka keluar dari hidup lama menuju ketaatan yang baru.
Pandangan ini bukan hanya ajaran para rasul, tetapi juga ditekankan oleh Bapa-Bapa Gereja mula-mula. Ignatius dari Antiokhia mengingatkan bahwa bukan mereka yang mengaku Kristus secara lisan, melainkan mereka yang hidup dalam kebenaranlah yang akan diselamatkan. Irenaeus menyatakan bahwa keselamatan adalah buah dari pertumbuhan dalam ketaatan, bukan hasil dari pengakuan kosong. Origenes mengkritik iman pasif tanpa buah pertobatan, dan Augustinus menegaskan bahwa kasih karunia Allah tidak menghapus kehendak bebas manusia, tetapi memampukan manusia memilih untuk hidup benar. Maka, dalam terang ajaran Alkitab dan kesaksian para Bapa Gereja, Dengan demikian, kita memahami bahwa keselamatan bukanlah tiket bebas berdosa, melainkan sebuah panggilan ilahi yang kudus—untuk menanggapi anugerah Allah dengan hidup dalam pertobatan yang sejati, kesucian yang terus diperjuangkan, dan kesetiaan yang tidak tawar-menawar kepada kehendak-Nya. Keselamatan bukan sekadar status, melainkan juga proses yang mengubah hidup seseorang dari dalam ke luar. Orang yang sungguh-sungguh menerima keselamatan akan menunjukkan buah pertobatan, karena kasih karunia yang sejati tidak membuat kita nyaman tinggal dalam dosa, tetapi membangkitkan kerinduan untuk menyenangkan hati Allah. Inilah yang dimaksud oleh Rasul Paulus ketika ia berkata, “Hendaklah kamu mengerjakan keselamatanmu dengan takut dan gentar” (Filipi 2:12). Artinya, keselamatan bukan sesuatu yang dipermainkan atau disepelekan, tetapi dihayati dengan kerendahan hati, disertai kesediaan untuk taat dan berkorban.
Mereka yang memakai konsep keselamatan untuk membenarkan gaya hidup yang menyimpang, atau menjadikan iman sebagai alasan untuk tidak berubah, sejatinya sedang memutarbalikkan anugerah menjadi izin untuk hidup dalam keinginan daging. Ini bukan hanya penyesatan, tetapi bentuk penghinaan terhadap salib Kristus yang mahal. Sebab Kristus tidak mati agar kita bebas berdosa, tetapi supaya kita dibebaskan dari kuasa dosa untuk hidup dalam kebenaran. Maka, respons orang percaya terhadap keselamatan sejati adalah hidup dalam kekudusan, tunduk pada firman, serta menolak segala bentuk kompromi dengan dosa—baik secara pribadi, dalam keluarga, maupun dalam kehidupan bergereja. Inilah jalan keselamatan yang sejati: percaya, bertobat, taat, dan setia sampai akhir. Namun sayangnya, banyak orang berkata, “Saya pasti selamat,” tetapi tidak hidup dalam ketaatan kepada Tuhan. Mereka menyandarkan keyakinannya pada pengakuan lisan, tetapi menyangkalnya lewat tindakan. Ini bukan iman sejati, melainkan iman kosong—sebuah kepercayaan tanpa pertobatan, sebuah pengakuan tanpa perubahan. Alkitab dengan tegas menunjukkan bahwa iman tanpa ketaatan adalah bentuk pendurhakaan, dan pendurhakaan adalah dosa yang sejajar dengan penyembahan berhala (1 Samuel 15:23). Itulah sebabnya, seperti Saul, orang yang hanya setia secara lahiriah tetapi menolak taat sepenuhnya akan mengalami penolakan dari Allah. Sebab keselamatan yang sejati bukan hanya dimulai dengan iman, tetapi dibuktikan dan disempurnakan melalui ketaatan yang berkelanjutan. Iman adalah pintu masuk menuju keselamatan, tetapi ketaatan adalah jalan yang harus dilalui setiap hari oleh mereka yang telah diselamatkan. Banyak orang mengira bahwa setelah percaya kepada Kristus, mereka tidak lagi memiliki tanggung jawab untuk hidup sesuai kehendak Allah. Padahal, iman yang sejati tidak berhenti pada pengakuan, melainkan terus bertumbuh dalam perbuatan yang menyenangkan hati Tuhan. Yesus sendiri berkata, “Jika kamu mengasihi Aku, kamu akan menuruti segala perintah-Ku” (Yoh. 14:15). Maka, ketaatan bukanlah tambahan opsional, tetapi merupakan bukti nyata dari kasih dan iman yang hidup.
Ketaatan yang berkelanjutan menunjukkan bahwa kita menghormati anugerah keselamatan itu dan tidak menyalahgunakannya. Sebaliknya, iman tanpa ketaatan adalah seperti tubuh tanpa roh—mati, tak bernyawa, dan tidak berguna. Orang percaya dipanggil bukan hanya untuk percaya pada hari pertobatan mereka, tetapi untuk hidup dalam kesetiaan dari hari ke hari, melewati pencobaan, menyangkal diri, dan tetap setia meskipun dunia menawarkan jalan pintas. Keselamatan bukan sekadar keputusan di masa lalu, tetapi komitmen terus-menerus yang dibuktikan melalui kesediaan untuk taat, sekalipun itu berarti berkorban. tulah bukti bahwa kita sungguh menghargai keselamatan yang mahal—bukan lewat kata-kata atau rutinitas, tetapi lewat hidup yang bertobat, taat, dan setia. Sebab anugerah sejati melahirkan hati yang tunduk, bukan yang membangkang.
I. KESELAMATAN BUKAN SEKADAR KEYAKINAN, TAPI KETAATAN
Keselamatan memang adalah anugerah—pemberian cuma-cuma dari Allah melalui karya penebusan Yesus Kristus di kayu salib. Namun, anugerah itu bukan sekadar untuk diyakini, melainkan untuk dihidupi. Iman kepada Kristus harus disertai respons nyata berupa ketaatan kepada firman-Nya. Sayangnya, dalam banyak kasus, konsep “aku pasti selamat” sering kali disalahartikan sebagai jaminan otomatis, terlepas dari bagaimana seseorang hidup setelah itu. Banyak orang mengklaim percaya kepada Yesus, tetapi tetap hidup dalam kebiasaan berdosa, tanpa pertobatan, tanpa rasa takut akan Tuhan. Mereka menjadikan keyakinan itu sebagai tameng untuk membenarkan ketidaktaatan, seolah-olah keselamatan adalah izin untuk hidup semau sendiri, tanpa konsekuensi rohani. Iman dijadikan dalih untuk menolak disiplin, dan kasih karunia diputarbalikkan seolah-olah membebaskan manusia dari tanggung jawab moral. Dalam pemahaman yang menyimpang ini, anugerah berubah menjadi pelarian, bukan pemulihan. Mereka berkata, “Tuhan mengerti,” tetapi sebenarnya mereka sedang menolak untuk mengerti Tuhan. Mereka berkata, “Allah itu kasih,” tetapi melupakan bahwa kasih-Nya juga suci dan kudus. Akibatnya, banyak orang merasa nyaman dalam kondisi tidak benar, seolah-olah keselamatan adalah asuransi jiwa rohani yang melindungi mereka dari murka Allah, walau mereka tetap hidup dalam pemberontakan terhadap kehendak-Nya.
Inilah bentuk penyesatan yang paling halus namun mematikan, karena dibungkus dengan bahasa rohani dan pengakuan iman, padahal hakikatnya menolak Tuhan yang mereka akui. Mereka tidak menyangkal Kristus secara terang-terangan, tetapi menyangkal-Nya melalui gaya hidup yang tidak taat. Keselamatan bukanlah kebebasan untuk hidup tanpa aturan, melainkan kebebasan untuk hidup dalam kebenaran. Oleh karena itu, keselamatan yang sejati tidak akan menghasilkan hidup yang liar dan sembarangan, tetapi akan melahirkan hati yang taat, takut akan Tuhan, dan haus akan kekudusan.
Fenomena seperti ini merupakan penyesatan rohani yang sangat berbahaya, sebab meskipun dibungkus dengan tampilan rohani, namun tidak mencerminkan kehidupan yang kudus dan setia kepada Tuhan. Bahkan lebih parah, banyak orang memakai jubah kerohanian untuk menutupi dosa dan kejahatan tersembunyi. Mereka aktif dalam pelayanan, fasih berbicara tentang kasih karunia, namun hidup dalam kebohongan, intrik, dan pemberontakan terhadap otoritas Allah. Dosa tidak lagi dianggap dosa jika itu datang dari “orang dalam”, dari orang yang memiliki pengaruh, kedudukan, atau kedekatan struktural. Kebenaran dikaburkan oleh loyalitas buta, dan kompromi terhadap dosa dibungkus dengan label “kasih”, “pengampunan”, atau “jangan menghakimi”. Lebih menyedihkan lagi, ada budaya diam atau pembiaran dalam komunitas rohani yang seharusnya menjadi tempat pertobatan. Kejahatan tidak lagi ditegur, tetapi dibiarkan, bahkan dibela, hanya karena pelakunya memiliki posisi atau relasi yang kuat. Dosa menjadi "tidak terlihat" ketika dibungkus oleh kelembutan palsu atau solidaritas kelompok. Padahal kasih sejati bukan hanya menghibur, tetapi juga menegur demi menyelamatkan. Dalam situasi seperti inilah kita melihat betapa mudahnya gereja menjadi tempat persembunyian dosa, bukan tempat pemurnian hati.
Oleh sebab itu, keselamatan sejati harus dibuktikan dengan ketaatan sejati. Tuhan Yesus tidak pernah memisahkan antara iman dan ketaatan. Bahkan dalam Amanat Agung pun, Dia tidak hanya memerintahkan murid-murid-Nya untuk percaya, tetapi juga untuk “mengajar mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu” (Mat. 28:20). Ini menunjukkan bahwa ketaatan adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keselamatan.
Percaya tanpa taat bukanlah iman, melainkan ilusi. Keselamatan tanpa perubahan hidup bukanlah anugerah, tetapi penipuan diri. Banyak orang mengaku percaya kepada Kristus, tetapi hidupnya sama sekali tidak mencerminkan kebenaran Injil. Mereka mengandalkan pengakuan mulut, tetapi tidak membuktikan imannya lewat pertobatan yang nyata. Padahal iman yang sejati selalu menghasilkan buah. Iman yang tidak melahirkan ketaatan hanyalah ilusi rohani yang membius hati, membuat seseorang merasa aman secara spiritual, padahal sesungguhnya sedang berada dalam bahaya kekal.
Sebagaimana tubuh tanpa roh adalah mati, demikian pula iman tanpa perbuatan adalah mati (Yakobus 2:26). Keselamatan sejati mengubah arah hidup, bukan hanya status keagamaan. Bila seseorang mengklaim telah menerima anugerah keselamatan tetapi tidak menunjukkan pertobatan, tidak membenci dosa, dan tidak berjuang untuk taat kepada firman Tuhan, maka itu bukanlah anugerah ilahi, melainkan bentuk penyesatan diri yang dibungkus kerohanian. Ini bukan buah dari kasih karunia, tetapi buah dari penolakan halus terhadap salib Kristus yang menuntut penyangkalan diri dan pengudusan.
Seseorang mungkin bisa menipu orang lain dengan penampilan rohani, bahkan bisa menipu dirinya sendiri dengan keyakinan palsu, tetapi Allah tidak bisa ditipu. Ia tidak mencari orang yang sekadar percaya secara teoretis, tetapi yang hidup dalam kehendak-Nya. Iman sejati adalah iman yang menundukkan kehendak kepada Tuhan, bukan hanya mengaku percaya tetapi tetap hidup menurut keinginan sendiri. Iman seperti ini bukanlah sekadar pengakuan intelektual, melainkan sikap hati yang menyerah total kepada otoritas Allah, tunduk pada firman-Nya, dan rela dibentuk sesuai kehendak-Nya. Iman sejati tidak bisa dipisahkan dari ketaatan, karena iman yang tidak mengubah kehendak adalah iman yang masih dipimpin oleh ego dan kedagingan. Ketika seseorang benar-benar percaya, maka akan ada dorongan rohani yang kuat untuk meninggalkan dosa dan hidup dalam kekudusan. Itulah bukti dari pekerjaan Roh Kudus yang nyata di dalam hati orang percaya. Hidup yang berubah adalah tanda bahwa keselamatan telah meresap ke dalam seluruh keberadaan kita—pikiran, perasaan, pilihan, dan tindakan. Dari yang dulu mencintai dosa, menjadi haus akan kekudusan. Dari yang dulunya melawan kehendak Tuhan, menjadi rindu untuk menyenangkan-Nya. Perubahan ini bukan hasil usaha manusia semata, tetapi buah dari iman yang hidup—iman yang bersandar penuh pada Kristus dan berjalan dalam pimpinan-Nya setiap hari. Inilah yang dimaksud Paulus ketika ia berkata, “Yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang” (2 Kor. 5:17). Artinya, keselamatan bukan hanya memberi pengharapan tentang masa depan, tetapi juga membawa transformasi dalam kehidupan saat ini.
Tanpa perubahan seperti ini, keselamatan yang diakui hanya sebatas ide, bukan realitas. Ia menjadi konsep rohani yang hampa—dipercaya tetapi tidak mengakar, diucapkan tetapi tidak dialami. Ini adalah iman yang hanya berhenti di bibir, tetapi tidak pernah mengakar dalam hati dan berbuah dalam hidup. Dan yang paling tragis, banyak orang merasa selamat padahal tidak pernah diselamatkan, karena mereka tidak pernah sungguh-sungguh bertobat dan menyerahkan hidupnya kepada Tuhan. Keselamatan sejati selalu menuntun pada perubahan sejati—dan perubahan sejati hanya mungkin terjadi bila ada ketaatan sejati. Sebab anugerah yang menyelamatkan bukan hanya mengampuni dosa, tetapi juga memampukan orang percaya untuk meninggalkan dosa dan hidup dalam kehendak Allah. Anugerah bukan sekadar menutupi masa lalu, tetapi membentuk masa depan yang baru bersama Kristus. Tanpa ketaatan, perubahan hanya akan menjadi kosmetik rohani—penampilan luar yang menipu, tetapi tidak pernah menyentuh kedalaman hati.
Sebagai ilustrasi nyata: ada sebuah kelompok yang mengaku sebagai gereja, tetapi tidak tunduk kepada sinode mana pun, tidak memiliki legalitas, tidak memiliki otoritas penggembalaan yang sah, dan tidak pernah menyerahkan diri pada kepemimpinan rohani yang benar. Mereka tetap melakukan ibadah seperti biasa, bahkan terlihat begitu "penuh semangat", seolah-olah mereka sudah hidup dalam atmosfer sorga. Padahal, di balik aktivitas itu tersembunyi pola pengkhianatan dan pembangkangan terhadap otoritas gereja induk yang dahulu menaungi mereka. Tanah dan tempat ibadah yang mereka gunakan pun sebenarnya adalah tanah sengketa yang telah diserobot secara tidak sah—milik gereja induk yang dahulu mereka akui, tetapi kini mereka tendang dan tinggalkan tanpa rasa malu.
Lebih ironis lagi, demi terlihat spiritual dan penuh kasih, mereka mengganti nama ibadah mereka dengan label rohani dalam bahasa Inggris seperti "Family of Love", padahal mereka sendiri tidak memahami arti kalimat itu. Semua itu hanyalah topeng, bungkus rohani untuk menutupi kejahatan yang sedang berlangsung. Mereka ingin terlihat seperti komunitas yang rukun, penuh kasih dan kekeluargaan, padahal Fondasi mereka dibangun di atas pengkhianatan, perpecahan, dan ketidaktaatan. Yang mereka bangun—baik ibadah maupun komunitas—bukanlah hasil ketaatan kepada Allah, tetapi buah dari pembelotan terhadap gembala dan gereja induk. Mereka keluar bukan secara terhormat, tetapi lewat penghasutan dan pemberontakan diam-diam.
“Perubahan” tanpa pertobatan sejati hanyalah pencitraan rohani—bisa menipu manusia, tapi tidak Tuhan. Manusia melihat tampilan luar, tapi Tuhan menilai hati. Mengganti nama atau suasana ibadah bukanlah bukti pertobatan jika tidak disertai ketaatan dan meninggalkan dosa. Tanpa pertobatan sungguh, semua aktivitas rohani hanyalah panggung kosong yang akan runtuh di hadapan Allah.
II. CONTOH SAUL: IMAN TANPA TAAT, DITOLAK ALLAH
Dalam 1 Samuel 15, Tuhan memberi perintah yang sangat jelas dan tegas kepada Saul: membinasakan seluruh bangsa Amalek—tanpa menyisakan satu pun orang, hewan, atau barang milik mereka. Perintah ini bukan tanpa alasan. Bangsa Amalek adalah musuh lama umat Israel, yang secara licik menyerang orang-orang lemah Israel dari belakang saat mereka keluar dari Mesir (Ul. 25:17–19). Tuhan telah bersumpah bahwa Ia akan menghapus nama Amalek dari kolong langit karena kejahatan mereka. Perintah ini bukan soal kekejaman, tetapi soal penghakiman Allah yang adil atas kejahatan yang sudah lama menumpuk. Dan Saul, sebagai raja Israel, dipilih untuk menegakkan keadilan Tuhan di bumi.
Namun apa yang terjadi? Saul menjalankan perintah Tuhan setengah hati. Ia memang menyerang Amalek dan mengalahkan mereka, tetapi ia tidak membunuh Agag, raja mereka, dan membiarkan binatang-binatang yang terbaik tetap hidup. Saul berpikir bahwa menyisakan yang “baik”—menurut versinya sendiri—bisa dibenarkan, bahkan menyamarkannya dengan alasan religius, yaitu untuk mempersembahkan korban kepada Tuhan. Ia memakai alasan ibadah untuk menutupi ketidaktaatan. Tapi Tuhan tidak terkesan dengan ritual yang dibungkus ketidakpatuhan.
Nabi Samuel, atas perintah Tuhan, datang menegur Saul dengan keras. Dan inilah yang dikatakan Tuhan: “Karena engkau telah menolak firman TUHAN, maka Ia telah menolak engkau sebagai raja.” (1 Samuel 15:23). Saul bukan tidak percaya kepada Tuhan, tetapi imannya tidak diiringi dengan ketaatan penuh. Ia memilih untuk taat sebagian, mengikuti kehendaknya sendiri sambil tetap merasa rohani. Dan justru ketidaktaatan itulah yang membuatnya ditolak Tuhan.
Kondisi ini sangat relevan dengan kehidupan rohani masa kini. Banyak orang Kristen hari ini juga “menyisakan Agag” dalam hidup mereka—yaitu membiarkan dosa-dosa tertentu tetap hidup, menyimpan kompromi kecil, dan membungkusnya dengan alasan pelayanan, kasih, atau toleransi. Mereka tetap beribadah, bahkan semakin aktif, tetapi tidak sepenuhnya taat kepada Tuhan. Mereka menilai baik menurut logika sendiri, bukan menurut firman Tuhan. Sama seperti Saul, mereka ingin tampak rohani, tetapi tidak mau tunduk penuh kepada kehendak Allah.
Iman tanpa ketaatan hanyalah ilusi rohani. Sebab iman sejati bukan hanya diyakini dalam pikiran atau diucapkan dengan mulut, tetapi dinyatakan dalam perbuatan dan ketaatan sehari-hari. Alkitab menegaskan, “Iman tanpa perbuatan adalah mati” (Yakobus 2:26). Artinya, iman yang tidak disertai ketaatan bukanlah iman yang menyelamatkan, tetapi hanyalah keyakinan kosong yang menipu hati sendiri. Kita tidak bisa menggantikan ketaatan dengan pelayanan. Tidak ada jumlah aktivitas gerejawi—baik berkhotbah, menyanyi, memberi persembahan, atau melayani—yang dapat menutupi pemberontakan hati terhadap firman Tuhan. Tuhan tidak mencari persembahan dari tangan yang tidak bersih, atau pujian dari hati yang membangkang. Kita juga tidak bisa menukar pengorbanan pribadi dengan penampilan rohani. Tuhan tidak tertarik pada pencitraan spiritual, tetapi pada ketulusan hati yang taat dan rendah hati di hadapan-Nya.
Saul menjadi pelajaran pahit bagi kita semua. Ia percaya kepada Tuhan, bahkan mempersembahkan korban, tetapi hatinya tidak tunduk sepenuhnya. Ia taat sebagian, tetapi tetap menyimpan apa yang ingin ia pertahankan. Dan itu cukup untuk membuat Tuhan menolaknya. Artinya, pengakuan iman tanpa ketaatan penuh sama sekali tidak berkenan di hadapan Allah. Berikut beberapa tanda bahwa iman yang dimiliki seseorang hanyalah ilusi rohani, bukan iman yang sejati:
2.1 Tetap hidup dalam dosa yang disengaja, sambil merasa aman karena sudah “percaya”. Inilah salah satu ciri paling mencolok dari iman yang palsu: seseorang mengaku percaya kepada Yesus, tetapi tetap menikmati hidup dalam dosa tanpa ada rasa takut, sedih, atau bersalah. Bahkan lebih parah lagi, ia menggunakan anugerah sebagai tameng, seolah-olah kasih karunia memberi izin untuk berbuat sesuka hati. Sikap ini sama seperti apa yang Paulus peringatkan dalam Roma 6:1, “Bolehkah kita bertekun dalam dosa, supaya semakin bertambah kasih karunia itu? Sekali-kali tidak!”. Iman sejati tidak nyaman tinggal dalam dosa, sebab Roh Kudus di dalam hati orang percaya akan terus menegur, mengoreksi, dan menariknya untuk bertobat. Orang yang benar-benar diselamatkan tidak bisa tenang hidup dalam dosa. Ia bisa jatuh, tetapi tidak akan betah jatuh; ia akan bangkit dan kembali kepada Tuhan. Sebaliknya, jika seseorang terus-menerus hidup dalam dosa dengan tenang dan membenarkan diri, itu tanda bahwa iman yang ia akui tidak pernah mengubah hatinya. Lebih tragis lagi, banyak orang yang membentuk teologi buatan sendiri untuk menenangkan hati nuraninya:
"Tuhan tahu saya lemah."
"Yang penting hatiku baik."
"Saya tetap percaya Yesus, kok."
Padahal iman tanpa pertobatan tidak pernah disetujui Allah. Bahkan, justru itu adalah bentuk pemberontakan tersembunyi—berlindung di balik nama Tuhan, tetapi menolak kehendak-Nya. Iman sejati bukan mencari pembenaran untuk dosa, tetapi mencari jalan keluar dari dosa. Orang benar bukanlah orang yang tidak pernah gagal, tetapi orang yang selalu kembali kepada kebenaran, karena hatinya tidak tahan jauh dari Tuhan.
2.2 Aktif melayani, tetapi menolak koreksi atau disiplin rohani. Di permukaan, orang ini tampak “bergairah dalam pelayanan.” Ia mungkin berdiri di mimbar, memimpin pujian, berkhotbah, atau bahkan terlibat aktif dalam banyak aktivitas gereja. Namun ketika ditegur, dikoreksi, atau diarahkan secara rohani oleh pemimpin yang sah, ia langsung menutup hati. Ia lebih suka memamerkan pelayanannya daripada mendengarkan suara kebenaran. Inilah ciri khas pelayanan tanpa pertobatan—sibuk di luar, tetapi kosong di dalam. Pelayanan seperti ini bukan hasil cinta kepada Tuhan, melainkan bentuk pembuktian diri dan kebanggaan rohani. Orangnya rajin karena ingin diakui, bukan karena ingin taat. Ia tidak suka ditegur karena merasa sudah cukup rohani. Padahal, tanpa hati yang mau diajar, semua pelayanannya hanya menjadi rutinitas keagamaan yang tak bernilai di hadapan Tuhan. Fenomena seperti ini sangat nyata dalam gereja-gereja saat ini. Ada banyak orang yang berani tampil di depan jemaat, tetapi tidak tunduk pada otoritas rohani yang sah. Ketika ditegur karena moralitas, sikap, atau doktrin yang menyimpang, mereka memilih keluar dari penggembalaan dan bahkan mendirikan kelompok ibadah sendiri, hanya supaya tidak ada lagi yang bisa menegur mereka. Lalu mereka membungkus pemberontakan itu dengan istilah rohani seperti “panggilan,” “kasih,” atau “kebebasan dalam Tuhan.” Tetapi sebenarnya, mereka hanya menolak dibentuk. Bahkan tidak sedikit yang mengangkat diri menjadi pemimpin rohani atau “gembala,” tanpa proses, tanpa penundukan diri, tanpa pengutusan. Mereka mungkin mengumpulkan orang dan menjalankan ibadah, tapi di mata Tuhan itu hanya aktivitas manusia tanpa ketundukan. Pelayanan sejati lahir dari hati yang mau dibentuk, bukan sekadar ingin tampil. anpa kerendahan hati yang sungguh, tulus, terus-menerus, konsisten, dan taat, sebesar apa pun pelayanannya, tidak akan pernah berkenan di hadapan Allah. Di suatu daerah, berdiri gereja ilegal tanpa kejelasan sinode dan struktur yang sah, tampak suasana ibadah yang sekilas terlihat sangat rohani—dari anak-anak, muda-mudi, hingga orang tua, semua tampak antusias ingin tampil di depan. Setiap minggu selalu diawali dengan seruan “Haleluya!” dijawab dengan “Puji Tuhan!” seolah-olah surga turun ke tengah ibadah. Namun sayangnya, semua itu hanyalah panggung pencitraan, bukan ekspresi ketaatan sejati. Yang mereka kejar bukan hadirat Tuhan, melainkan sorotan manusia. Kaum muda, kaum ibu, hingga kaum bapa berlomba menyanyi dan bergiliran bersaksi di depan altar. Mereka berebut kesempatan tampil, bahkan ada yang berjoget dan berputar-putar saat bersaksi—semata-mata agar terlihat seolah-olah ada urapan. Semua itu bukan lahir dari kerendahan hati atau dorongan Roh Kudus, tetapi dari keinginan untuk tampil dan diakui. Ibadah pun berubah menjadi panggung pencitraan, bukan pertemuan dengan kekudusan Tuhan. Yang dicari bukan hadirat Allah, melainkan sorotan manusia.. Ibadah berubah menjadi ajang pertunjukan, bukan tempat penyembahan. Semuanya ingin tampak rohani, tapi di balik itu tersembunyi akar pahit: pemberontakan terhadap otoritas, mulut penuh fitnah, dan hati yang menolak tunduk pada kebenaran. Mereka tidak merasa malu akan dosa dan pelanggarannya, bahkan mengklaim menerima visi dari Allah—padahal arah hidup dan buah pelayanan mereka justru mencerminkan pengaruh roh lain yang bukan berasal dari Tuhan. Bukan kekudusan yang terpancar, tetapi kekacauan rohani yang lahir dari kesombongan, kebingungan, dan hati yang tidak mau bertobat. Ironi rohani masa kini: tampak bersinar di luar, tapi gelap di dalam. Pelayanan yang lahir dari ambisi pribadi, bukan pertobatan sejati—terlihat rohani, tapi jauh dari kebenaran..
2.3 Mengandalkan pengalaman rohani masa lalu, tanpa pertumbuhan hidup yang nyata hari ini. Iman sejati bersifat dinamis—bertumbuh, berubah, dan menghasilkan buah setiap hari Banyak orang merasa cukup dengan kesaksian masa lalu—momen ketika mereka pertama kali bertobat, mengalami jamahan Roh Kudus, atau pernah dipakai Tuhan dalam pelayanan. Mereka menjadikan pengalaman itu sebagai identitas rohani, seolah-olah masa lalu yang gemilang menjadi jaminan rohani hari ini. Namun sayangnya, mereka berhenti bertumbuh. Komitmen yang dulu menyala, kini padam. Kehidupan rohani menjadi stagnan—tidak lagi haus akan firman, tidak lagi peka terhadap dosa, dan tidak lagi mengejar kekudusan. Iman sejati bukanlah sesuatu yang statis atau cukup sekali jadi. Iman yang sejati adalah iman yang terus-menerus bertumbuh, diperbarui, dan dibuktikan melalui ketaatan setiap hari. Seperti tanaman yang hidup, iman perlu dipelihara, disiram, dan dibersihkan dari hal-hal yang menghambat pertumbuhan rohani. Yesus dengan tegas berkata, “Setiap ranting pada-Ku yang tidak berbuah, dipotong-Nya dan dibuang” (Yohanes 15:2). Ini berarti bahwa pengalaman masa lalu tidak akan menyelamatkan kita jika hari ini kita tidak lagi menghasilkan buah pertobatan. Allah tidak tertarik pada cerita masa lalu jika hidup kita saat ini penuh kedagingan, pemberontakan, dan kompromi terhadap dosa. Orang yang hanya hidup dari kenangan rohani masa lalu, tetapi menolak pertumbuhan hari ini, sebenarnya sedang berjalan mundur secara rohani. ertumbuhan dalam Tuhan bukanlah soal pernah menyala, tetapi apakah kita tetap menyala sampai akhir. Sebab tanda orang yang diselamatkan bukanlah pengalaman masa lalu semata, melainkan ketekunan dalam iman, kesetiaan, ketaatan, integritas, kemurnian, konsistensi, kerendahan hati, pertobatan setiap hari, kasih yang murni, penguasaan diri, dan ketulusan hati sampai garis akhir.
2.4 Memilih taat sebagian, tetapi menolak perintah Tuhan yang tidak nyaman. Ini adalah bentuk ketaatan yang setengah hati—mengikuti kehendak Tuhan hanya selama itu sesuai dengan logika, kenyamanan, atau keuntungan pribadi. Banyak orang seperti Saul, yang tampak menaati perintah Tuhan, tetapi sebenarnya hanya memilih bagian-bagian yang dianggap cocok dan bisa diterima akal. Dalam 1 Samuel 15, Tuhan memerintahkan Saul untuk membinasakan seluruh bangsa Amalek dan segala milik mereka tanpa terkecuali. Namun Saul menyisakan Agag, raja Amalek, serta ternak yang "baik-baik" dengan alasan untuk dikorbankan bagi Tuhan. Tapi ketaatan yang disisipi agenda pribadi bukanlah ketaatan sejati. Saul melakukan apa yang menurutnya benar, bukan apa yang benar di mata Tuhan. Inilah bahaya ketaatan yang selektif—mengganti firman Tuhan dengan pertimbangan pribadi. Dalam kehidupan saat ini, banyak orang percaya memilih untuk mentaati Tuhan dalam hal memberi, tetapi tidak dalam hal mengampuni. Mau melayani, tapi menolak untuk hidup kudus. Rajin berdoa, tapi menolak koreksi dan otoritas rohani. Tuhan tidak mencari ketaatan setengah hati, tapi ketaatan penuh tanpa syarat. Seperti Saul, yang menyisakan Agag dan ternak karena logika sendiri, bukan karena taat. Ia melakukan yang “baik,” tapi melanggar yang benar. Ketaatan sejati tidak memilih-milih. Taat hanya saat nyaman bukan iman, tapi kepentingan terselubung. Dan seperti Saul, itu bisa berujung pada penolakan Allah. Ibadah tanpa ketaatan hanyalah suara kosong—nyaring di hadapan manusia, tapi hampa di hadapan Tuhan. Sebab Tuhan tidak tertarik pada aktivitas rohani yang megah, jika hati di baliknya penuh pemberontakan. Ketaatan jauh lebih berharga daripada pengorbanan, dan hati yang tunduk, setia, dan murni lebih berkenan daripada seribu pujian..
2.5 Mengganti ketaatan dengan simbol-simbol rohani. Banyak orang, alih-alih bertobat dan tunduk kepada kebenaran, justru menutupi ketidaktaatannya dengan berbagai simbol atau kemasan rohani. Mereka mengganti nama gereja, pindah sinode, mengubah suasana ibadah agar terlihat lebih "hidup," bahkan memakai istilah-istilah seperti kasih, unity, atau family of love untuk memberi kesan bahwa semuanya harmonis dan berkenan kepada Tuhan. Padahal jika ditelusuri lebih dalam, akar dari semua itu adalah pemberontakan terhadap otoritas, pelarian dari koreksi, dan ketidakmauan untuk tunduk pada tatanan rohani yang sah. Mereka menyamarkan pembelotan dengan istilah yang tampak mulia, namun Tuhan tidak tertipu oleh simbol. Sebab ketaatan tidak bisa diganti dengan nama baru, suasana baru, atau jargon kasih. Kasih tanpa kebenaran hanyalah kompromi. Unity tanpa pertobatan hanyalah kemunafikan kolektif. Tuhan tidak pernah tertarik pada nama atau label, tapi pada buah yang lahir dari pertobatan sejati. Jika dasarnya adalah pelanggaran dan pengkhianatan, maka seindah apa pun kemasan ibadah mereka, semua itu tetap najis di hadapan Tuhan. Seperti Saul yang tetap mempersembahkan korban padahal telah melanggar firman Tuhan—pengorbanannya ditolak karena tidak lahir dari ketaatan. Ia berpikir bisa menutupi ketidaktaatannya dengan ritual, tapi Tuhan lebih peduli pada ketaatan daripada persembahan. Ini menjadi peringatan bagi kita: jangan sampai aktivitas rohani kita hanyalah upaya membungkam suara hati yang sedang melawan Tuhan. Sebab ibadah yang sejati bukan terletak pada apa yang kita bawa ke altar, tetapi pada apakah kita sungguh-sungguh tunduk dengan rendah hati kepada suara-Nya. anpa ketaatan, korban sebesar apa pun akan tetap sia-sia dan tidak berkenan di hadapan-Nya, bahkan menjadi kejijikan rohani.
2.6 Menilai keberhasilan rohani secara lahiriah, bukan dari kesetiaan kepada kebenaran. Salah satu penyesatan terbesar dalam dunia pelayanan saat ini adalah mengukur keberhasilan rohani dengan standar duniawi: jumlah jemaat yang besar, musik ibadah yang megah, gedung gereja yang mewah, dan popularitas pemimpin rohani. Padahal, ukuran keberhasilan sejati dalam pandangan Allah bukanlah kemegahan luar, tetapi kesetiaan dalam kebenaran. Iman sejati bukan tentang seberapa viral khotbah kita, seberapa ramai gereja kita, atau seberapa kagum orang terhadap pelayanan kita. Ukurannya adalah: apakah kita tetap taat ketika tidak ada yang melihat? Apakah kita tetap berdiri di atas kebenaran saat banyak orang memilih kompromi? Apakah kita tetap mengerjakan kehendak Allah meski tidak disukai dan ditinggalkan?. Yesus sendiri berkata bahwa banyak orang akan datang kepada-Nya dan berkata, “Tuhan, bukankah kami bernubuat demi nama-Mu, mengusir setan demi nama-Mu, dan mengadakan banyak mujizat demi nama-Mu?” Tapi Yesus menjawab, “Aku tidak pernah mengenal kamu!” (Mat. 7:22–23). Itu berarti pelayanan yang tampak spektakuler tidak menjamin pengenalan dari Tuhan, jika tidak dibangun di atas ketaatan dan kekudusan. Keberhasilan rohani sejati bukan soal hasil besar, tapi kesetiaan kecil yang terus dipelihara setiap hari. Tuhan tidak tertarik pada berapa banyak kita memimpin, tapi pada apakah kita sungguh-sungguh mengikuti-Nya. Sebab dalam kekekalan, bukan kuantitas yang diukur, melainkan kualitas kesetiaan kepada kebenaran-Nya. Allah tidak akan menanyakan seberapa banyak kita memimpin, tetapi seberapa sungguh kita hidup taat, setia, dan benar di hadapan-Nya— meski tanpa sorotan, tanpa tepuk tangan, tanpa panggung, tanpa pengakuan, tanpa pujian manusia, tanpa kenyamanan, tanpa dukungan mayoritas, tanpa fasilitas, tanpa sanjungan, dan tanpa dilihat oleh siapa pun..
Ingatlah, Tuhan tidak bisa ditipu. Ia menolak Saul bukan karena ia kurang berkorban atau tidak beribadah, tetapi karena hatinya tidak sungguh-sungguh tunduk kepada perintah Tuhan. Saul tetap menjalankan simbol-simbol rohani—ia beribadah, ia mempersembahkan korban—namun itu semua dilakukan dengan hati yang tidak taat. Maka Tuhan menolaknya, bukan karena ia tidak beragama, tetapi karena ia tidak setia. Demikian juga hari ini. Banyak orang tampak aktif secara rohani: memimpin, menyanyi, bersaksi, bahkan berkhotbah. Namun jika hidup mereka jauh dari pertobatan, penuh kepura-puraan, menolak koreksi, dan memilih dosa, maka semua aktivitas itu tidak memiliki nilai kekal di hadapan Tuhan. Yang dinilai Tuhan bukan berapa hebat tampilan rohani kita, tetapi seberapa dalam hati kita tunduk dan taat pada-Nya.
Keselamatan sejati bukanlah hasil dari tampilan luar, tetapi buah dari hati yang benar—hati yang lembut, taat, dan mau dibentuk. Kita bisa menipu sesama dengan kesalehan palsu, tapi kita tidak bisa menyembunyikan pemberontakan dari mata Tuhan. Semua ini menegaskan kepada kita bahwa iman tanpa ketaatan bukan hanya sia-sia, tetapi bisa menjadi batu sandungan dan mendatangkan penolakan dari Allah sendiri. Ketaatan bukan pelengkap, tetapi inti dari iman sejati.. Oleh karena itu, kita akan masuk lebih dalam untuk melihat bagaimana membangun kehidupan iman yang benar di hadapan Tuhan—yang tidak hanya dimulai dengan percaya, tetapi diteguhkan dengan ketaatan, dibentuk dalam pertobatan, dan dimurnikan oleh kesetiaan setiap hari. Sebab hanya kehidupan yang dibangun di atas kebenaran dan ketaatanlah yang akan bertahan dalam ujian dan diperkenan Allah. Segala kesalehan palsu akan gugur saat diuji oleh waktu, penderitaan, dan terang firman-Nya. Tetapi hidup yang sungguh taat akan tetap teguh, karena fondasinya adalah Kristus—yang kokoh, murni, tidak tergoyahkan, dan penuh kasih setia.
III. EMPAT ALASAN MENGAPA SAUL DITOLAK ALLAH
Untuk memahami betapa seriusnya akibat dari ketidaktaatan terhadap perintah Allah, kita perlu merenungkan secara saksama kisah tragis dalam kehidupan Raja Saul. Saul bukanlah orang biasa—ia adalah sosok yang dipilih, diurapi, dan diperlengkapi oleh Tuhan sendiri untuk memimpin bangsa Israel. Ia menerima mandat ilahi, dukungan rohani dari nabi Samuel, dan bahkan kemenangan awal yang luar biasa dalam kepemimpinannya. Namun semua itu tidak cukup jika tidak disertai dengan hati yang sungguh-sungguh taat.
Penolakan Allah terhadap Saul bukan terjadi secara mendadak, apalagi tanpa alasan. Ada proses dan pola ketidaktaatan yang terus berulang, yang pada akhirnya membuat Tuhan menarik penyertaan-Nya. Dari luar, Saul tampak masih memimpin, masih mempersembahkan korban, dan masih berbicara atas nama Tuhan. Namun di hadapan Allah, hatinya sudah menyimpang—dan itulah yang menentukan segalanya. Kisah Saul adalah cermin bagi kita semua. Ia memperlihatkan bahwa seseorang bisa memulai dengan benar tetapi berakhir tragis jika tidak menjaga ketaatan. Iman yang sejati bukan hanya ditandai oleh awal yang baik, tetapi oleh kesetiaan dan ketaatan sampai akhir. Maka dari itu, penting bagi kita untuk memahami secara mendalam alasan-alasan yang menyebabkan Saul ditolak oleh Allah, agar kita tidak mengulangi kesalahan yang sama. Ketika kita belajar dari kejatuhan Saul, kita diingatkan bahwa posisi, pelayanan, atau pengurapan sekalipun tidak menjamin penerimaan Tuhan jika hati kita tidak setia. Ketaatan bukan sekadar melakukan apa yang terlihat baik, tetapi melakukan apa yang benar di mata Tuhan—meskipun tidak populer, tidak nyaman, atau tidak masuk akal secara manusia. Berikut ini adalah empat alasan utama yang menjadi akar kejatuhan Saul—dan peringatan serius bagi kita semua agar tidak jatuh dalam jebakan yang serupa dan berakhir dalam penolakan ilahi:
3.1. Ia lebih melihat keindahan dan kebaikan menurut dunia daripada perintah Allah. Saul tidak menilai sesuatu berdasarkan standar Tuhan, melainkan menurut apa yang tampak baik di mata manusia. Ketika Allah memerintahkan untuk membinasakan semua milik Amalek, Saul justru membiarkan sebagian ternak yang “baik” hidup, karena ia merasa itu berguna. Padahal kebaikan yang tidak sesuai firman Tuhan bukanlah kebaikan sejati, melainkan bentuk ketidaktaatan terselubung. Ia menganggap sebagian dari yang jahat itu masih bisa dipakai untuk tujuan baik. Saul berpikir bahwa binatang-binatang yang selamat bisa dijadikan korban bagi Tuhan. Ini menunjukkan pola pikir kompromistis: menghalalkan cara demi “tujuan rohani.” Tapi Allah tidak menerima korban yang berasal dari ketidaktaatan. Menggunakan hasil dosa untuk melayani Tuhan tidak pernah dibenarkan. Ini adalah bentuk kompromi yang menyesatkan. Saul jatuh karena ia menilai sesuatu bukan dari sudut pandang Allah, tetapi dari penilaian manusiawi yang tampaknya logis dan “baik.” Ketika Allah dengan tegas memerintahkan agar seluruh bangsa Amalek dan semua miliknya dibinasakan tanpa sisa (1 Sam. 15:3), Saul malah menyisakan Agag, raja Amalek, dan binatang-binatang yang tampak sehat dan baik. Ia merasa bahwa apa yang “berguna” bisa dipertahankan, bahkan untuk dipersembahkan kepada Tuhan. Di sinilah letak kesalahannya yang fatal: ia mengganti ketaatan dengan logika, dan mengganti firman Tuhan dengan pertimbangan pribadi. Saul mencoba membenarkan ketidaktaatannya dengan tujuan yang kelihatannya rohani: “Saya sisakan ternak terbaik untuk dipersembahkan kepada Tuhan.” Tapi kebenaran Alkitab tidak bisa dinegosiasikan demi alasan “baik.” Apa pun yang berasal dari ketidaktaatan, walau dibungkus dengan niat pelayanan, tetap tidak berkenan di hadapan Tuhan. Allah tidak mencari korban, Ia mencari ketaatan (1 Sam. 15:22). Inilah yang disebut kompromi rohani—ketika seseorang mencoba mencampur ketaatan dengan ketidaktaatan, kebenaran dengan kesalahan, lalu membungkusnya dengan simbol-simbol rohani agar tetap tampak sah. Di masa kini, bentuk kompromi ini sangat nyata:
1) Saat gereja atau individu mempertahankan gaya hidup dosa, tetapi menyamarkannya dengan “pelayanan.”
2) Ketika seseorang menggunakan uang hasil ketidakjujuran untuk mendanai kegiatan gereja, sambil berkata, “Yang penting buat Tuhan.”
3) Saat ada komunitas yang memecah kesatuan tubuh Kristus, lalu membuat ibadah baru demi ambisi pribadi, dan menyebutnya “visi dari Tuhan.”
Ketika simbol-simbol seperti nama gereja, istilah “kasih” atau “unity,” dan lagu rohani dipakai untuk menutupi akar pemberontakan, perebutan jabatan, atau penolakan terhadap otoritas sah. Kompromi ini menyesatkan karena kelihatannya rohani, tetapi sesungguhnya melawan kehendak Allah. Sama seperti Saul, banyak orang merasa sedang menyenangkan Tuhan, padahal mereka sedang melanggar-Nya. Mereka lupa bahwa Tuhan tidak bisa ditipu oleh bungkus pelayanan; Ia melihat hati yang sungguh tunduk. Pesan yang harus kita pegang dari kejatuhan Saul adalah: kebaikan yang tidak berdasarkan kebenaran bukanlah ketaatan, dan pelayanan yang tidak lahir dari kehendak Tuhan bukanlah persembahan, melainkan pelanggaran. Di mata manusia bisa saja tampak berguna, namun di mata Tuhan, hanya apa yang sesuai firman-Nya yang berkenan. Sebab ukuran keberkenanan bukanlah manfaat, kepopuleran, atau kemasan rohani, melainkan ketaatan mutlak kepada kehendak-Nya. Apa pun yang tidak lahir dari ketaatan, walau terlihat baik, tetap ditolak oleh Allah karena tidak berasal dari iman yang sejati..
3.2. Ia menganggap sebagian dari yang jahat itu masih bisa dipakai untuk tujuan baik.
Saul menunjukkan pola pikir yang berbahaya ketika ia memilih menyisakan binatang-binatang terbaik dari bangsa Amalek, dengan dalih untuk mempersembahkannya kepada Tuhan. Di permukaan, tindakannya tampak rohani—ia ingin berkorban bagi Allah. Namun kenyataannya, ini adalah bentuk kompromi terselubung. Ia mengabaikan perintah Tuhan yang tegas untuk membinasakan semuanya (1 Sam. 15:3), dan menggantikannya dengan apa yang menurut penilaiannya sendiri baik. Saul mulai menilai kehendak Tuhan bukan dari kebenaran, tetapi dari logika manusiawi dan hasil yang kelihatan baik. Inilah akar kompromi rohani: ketika seseorang menjustifikasi ketidaktaatan dengan tujuan yang terlihat mulia. Saul berpikir bahwa hasil dari ketidaktaatan (yaitu binatang yang seharusnya dibinasakan) bisa dipakai untuk melayani Tuhan. Namun Allah tidak tertarik pada korban yang berasal dari pembangkangan. Tuhan lebih berkenan kepada ketaatan daripada pengorbanan (1 Sam. 15:22). Fenomena ini sangat relevan di masa kini. Banyak pelayanan atau individu yang memakai cara-cara yang tidak benar—manipulasi, kebohongan, perebutan posisi, bahkan pengkhianatan—lalu membungkusnya dengan nama “demi pelayanan” atau “demi pekerjaan Tuhan.” Mereka berkata: “Toh hasilnya baik, banyak jiwa terberkati.” Namun kita tidak bisa menghalalkan segala cara hanya karena hasilnya kelihatan rohani. Tuhan tidak bisa ditipu oleh pencitraan rohani. Ketaatan kepada firman-Nya jauh lebih penting daripada kesuksesan lahiriah. Sebagaimana korban Saul ditolak, demikian pula segala bentuk pelayanan, proyek, atau komunitas yang dibangun dari ketidaktaatan akan kehilangan hadirat Tuhan—walau mungkin tetap berjalan secara organisasi. Kompromi akan selalu menggiring kepada kehancuran rohani, jika tidak segera disadari dan ditinggalkan, tetapi juga bagi lembaga dan tubuh gereja secara keseluruhan. Sebuah pengalaman rohani di lapangan dapat menjadi pelajaran berharga: ada sebuah lembaga gerejawi yang sedang bergumul dalam mempertimbangkan apakah akan menerima penggabungan cabang jemaat dari sekelompok orang yang mengaku ingin melayani Tuhan. Secara tampilan luar, mereka tampak aktif, penuh semangat, dan menggunakan istilah-istilah rohani seperti “kasih,” “persaudaraan,” dan “unity.” Namun ketika ditelusuri lebih dalam, jejak mereka menyimpan sejarah pemberontakan—mereka keluar dari gereja induk bukan secara tertib, melainkan melalui pembangkangan terhadap otoritas gembala, adu domba jemaat, dan manipulasi dokumen. Ironisnya, meskipun perilaku mereka meniru kerohanian, mereka justru menunjukkan karakter seperti Iblis yang menyamar sebagai malaikat terang (2 Korintus 11:14): penuh tipu daya, haus sorotan, dan memanipulasi simbol-simbol rohani demi agenda pribadi. Jika Lembaga gerejawi tidak selektif dan berjaga, menerima mereka tanpa pertobatan yang sungguh hanya akan membuka pintu bagi virus pemberontakan menyebar ke dalam tubuh Kristus. Dan jika itu terjadi, bukan hanya jemaat lokal yang rusak, tetapi seluruh sistem gereja bisa tercemar. Pelajaran rohaninya jelas: kompromi terhadap ketidaktaatan—apalagi terselubung—bukan hanya mencederai kekudusan gereja, tetapi dapat menjadikan tubuh Kristus sarang kekacauan rohani. Pelayanan yang dibangun di atas pengkhianatan tidak akan menghasilkan kemuliaan bagi Tuhan. Tujuan rohani tidak membenarkan cara yang salah. Apa yang lahir dari ketidaktaatan tetap tidak berkenan di mata Tuhan—meski dibungkus liturgi, kesaksian, atau pelayanan rohani.
3.3. Ia menciptakan bentuk pemberontakan yang dibungkus dengan kebaikan rohani. Saul adalah contoh nyata dari seseorang yang membungkus ketidaktaatan dengan aktivitas keagamaan. Setelah mengabaikan perintah Allah untuk membinasakan seluruh milik Amalek, ia tetap mempersembahkan korban kepada Tuhan—seolah-olah tidak terjadi pelanggaran apa-apa. Ini adalah bentuk pemberontakan yang dibungkus dengan simbol ketaatan. Ia ingin tetap terlihat saleh di mata rakyat, padahal di hadapan Allah, ia telah berdosa berat. Ketika Samuel menegurnya, respons Saul pun menunjukkan bahwa ia tidak benar-benar bertobat, tetapi lebih peduli pada reputasi: “Tolong hormatilah aku di depan tua-tua bangsaku dan di depan Israel” (1 Sam. 15:30). Samuel dengan tegas menyatakan bahwa apa yang dilakukan Saul bukan hanya pelanggaran, tetapi pendurhakaan—dan pendurhakaan itu disamakan dengan dosa bertenung, yaitu pemberontakan terang-terangan terhadap otoritas Tuhan (1 Sam. 15:23). Artinya, ketidaktaatan yang dibungkus rohani sama bobroknya dengan praktik sihir dalam pandangan Tuhan, karena keduanya sama-sama menolak kekuasaan dan kehendak Allah. Fenomena ini juga sangat relevan dengan kondisi gereja masa kini. Banyak orang menyembunyikan pemberontakan mereka terhadap otoritas rohani dan kebenaran firman Tuhan dengan liturgi, pelayanan, kesaksian, bahkan nama-nama rohani yang manis. Mereka terus melayani, memimpin ibadah, bahkan menyebut-nyebut nama Tuhan, padahal akar hidupnya tidak tunduk. Ini adalah penipuan rohani yang berbahaya—karena bukan hanya menyesatkan orang lain, tetapi juga membuat hati menjadi kebal terhadap pertobatan sejati. Penampilan rohani tidak pernah bisa menggantikan ketaatan. Tuhan tidak terkesan dengan korban atau persembahan jika itu tidak lahir dari hati yang tunduk. Seseorang bisa tampak aktif di gereja, tetapi hidupnya bertentangan dengan firman—dan itu adalah bentuk lain dari pemberontakan yang dibungkus ibadah. Peringatan bagi kita semua: jangan sampai pelayanan dan aktivitas keagamaan hanya menjadi pelindung bagi hati yang tidak tunduk kepada Tuhan. Sebab Allah tidak melihat tampilan, tetapi hati. Dan hati yang memberontak, meski dibungkus dengan persembahan dan pujian, tetap akan ditolak oleh-Nya. Saul tidak kehilangan posisi karena kurang pelayanan—ia kehilangan perkenanan Allah karena kehilangan ketaatan. Ini menjadi peringatan serius: Tuhan tidak tertarik pada penampilan rohani yang gemerlap jika hati penuh pemberontakan. Hal serupa. Dalam dinamika pelayanan masa kini, kita sering menjumpai orang-orang yang tampak begitu antusias dan berapi-api ingin terjun dalam pelayanan, bahkan menjadi pemimpin rohani. Sebagai ilustrasi, ada sepasang suami istri yang sangat bersemangat mengejar panggilan sebagai pendeta. Secara lahiriah, mereka terlihat sungguh rohani—aktif berdoa, fasih berbicara tentang visi, pengurapan, dan misi dari Tuhan. Namun ketika kita menilik lebih dalam, terdapat latar belakang keluarga dan pola hidup yang justru bertentangan dengan nilai-nilai dasar panggilan sejati. Pasangan ini berasal dari keluarga yang sejak lama dikenal sering mengalami ketegangan dalam relasi dengan otoritas rohani. Orang tua mereka pun tercatat pernah terlibat dalam berbagai konflik komunitas, dengan reputasi yang tidak membangun. sayangnya, pola itu tidak berhenti di generasi sebelumnya. Suami-istri ini kemudian terlibat dalam sejumlah konflik pelayanan yang berulang—bukan hanya karena perbedaan visi, tetapi karena langkah-langkah yang diambil seringkali tidak melalui pembinaan dan pengutusan yang sah. Mereka mendirikan persekutuan sendiri tanpa kejelasan struktur dan tanpa restu dari otoritas rohani, yang pada akhirnya justru memperparah konflik di tengah jemaat. Yang mengkhawatirkan, pola itu juga tampak berlanjut pada generasi anak-anak mereka. Dalam semangat untuk tampil dan terlihat aktif, mereka sering terlibat dalam pelayanan bukan dengan sikap mau dibentuk, tetapi dengan keinginan untuk mendominasi dan memimpin sebelum waktunya. Alih-alih membawa damai, kehadiran mereka justru seringkali memperkeruh situasi dan menciptakan ketegangan baru di tengah jemaat maupun struktur gereja. Berkali-kali, persekutuan yang mereka bangun ditolak oleh Lembaga Gerejawi, bukan karena alasan pribadi, tetapi karena persoalan mendasar dalam hal doktrin, etika, dan struktur. Ini menjadi pelajaran penting: bahwa pelayanan yang dibangun di atas dasar konflik dan ambisi, bukan dari ketaatan dan pembentukan karakter, tidak akan pernah berbuah sehat di hadapan Tuhan. Pelayanan sejati tidak hanya diukur dari semangat, aktivitas, atau pengetahuan rohani. Tuhan melihat hati—dan hanya hati yang mau tunduk, dibentuk, serta bertumbuh dalam kebenaran yang akan diperkenan. Sebab, pelayanan yang lahir dari pemberontakan, betapapun tampaknya rohani, tetap tidak dapat menggantikan panggilan sejati yang lahir dari pertobatan dan ketaatan. ” Tuhan tidak tertipu oleh bahasa rohani, pujian keras, atau liturgi semarak. Ia melihat dasar hati. Dan hati yang penuh pemberontakan, walaupun dibungkus dengan pengakuan iman, tetap najis di hadapan-Nya Ini membuktikan bahwa panggilan rohani tidak dapat dipalsukan oleh ambisi pribadi. Ketaatan, kerendahan hati, dan hidup yang tertunduk kepada kebenaran adalah dasar yang tidak bisa digantikan oleh semangat emosional atau retorika rohani. Bila akar hidup seseorang dibangun di atas pemberontakan, maka buahnya pun akan berupa kekacauan, sekalipun dibungkus dengan liturgi dan bahasa rohani. Allah menolak Saul bukan karena ia tidak aktif, tetapi karena ia tidak tunduk.
3.4. Ia cepat mengambil keputusan tanpa menyelami makna perintah Tuhan. Salah satu akar kegagalan Saul adalah ketergesaannya dalam mengambil keputusan rohani tanpa terlebih dahulu menyelami secara mendalam makna dari perintah Tuhan. Ia tidak membiarkan hatinya benar-benar dibentuk oleh kehendak Allah, tetapi malah menimbang-nimbang perintah ilahi dengan logika manusia yang terbatas. Ketika Tuhan memerintahkan untuk membinasakan seluruh milik Amalek (1 Sam. 15), Saul memilih jalan pintas—ia bertindak seolah menaati, namun tidak sepenuhnya menjalankan firman Tuhan. Tindakannya yang setengah hati menunjukkan bahwa ia lebih didorong oleh persepsi manusia dan kepentingan politik saat itu daripada oleh ketaatan penuh kepada Tuhan. Ketergesaan ini juga mencerminkan kurangnya keintiman dengan suara Tuhan. Seorang pemimpin yang akrab dengan hadirat Allah seharusnya tidak terburu-buru dalam mengambil keputusan yang besar, apalagi jika menyangkut perintah Tuhan yang mutlak. Tetapi Saul justru bertindak cepat—tanpa perenungan, tanpa penyelidikan hati, dan tanpa kerendahan diri untuk bertanya, “Tuhan, apa yang sungguh Engkau kehendaki?” Hal ini sangat relevan dengan kondisi pelayanan masa kini. Banyak keputusan gereja—termasuk soal pemimpin, pelayanan, bahkan doktrin—diambil hanya berdasarkan pertimbangan pragmatis: apakah ini efektif, apakah ini disukai jemaat, apakah ini membuat kita populer. Namun keputusan-keputusan rohani yang besar tidak boleh dibuat hanya berdasarkan logika dan penilaian manusia. Mereka harus dilahirkan dari doa, perenungan firman, kepekaan terhadap suara Roh Kudus, dan kerendahan hati untuk menunggu waktu Tuhan. Ketika seseorang terbiasa membuat keputusan rohani tanpa kedalaman rohani, maka yang lahir bukan ketaatan, melainkan kompromi. Dan kompromi, meskipun dibungkus dengan alasan rohani atau strategi pelayanan, tetaplah bentuk ketidaksetiaan di mata Tuhan. Saul adalah contoh yang tragis dari pemimpin yang gagal karena ia terburu-buru, menilai dengan dangkal, dan tidak tunduk sepenuhnya pada otoritas firman Allah. Itulah sebabnya, gereja masa kini sangat memerlukan pemimpin-pemimpin yang tidak hanya cerdas secara intelektual atau aktif secara administratif, tetapi yang memiliki kedalaman spiritual—yang sabar menunggu suara Tuhan, berani menaati meski tidak populer, dan sungguh-sungguh memahami bahwa keputusan pelayanan bukan soal cepat dan praktis, melainkan soal benar dan taat.
Pada akhirnya, kehidupan iman yang benar tidak dibangun di atas semangat sesaat, emosi rohani, atau penampilan luar yang mengesankan. Banyak orang mungkin terlihat aktif dalam pelayanan, fasih berbicara tentang panggilan dan pengurapan, bahkan sibuk dengan simbol-simbol kerohanian. Namun semua itu tidak akan berarti apa-apa jika tidak disertai ketaatan yang sejati dan konsisten. Dari kisah Saul, kita belajar bahwa Tuhan tidak mencari kesibukan rohani, tetapi ketaatan penuh. Ketika perintah Allah dilanggar—sekalipun disertai persembahan dan alasan yang kelihatan mulia—itu tetap dianggap sebagai pemberontakan. Ketidaktaatan, walau dibungkus liturgi atau pelayanan, tetap adalah ketidaktaatan. Dan Tuhan menolak Saul bukan karena ia tidak melayani, tetapi karena ia gagal tunduk kepada firman dengan sepenuh hati. Oleh sebab itu, panggilan bagi kita hari ini sangat jelas: jangan hanya membangun iman yang tampak luar, tetapi bangunlah kehidupan rohani yang berakar dalam ketaatan kepada Tuhan. Iman sejati bukan hanya percaya, tetapi tunduk. Bukan hanya mengaku, tetapi melakukan. Bukan hanya memulai dengan semangat, tetapi menyelesaikan dengan kesetiaan. Mari kembali pada firman Tuhan dan membangun hidup yang tidak goyah oleh pujian atau kompromi. Sebab hanya hidup yang ditopang oleh kebenaran, ketaatan, dan ketekunan akan diperkenan Allah dan tahan uji.
IV. REALITA DI GEREJA MASA KINI
Fenomena seperti ini tidak hanya menjadi kisah Alkitab, tetapi kenyataan tragis yang sedang berlangsung dalam kehidupan gereja masa kini. Kita menyaksikan bagaimana banyak orang lebih memilih berdiri di sisi dosa daripada berdiri teguh dalam kebenaran, hanya karena alasan pertemanan, kedekatan, atau rasa tidak enak hati. Kesetiaan pada prinsip firman sering dikorbankan demi menjaga relasi manusia, dan kebenaran disingkirkan demi menjaga harmoni yang palsu. Lebih parah lagi, banyak keputusan rohani yang diambil bukan berdasarkan keadilan firman, tetapi karena tekanan dari kelompok, loyalitas buta terhadap jaringan pelayanan, atau sikap kompromistis dari pemimpin-pemimpin struktural. Akibatnya, gereja tidak lagi menjadi tempat pembentukan karakter, melainkan arena diplomasi rohani yang penuh kepalsuan.
Salah satu contoh nyata adalah apa yang terjadi di suatu daerah, ketika sekelompok jemaat menolak penggembalaan yang sah secara struktural, namun justru dibela dan dilindungi oleh oknum-oknum pejabat gerejawi. Padahal secara terang-terangan mereka memutuskan hubungan penggembalaan tanpa prosedur yang benar, menyebarkan pengaruh yang tidak sehat, bahkan tetap menggunakan nama sinode tanpa izin, dan mendirikan kegiatan ibadah sendiri tanpa restu resmi. Ironisnya, mereka masih mendapat pembelaan dari pihak yang seharusnya berdiri di sisi kebenaran dan aturan gereja, seolah ketaatan tidak lagi menjadi syarat pelayanan, melainkan digantikan oleh kepentingan, relasi pribadi, kenyamanan struktural, dan agenda tersembunyi yang perlahan menyesatkan serta merusak kemurnian tubuh Kristus dari dalam.
Inilah salah satu wujud nyata dari iman tanpa ketaatan yang sedang menjadi wabah di tubuh Kristus. Orang-orang yang tampil rohani, berseru "Haleluya" dan "Puji Tuhan," tetapi hatinya tidak tunduk kepada otoritas yang ditetapkan Tuhan. Mereka merasa punya kuasa untuk menafsirkan pelayanan menurut kehendak sendiri, bukan berdasarkan firman dan tatanan yang telah ditetapkan. Ada beberapa hal penting yang perlu kita pahami dari fenomena ini:
4.1 Tampilan luar bukan jaminan kerohanian. Dalam banyak pelayanan masa kini, kita sering terkecoh oleh apa yang terlihat di permukaan. Liturgi yang rapi, pujian yang menggugah emosi, doa yang lantang, dan khotbah yang berapi-api bisa tampak mengesankan secara manusia. Namun semua itu tidak otomatis mencerminkan kedalaman rohani yang sejati. Tuhan sendiri pernah menegur bangsa Israel karena mereka rajin mempersembahkan korban, tetapi hati mereka jauh dari-Nya (Yesaya 29:13). Demikian juga Yesus menegur orang-orang Farisi yang fasih dalam hukum Taurat dan aktif dalam ibadah, tetapi hatinya penuh kemunafikan (Matius 23:27–28). Ini menunjukkan bahwa kerohanian sejati bukanlah soal tampilan luar, melainkan hati yang tunduk dan taat kepada Tuhan. Banyak orang hari ini menyamakan aktivitas pelayanan dengan kedewasaan rohani. Padahal, aktivitas bisa dikendalikan oleh ambisi, tetapi ketaatan hanya lahir dari pertobatan sejati. Seseorang bisa rajin menyanyi, bersaksi, bahkan berkhotbah, tetapi jika motivasi terdalamnya adalah ingin tampil, diakui, atau mendominasi, maka semua itu tidak berkenan di hadapan Tuhan. Tuhan tidak tertarik pada performa rohani yang memuaskan mata manusia. Ia mencari kehidupan yang ditandai oleh ketaatan, kerendahan hati, dan kesetiaan. Seperti tertulis dalam 1 Samuel 16:7, “Manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi Tuhan melihat hati.” Karena itu, ukuran utama dalam pelayanan bukanlah seberapa sering seseorang tampil, seberapa besar jemaatnya, atau seberapa keras ia menyanyi, tetapi apakah hatinya benar-benar tunduk pada otoritas firman dan hidup dalam kekudusan yang nyata. Sebagai ilustrasi, ada seorang pemimpin pujian di sebuah gereja yang terlihat sangat aktif dan disukai jemaat. Ia memiliki suara yang indah, gaya ibadah yang menggugah, dan kerap memimpin pujian dengan penuh semangat. Namun di balik semua itu, ia telah menjadi bagian dari kelompok yang secara terang-terangan memberontak terhadap penggembalaan yang sah. Bahkan dalam kehidupan pribadinya, ia menyimpan pergumulan serius dalam hal identitas seksual—terlibat dalam hubungan sesama jenis yang jelas bertentangan dengan prinsip firman Tuhan. Ironisnya, ia tetap diberi ruang untuk melayani, bukan karena telah menunjukkan pertobatan, melainkan karena pemimpin gereja takut kehilangannya dan khawatir ia akan pindah ke gereja lain. Demi menjaga keutuhan kelompok, standar kebenaran dikompromikan, dan ketaatan dianggap opsional. Akibatnya, pelayanan berubah menjadi pertunjukan kosong tanpa kekudusan, dan gereja kehilangan otoritas moral untuk menegur dan memulihkan. Situasi ini menegaskan bahwa kerohanian sejati tidak ditentukan oleh betapa menyentuhnya pelayanan seseorang, melainkan oleh kesediaannya untuk hidup dalam terang dan tunduk pada kebenaran. Bila gereja lebih memilih mempertahankan orang berbakat daripada menegakkan kekudusan, maka sesungguhnya gereja sedang membiarkan tubuh Kristus dirusak dari dalam—bukan oleh serangan musuh, tetapi oleh kompromi yang dibiarkan tumbuh dari dalam, menyusup melalui pengaruh, merusak fondasi rohani, dan melemahkan integritas pelayanan dari dalam sistem itu sendiri.
4.2 Otoritas rohani bukan pilihan, melainkan ketetapan ilahi. Dalam pandangan firman Tuhan, otoritas rohani bukanlah hasil kesepakatan manusia atau sekadar struktur organisasi, melainkan ketetapan yang berasal dari kehendak Allah sendiri. Rasul Paulus dengan tegas menulis dalam Roma 13:1-2, bahwa “tidak ada pemerintah, yang tidak berasal dari Allah,” dan bahwa mereka yang melawan otoritas “menentang ketetapan Allah.” Hal ini bukan hanya berlaku pada pemerintahan sipil, tetapi juga pada tatanan rohani dalam gereja. Menolak otoritas rohani yang sah berarti menolak Tuhan yang menetapkannya. Itu sebabnya, pemberontakan terhadap penggembalaan yang ditetapkan secara sah oleh sinode, sidang jemaat, atau otoritas pelayanan, bukanlah sekadar persoalan administrasi—tetapi persoalan hati yang menentang tatanan ilahi. Dalam Alkitab, kita melihat betapa seriusnya Tuhan menanggapi sikap memberontak terhadap otoritas rohani. Korah, Datan, dan Abiram adalah contoh jelas dalam Bilangan 16, ketika mereka menolak kepemimpinan Musa yang telah ditetapkan Tuhan. Mereka merasa punya kapasitas dan hak yang sama untuk memimpin, tetapi akhirnya Tuhan sendiri yang menjatuhkan hukuman langsung atas pemberontakan itu. Sayangnya, banyak orang di zaman ini menilai otoritas berdasarkan perasaan atau selera, bukan berdasarkan ketetapan dan pengurapan Tuhan. Jika mereka tidak cocok dengan gaya kepemimpinan atau koreksi yang diberikan, maka mereka merasa berhak keluar, memecah jemaat, atau bahkan membentuk kelompok sendiri tanpa restu struktur. Padahal, pelayanan yang lahir dari pemberontakan tidak akan pernah dibenarkan, betapapun rohaninya kelihatan dari luar. Otoritas tidak akan pernah sempurna karena diberikan kepada manusia, tetapi ketundukan kepada otoritas adalah bentuk ketaatan kepada Allah. Justru di sinilah diuji apakah seseorang benar-benar hidup dalam roh tunduk atau tidak. Ketundukan bukanlah tanda kelemahan, tetapi bukti kedewasaan rohani. Dunia mungkin menganggap tunduk sebagai bentuk inferioritas, tetapi dalam terang firman Tuhan, ketundukan adalah ekspresi dari hati yang mengenal otoritas ilahi dan menghormatinya. Orang yang dewasa secara rohani mengerti bahwa Tuhan bekerja melalui tatanan, dan salah satu bentuk tatanan itu adalah otoritas rohani yang ditetapkan di dalam tubuh Kristus. Maka, dalam kehidupan bergereja, kita tidak boleh memperlakukan otoritas sebagai opsi. Ia bukan sesuatu yang boleh kita pilih-pilih sesuai kenyamanan pribadi. Ketika kita hanya tunduk saat setuju, tetapi memberontak saat dikoreksi atau tidak mendapat tempat, itu bukanlah ketundukan sejati—itu manipulatif, dan pada dasarnya merupakan bentuk pemberontakan yang dibungkus dengan wajah rohani. Tuhan melihat hati, bukan hanya kata-kata. Ketundukan sejati tidak diukur dari seberapa baik seseorang memuji pemimpinnya di depan umum, tetapi dari kesetiaan dan integritas saat pemimpin itu memberi teguran, koreksi, atau keputusan yang tidak sesuai keinginannya. Orang yang tunduk akan tetap setia, meskipun ia tidak dipilih, tidak ditonjolkan, atau bahkan dikoreksi. Ia tahu bahwa tujuan dari otoritas bukan untuk menyenangkan dirinya, tetapi untuk menuntunnya semakin serupa dengan Kristus. Sebaliknya, mereka yang tidak pernah bisa tunduk, sering kali akan menciptakan struktur sendiri, komunitas sendiri, bahkan teologi sendiri yang sesuai dengan kehendaknya. Mereka bukan mencari kebenaran, melainkan kenyamanan, hingga akhirnya menyesatkan banyak orang lewat semangat pemberontakan tersembunyi dan ambisi pribadi yang disamarkan. Gereja yang sehat tak menghindari otoritas, tetapi membentuk jemaat yang mau tunduk. Tanpa ketundukan tak ada pembentukan, dan tanpa pembentukan, pelayanan hanya jadi panggung ego—bukan salib Kristus.
4.3 Pelayanan yang lahir dari pemberontakan tidak akan menghasilkan buah kekal. Alkitab sangat jelas menegaskan bahwa “setiap pohon yang baik menghasilkan buah yang baik, tetapi pohon yang tidak baik menghasilkan buah yang tidak baik” (Matius 7:17). Dalam ayat berikutnya bahkan dikatakan bahwa pohon yang tidak menghasilkan buah yang baik akan ditebang dan dibuang ke dalam api. Ini adalah peringatan keras bagi semua bentuk pelayanan yang tampak aktif secara luar, tetapi dibangun di atas dasar pemberontakan, ambisi pribadi, dan ketidaktaatan kepada otoritas rohani yang sah. Pelayanan yang lahir dari hati yang memberontak—baik terhadap Tuhan, terhadap firman-Nya, maupun terhadap tatanan gereja—tidak akan menghasilkan buah rohani yang sehat. Sebab akar dari pemberontakan adalah roh Iblis, bukan Roh Kudus. Iblis pun pernah "melayani" di hadapan Allah sebagai malaikat terang, tetapi karena ambisinya untuk menggulingkan otoritas Allah, ia diusir dan menjadi musuh kebenaran. Pelayanan yang muncul dari semangat yang sama—penuh ambisi tetapi tidak tunduk—akan mengikuti jejak yang sama: menghasilkan kerusakan, bukan kehidupan. Banyak orang mengira bahwa keberhasilan pelayanan dapat dilihat dari jumlah pengikut, keaktifan ibadah, atau popularitas di media sosial. Namun Alkitab tidak menilai buah dari jumlah atau impresi lahiriah, melainkan dari sumber dan kualitasnya. Buah yang kekal hanya dihasilkan dari akar yang sehat—yaitu hidup yang tertanam dalam pertobatan, ketaatan, dan kebenaran. Pemberontakan, sebaliknya, menghasilkan buah yang pahit: perpecahan, manipulasi, pengaruh yang menyesatkan, dan pencemaran karakter Kristus di tengah jemaat. Bahkan jika pelayanan itu berkembang secara jumlah, dampaknya bukan membangun, melainkan menular sebagai racun rohani dalam tubuh Kristus. Maka, pelayanan yang benar tidak hanya soal aktivitas, tapi asal mula dan motivasinya. Apakah pelayanan itu lahir dari ketaatan kepada panggilan Tuhan, atau dari keinginan untuk membuktikan diri? Apakah itu dibangun melalui proses penundukan dan pembentukan, atau dari semangat untuk membalas luka atau mencari pengakuan?. Sebab hanya pelayanan yang lahir dari akar kebenaran yang akan menghasilkan buah yang kekal—yang tidak habis dimakan waktu, dan tidak hancur oleh ujian. Pelayanan yang dibangun di atas ambisi dan pemberontakan mungkin tampak megah, tetapi pada akhirnya akan runtuh karena tidak ditopang oleh kehendak Tuhan. Sebab Tuhan tidak pernah memberkati sesuatu yang dimulai dengan ketidaktaatan. Apa yang tampak berhasil di mata manusia, belum tentu bernilai di hadapan Allah. Dan cepat atau lambat, pelayanan seperti itu akan terbongkar oleh ujian, dan nyata bahwa fondasinya rapuh. Sebab apa yang dibangun di atas pemberontakan tidak memiliki kekuatan untuk bertahan. Mereka yang dulu bersatu karena ambisi yang sama, pada akhirnya akan saling menggigit, saling menjatuhkan, dan tercerai-berai oleh konflik internal yang tak terhindarkan. Ketika kehendak sendiri menjadi dasar, maka keutuhan tidak akan langgeng, dan akhirnya mereka akan lenyap tanpa arah dan tanpa buah. Artinya, sebuah pelayanan atau komunitas yang dibangun bukan atas dasar ketaatan kepada firman Tuhan, melainkan atas keinginan pribadi—baik itu ambisi, kekecewaan, atau semangat memberontak—tidak akan mampu bertahan. Awalnya mungkin terlihat kompak, tetapi karena tidak disatukan oleh kasih dan kebenaran, maka ketika kepentingan mulai berbenturan, yang terjadi adalah perpecahan, saling menjatuhkan, saling mencurigai, kehilangan arah, dan kehancuran relasi antar sesama pelayan.
4.4 Menafsirkan firman dengan kehendak sendiri adalah bentuk penyesatan. Salah satu bentuk penyesatan paling berbahaya dalam pelayanan masa kini adalah ketika firman Tuhan ditafsirkan bukan berdasarkan pimpinan Roh Kudus dan prinsip hermeneutik yang sehat, tetapi sesuai dengan ambisi, kepentingan, atau pembenaran diri. Dalam kondisi seperti ini, Alkitab bukan lagi menjadi cermin untuk mengoreksi hati, melainkan dipelintir menjadi senjata untuk membenarkan keputusan yang sudah dibuat sebelumnya. Menafsirkan firman berdasarkan kehendak sendiri berarti menjadikan diri sebagai otoritas tertinggi, bukan Allah. Inilah akar dari banyak gerakan pemberontakan rohani yang muncul—di mana seseorang merasa punya “visi dari Tuhan”, tetapi tidak ada pertanggungjawaban struktural, tidak ada pengujian dari tubuh Kristus, dan tidak ada ketundukan pada otoritas yang sah. Semua dijustifikasi dengan potongan ayat yang diambil lepas konteks, demi mendukung agenda pribadi. Yesus sendiri menghadapi hal ini saat dicobai Iblis di padang gurun. Iblis mengutip firman (Mazmur 91), namun dengan maksud yang salah. Ia menafsirkan secara manipulatif untuk menjerat Yesus. Tapi Yesus, yang hidup dalam ketaatan penuh kepada Bapa, langsung menegur penyimpangan itu dengan mengatakan: "Jangan mencobai Tuhan, Allahmu!" (Matius 4:7). Dari sini kita belajar bahwa penggunaan firman yang salah—meski terdengar alkitabiah—dapat menjadi alat penyesatan yang halus tapi mematikan. Firman Tuhan tidak bisa dijadikan pembenaran untuk melawan otoritas, menolak koreksi, atau membangun pelayanan liar tanpa pertanggungjawaban. Justru, firman harus dibaca dan dimengerti dalam kerangka ketundukan, ketaatan, dan komunitas tubuh Kristus. Gereja mula-mula pun menafsirkan firman bersama-sama, bukan sendiri-sendiri (Kisah Para Rasul 15), karena mereka tahu bahwa kebenaran tidak pernah berdiri sendiri—kebenaran selalu berada dalam terang Roh Kudus dan kesatuan tubuh. Ketika seseorang memakai firman untuk membela pemberontakan, membenarkan dosa, atau menyesatkan jemaat, ia bukan sedang memberitakan Injil—ia sedang memperalat Injil. Ia merendahkan kekudusan firman dengan menjadikannya alat pembenaran diri, bukan alat pembentukan diri. Firman Tuhan yang seharusnya menuntun kepada pertobatan dan ketundukan, justru dipelintir untuk mendukung sikap melawan otoritas, menciptakan ajaran yang keliru, dan merusak keutuhan tubuh Kristus. Dan itu bukan pelayanan, melainkan penghinaan terhadap otoritas Tuhan itu sendiri. Sebab di balik semua simbol rohani yang digunakan, tersembunyi niat untuk mengangkat kehendak manusia di atas kehendak Allah. Pelayanan seperti itu hanya akan menghasilkan kerusakan rohani: menyesatkan yang lemah, mencemarkan kesaksian gereja, dan membangun kerajaan pribadi atas nama Kerajaan Allah. Orang yang seperti ini mungkin terlihat berhasil untuk sementara waktu—mendapat pengikut, simpati, dan pujian—tetapi pelayanan yang dibangun di atas penyimpangan firman pada akhirnya akan roboh oleh terang kebenaran. Sebab Tuhan tidak akan membiarkan firman-Nya diselewengkan tanpa konsekuensi. Firman Tuhan bukan alat politik rohani, bukan kendaraan ambisi, dan bukan tameng untuk kebebalan. Ia adalah pedang Roh yang tajam untuk menelanjangi motivasi hati, menegur, dan menuntun umat pada kekudusan sejati serta pertobatan yang murni. Maka barangsiapa memperalatnya untuk kepentingan diri, sedang mengundang penghakiman Tuhan atas hidup, pelayanannya, dan segala yang dibangunnya, Maka barangsiapa memperalatnya untuk kepentingan diri, sedang mengundang penghakiman Tuhan atas hidup, pelayanannya, dan segala yang dibangunnya—termasuk pengaruh, reputasi, dan relasi rohaninya. Saya pernah bertemu dengan seorang pemimpin rohani yang secara terang-terangan mengakui bahwa ia telah memberontak terhadap gembala yang dahulu membimbing dan menaunginya. Ia bahkan menyakiti hati gembalanya dengan sikap dan tindakannya, tetapi tetap merasa benar. Dengan bangga, ia berkata bahwa tindakannya alkitabiah—lalu mengutip kisah bangsa Israel keluar dari Mesir sebagai pembenaran, seolah-olah dirinya sedang "keluar dari Mesir" menuju tanah perjanjian. Padahal, konteks keluarnya Israel dari Mesir adalah tindakan keselamatan ilahi, bukan pembenaran untuk melawan otoritas yang Tuhan tetapkan. Perilaku seperti ini adalah contoh nyata dari penafsiran firman menurut kehendak sendiri—bukan berdasarkan Roh Kudus dan prinsip hermeneutik yang benar, melainkan berdasarkan emosi, luka, dan ambisi pribadi. Inilah bentuk penyesatan yang halus namun berbahaya: memakai Alkitab untuk membenarkan pemberontakan. Dan bila tidak disadari serta ditanggapi dengan pertobatan, maka firman yang seharusnya menjadi terang justru dijadikan alat untuk menutupi kegelapan hati. Ini bukan lagi sekadar kesalahan penafsiran, melainkan bentuk penyalahgunaan otoritas firman untuk mendukung ambisi pribadi yang tersembunyi. Orang seperti ini tidak sedang mencari kebenaran, melainkan konfirmasi atas luka, dendam, atau keinginannya sendiri. Ia menjadikan firman sebagai tameng rohani agar tetap terlihat "beriman," padahal sedang menolak koreksi dan menabrak tatanan ilahi. Yang lebih menyedihkan, penyesatan seperti ini sering kali disambut oleh orang-orang yang tidak berakar dalam firman, sehingga mereka ikut terbawa dan membela kesalahan dengan semangat fanatik, bukan dengan dasar kebenaran—bahkan rela memutus relasi sehat, menyerang pemimpin yang Benar, dan menghalalkan cara demi membela kesesatan yang mereka anggap rohani. Mereka merasa sedang membela Tuhan, padahal sedang memperjuangkan pemberontakan yang dibungkus dalam bahasa rohani—mengutip ayat, berseru haleluya, aktif melayani, tetapi hatinya menolak kebenaran, menentang otoritas, dan membangun kekuatan sendiri di luar kehendak Allah.
4.5 Ketaatan Ketaatan adalah inti dari relasi dengan Tuhan—bukan sekadar pelengkap ibadah, tetapi fondasi dari segala bentuk pelayanan yang berkenan di hadapan-Nya. Dalam 1 Samuel 15:22, nabi Samuel menegur Saul dengan kata-kata yang tajam namun sangat penting: “Apakah TUHAN itu berkenan kepada korban bakaran dan korban sembelihan sama seperti kepada mendengarkan suara TUHAN? Sesungguhnya, mendengarkan lebih baik dari pada korban sembelihan, memperhatikan lebih baik dari pada lemak domba-domba jantan.” Ayat ini menjadi peringatan bahwa Tuhan tidak terkesan dengan besarnya pengorbanan, megahnya ibadah, atau aktifnya pelayanan jika semua itu tidak lahir dari ketaatan. Saul mempersembahkan korban, tetapi hatinya tidak tunduk. Ia melaksanakan sebagian perintah Tuhan, namun mengabaikan bagian yang tidak sesuai kehendaknya. Ini menunjukkan bahwa ketaatan sebagian pun tetap dihitung sebagai ketidaktaatan. Banyak orang hari ini rajin melayani, memberi persembahan, atau aktif dalam kegiatan rohani, tetapi enggan tunduk kepada otoritas firman dan disiplin ilahi. Mereka mengganti ketaatan dengan aktivitas, mengganti ketundukan dengan pencitraan rohani. Padahal Tuhan tidak mencari pelayanan yang sibuk, melainkan hati yang sungguh-sungguh mau dibentuk, ditegur, dan diarahkan oleh-Nya. Pelayanan yang sejati bukan soal tampil, tetapi soal tunduk. Tuhan lebih senang kepada seorang anak yang setia dalam hal kecil, tetapi taat, daripada seribu korban besar yang lahir dari hati yang memberontak. Dalam perspektif surgawi, ketaatan adalah ibadah tertinggi—lebih besar daripada suara nyanyian, persembahan uang, atau kedudukan di mimbar. Oleh sebab itu, siapa pun yang ingin melayani Tuhan dengan sungguh, harus memulai dari tempat ketaatan—dengan hati yang tunduk, setia, dan siap dikoreksi setiap saat oleh firman-Nya.
Jika hal-hal seperti ini terus dibiarkan, maka gereja tidak lagi menjadi tiang penopang dan dasar kebenaran (1 Timotius 3:15), melainkan berubah menjadi sarang kekacauan rohani yang terselubung—dibungkus dengan liturgi, istilah kasih, dan aktivitas keagamaan yang hanya menenangkan hati manusia, tapi tidak menyentuh kehendak Tuhan. Pemberontakan dikemas dalam bahasa spiritual, ketidaktaatan dianggap sebagai ekspresi kemerdekaan, dan pelayanan berubah menjadi panggung pencitraan rohani. Lebih parah lagi, jika tidak ada yang mau berdiri untuk menegur dan memperingatkan, maka tubuh Kristus akan terus melemah dari dalam. Penyakit kompromi tidak datang secara terang-terangan, tetapi menyusup perlahan melalui toleransi terhadap dosa, loyalitas terhadap pemberontakan, dan pembiaran terhadap perilaku yang melanggar firman. Dalam diamnya para penjaga kebenaran, kebohongan akan merasa nyaman untuk tinggal.
Inilah saatnya gereja kembali kepada kekuatan sejatinya—yaitu kebenaran yang tidak bisa dikompromikan, dan ketaatan yang tidak bisa ditawar-tawar. Gereja yang sehat bukanlah gereja yang ramai, tetapi yang berani menegakkan disiplin ilahi demi menjaga kemurnian tubuh Kristus. Sebab hanya gereja yang berakar dalam kebenaran dan berdiri di atas ketaatanlah yang akan tetap tegak ketika badai ujian melanda.
Oleh karena itu, Bab berikutnya akan menuntun kita untuk menggali lebih dalam bagaimana seharusnya membangun kehidupan iman dan pelayanan yang tidak hanya berpenampilan rohani, tetapi benar-benar diperkenan oleh AllahKita akan belajar prinsip-prinsip membangun fondasi rohani yang kuat, yang tidak digoyahkan oleh godaan dunia, tekanan komunitas, atau pengaruh sistem yang korup, tetapi berdiri teguh dalam kekudusan, ketundukan, dan kesetiaan kepada kebenaran sejati—dengan karakter yang murni, hati yang tulus, komitmen yang konsisten, serta keberanian untuk taat meski harus berjalan sendirian.
V. PANGGILAN UNTUK GEREJA DAN ORANG PERCAYA
Allah tidak pernah memanggil umat-Nya untuk mengikuti-Nya setengah hati. Ketaatan yang sejati bukanlah hasil dari tekanan luar, melainkan respons dari hati yang percaya penuh dan mengasihi Allah tanpa syarat. Itulah sebabnya, sepanjang Alkitab, Tuhan menuntut bukan sekadar pengakuan iman di bibir, tetapi kehidupan yang membuktikan iman itu melalui ketaatan yang nyata dan kesetiaan yang konsisten. Iman yang sejati selalu menghasilkan ketaatan. Jika kita benar-benar percaya kepada Tuhan, maka kita akan tunduk kepada firman-Nya, bahkan ketika perintah-Nya tidak sejalan dengan logika, kenyamanan, atau keinginan pribadi. Kita akan tetap setia meskipun harus berjalan melawan arus, ditinggalkan orang, atau menerima resiko yang tidak mudah.
Tantangan zaman ini adalah bahwa banyak orang ingin percaya tanpa taat, ingin diselamatkan tanpa meninggalkan dosa, dan ingin melayani tanpa mau dikoreksi. Tetapi panggilan Tuhan bagi gereja dan orang percaya tidak berubah: “Hendaklah kamu kudus, sebab Aku ini kudus” (1 Petrus 1:16). Tuhan menghendaki kehidupan yang murni, sikap hati yang tunduk, dan pelayanan yang lahir dari ketaatan. Gereja, sebagai tubuh Kristus, tidak boleh diam terhadap kompromi dan pembangkangan rohani. Gereja dipanggil untuk menegakkan kebenaran, memelihara kekudusan, dan membentuk umat yang setia, bukan sekadar ramai dan aktif. Demikian pula, setiap orang percaya dipanggil bukan untuk sekadar menjadi pengikut, tetapi untuk menjadi murid—yang belajar, dibentuk, dan hidup sesuai standar Kerajaan Allah. Bagian ini menuntun kita memahami arti menjawab panggilan Tuhan di zaman penuh kompromi. Bukan hanya menjadi Kristen secara identitas, tetapi umat yang berkenan di hadapan-Nya—berakar dalam kebenaran dan ketaatan. Karena itu, ada panggilan yang harus dijawab oleh gereja dan orang percaya, yaitu:
5.1 Panggilan untuk Menjadi Kudus. Tuhan tidak memanggil kita untuk sekadar aktif secara lahiriah, tetapi untuk hidup dalam kekudusan yang sejati. "Hendaklah kamu kudus, sebab Aku kudus" (1 Petrus 1:16). Kekudusan bukan pilihan, tetapi standar Tuhan. Di tengah dunia yang membenarkan dosa, umat Tuhan dipanggil untuk hidup berbeda—memisahkan diri dari kenajisan dan membangun hidup yang bersih di hadapan-Nya . Tuhan tidak memanggil kita untuk sekadar aktif secara lahiriah, tetapi untuk hidup dalam kekudusan yang sejati. "Hendaklah kamu kudus, sebab Aku kudus" (1 Petrus 1:16). Kekudusan bukan pilihan, tetapi standar Tuhan. Di tengah dunia yang membenarkan dosa, umat Tuhan dipanggil untuk hidup berbeda—memisahkan diri dari kenajisan dan membangun hidup yang bersih di hadapan-Nya. Dunia saat ini semakin mengaburkan batas antara yang kudus dan yang najis, antara kebenaran dan kompromi. Apa yang dahulu disebut dosa, kini dianggap pilihan. Apa yang dahulu diperjuangkan sebagai kekudusan, kini dicemooh sebagai fanatisme. Namun panggilan Tuhan tetap sama: “Keluarlah kamu dari antara mereka dan pisahkanlah dirimu,” firman Tuhan, “dan jangan menjamah apa yang najis, maka Aku akan menerima kamu.” (2 Korintus 6:17). Kekudusan bukan hanya menjauhi dosa secara moral, tetapi hidup dalam ketetapan ilahi dengan kesadaran penuh bahwa kita adalah bait Allah yang kudus. Hidup yang berbeda bukan soal keanehan gaya hidup, melainkan keberanian untuk berdiri dalam prinsip firman di tengah arus dunia. Menolak budaya kompromi, menjaga kesucian hati dan mulut, serta hidup dengan motivasi yang murni, inilah wujud nyata umat yang menjawab panggilan kekudusan. Menjadi umat Allah berarti siap menanggung risiko ditolak dunia demi diperkenan Surga Sebab hanya mereka yang hidup terpisah bagi Allah yang akan dipakai-Nya secara murni dan berkenan di hadapan-Nya, membawa dampak kekal dan kesaksian yang benar.
5.2 Panggilan untuk Taat kepada Firman. Iman yang sejati selalu menghasilkan ketaatan. Iman yang hanya berhenti pada pengetahuan tanpa tindakan bukanlah iman yang hidup, melainkan iman yang mati (Yakobus 2:17). Dalam Alkitab, orang yang disebut benar bukanlah hanya mereka yang mendengar firman, tetapi yang melakukan firman dengan sepenuh hati. Tuhan tidak memanggil kita hanya untuk memahami firman, tetapi untuk mentaatinya—meskipun tidak populer, tidak nyaman, dan bertentangan dengan keinginan daging. Ketaatan bukan soal kondisi yang ideal, tetapi soal hati yang tunduk kepada otoritas Tuhan, bahkan dalam hal-hal kecil yang tampak tidak penting. Yakobus menegaskan, “Jadilah pelaku firman dan bukan hanya pendengar saja, sebab jika tidak, kamu menipu diri sendiri.” (Yakobus 1:22). Ini artinya, kita bisa sangat aktif secara rohani—mengajar, menyanyi, bersaksi, bahkan berkhotbah—namun jika kita tidak hidup sesuai dengan apa yang kita katakan, maka seluruh aktivitas itu hanya menjadi ritual kosong yang tidak berkenan di hadapan Tuhan. Tuhan tidak mencari performa rohani, tetapi ketundukan hati. Bukan suara merdu atau kata-kata indah yang menyentuh hati Tuhan, tetapi kehidupan yang dipersembahkan dalam ketaatan sehari-hari, di saat tidak ada yang melihat. Pelayanan yang lahir dari ketaatan akan selalu membawa hadirat-Nya, sementara pelayanan yang lahir dari ambisi hanya akan menghasilkan kekeringan rohani dan pertunjukan kosong. Di zaman yang memuliakan kenyamanan dan relativisme, ketaatan menjadi bukti nyata kasih kepada Tuhan. Yesus berkata, “Jika kamu mengasihi Aku, kamu akan menuruti segala perintah-Ku” (Yoh. 14:15). Ketaatan bukan pelengkap iman, tetapi intinya. Tanpa ketaatan, tak ada kesetiaan; tanpa kesetiaan, tak ada perkenanan. Dan tanpa perkenanan Tuhan, segala pelayanan hanyalah kosong di hadapan-Nya—tidak berdampak, tidak berbuah, dan hanya menjadi rutinitas keagamaan yang kehilangan kuasa dan makna sejatinya..
5.3 Panggilan untuk Menjaga Kemurnian Gereja. Gereja bukanlah organisasi biasa, melainkan tubuh Kristus yang kudus dan milik Tuhan sepenuhnya. Ia didirikan bukan atas dasar keinginan manusia, tetapi atas dasar darah Kristus yang tercurah di salib. Oleh karena itu, panggilan utama gereja bukan untuk menjadi populer di mata dunia, melainkan untuk menjaga kekudusan dan kemurnian yang Allah kehendaki.Menjaga kemurnian gereja berarti memelihara kebenaran doktrin, menegakkan standar etika yang sesuai firman Tuhan, dan menghormati otoritas rohani yang ditetapkan secara sah. Ini bukan perkara opsional, melainkan identitas gereja yang sejati. Gereja yang menoleransi dosa demi menjaga “kenyamanan” atau “persatuan semu” sedang menggali kuburnya sendiri. Sebab, begitu gereja mengabaikan kebenaran, ia kehilangan terang, dan ketika terang padam, dunia tidak lagi melihat Kristus dalam dirinya. Panggilan untuk menjaga kemurnian gereja juga berarti berani menegur yang menyimpang, sekalipun itu berarti kehilangan popularitas. Gereja harus menolak kompromi terhadap dosa—baik dosa moral, struktural, maupun spiritual. Gereja tidak boleh memberi tempat bagi pemberontakan yang dibungkus liturgi, pelayanan yang dibangun atas ambisi, atau persekutuan yang lahir dari konflik dan manipulasi. Liturgi dan aktivitas rohani tidak bisa menjadi pengganti ketaatan. Tuhan tidak mencari gereja yang sibuk, tetapi gereja yang setia. Jika gereja membiarkan “tampilan luar rohani” menggantikan isi yang kudus, maka kita tidak sedang membangun Kerajaan Allah, melainkan menyiapkan tempat bagi kebingungan dan kehancuran rohani—di mana dosa ditoleransi, pemberontakan dibungkus liturgi, dan kebenaran dikorbankan demi kenyamanan manusia, bukan ketaatan kepada Tuhan; pengurapan dipalsukan, suara nubuat dimanipulasi, dan pelayanan dijadikan alat ambisi pribadi, dipenuhi ego, kepalsuan, kebisingan, dan manipulasi rohani. Gereja yang sehat bukanlah gereja yang besar jumlahnya, melainkan gereja yang berani membersihkan dirinya dari ajaran sesat, roh pemberontakan, dan budaya kompromi. Seperti Yesus menyucikan Bait Allah dari pedagang dan penukar uang, demikian juga gereja masa kini harus berani menyucikan dirinya dari kepentingan pribadi, relasi yang merusak, dan struktur yang tidak tunduk pada kebenaran. Sebab seperti tubuh kita membutuhkan detoksifikasi untuk tetap sehat, gereja pun perlu proses penyucian secara terus-menerus—bukan untuk menyenangkan manusia, tetapi untuk menyenangkan Tuhan yang empunya gereja. Gereja bukanlah institusi yang bisa dibeli dengan uang atau dikendalikan oleh mereka yang kaya secara materi. Fakta bahwa seseorang memiliki dana besar dan bahkan membangun gedung ibadah, tidak otomatis menjadikannya layak dijadikan cabang atau pemimpin rohani. Jika kehidupan orang tersebut penuh dengan kemunafikan, tidak tunduk pada otoritas, dan membawa pemikiran yang jahat serta merusak kesatuan tubuh Kristus, maka gereja harus berani berkata: Tidak. Sebab yang menentukan kemurnian gereja bukanlah sumbangan, kekayaan, atau fasilitas—melainkan kehidupan yang taat, kudus, dan selaras dengan kebenaran. Bahkan jika orang tersebut secara terang-terangan dikenal sebagai kepala pemberontakan dari gereja sebelumnya, memiliki jejak kelam dalam merusak persekutuan, dan meninggalkan pelayanan dengan cara yang tidak terhormat, maka gereja harus bersikap tegas dan menyaring dengan bijaksana. Gereja tidak boleh sembarangan mengangkat seseorang menjadi pemimpin rohani hanya karena ada uang, bangunan, atau dukungan kelompok. Saya sendiri pernah mengalaminya di cabang kami—seseorang yang membawa semangat pelayanan, namun ternyata membawa roh pembangkangan yang perlahan merusak tubuh Kristus dari dalam.
5.4 Panggilan untuk Menghormati Otoritas yang Sah. Dalam tatanan Allah, otoritas rohani adalah ketetapan ilahi, bukan hasil kompromi manusia atau perebutan jabatan. Setiap struktur kepemimpinan yang ditetapkan dengan benar—melalui pengurapan, pengakuan gerejawi, dan proses rohani yang sah—adalah bagian dari desain Allah untuk menjaga ketertiban dalam tubuh Kristus. Menolak gembala yang ditetapkan Tuhan bukan sekadar tidak setuju secara pribadi, tetapi berarti melawan tatanan Allah sendiri (Roma 13:1–2). Dalam konteks ini, gereja dan jemaat tidak boleh hanya mencari figur yang populer, berkarisma, atau menyenangkan secara manusiawi. Pemimpin yang benar bukan ditandai oleh jumlah pengikut atau kelihatan berhasil secara luar, tetapi oleh kesetiaan kepada firman, keteladanan hidup, dan pengakuan otoritas yang sah dari tubuh Kristus. Mengikuti seseorang yang melawan struktur, keluar tanpa restu, dan memulai pelayanan berdasarkan pemberontakan, bukanlah tanda ketaatan kepada Tuhan, melainkan bentuk ketertipuan rohani. Ketundukan bukan kelemahan, tetapi justru kekuatan yang melindungi gereja dari kekacauan dan kehancuran. Banyak orang jatuh bukan karena tidak punya visi, tapi karena tidak mau tunduk. Iblis sendiri jatuh bukan karena kurang kemampuan, tetapi karena memberontak terhadap otoritas Allah. Dan hari ini, roh pemberontakan itu sering kali muncul di gereja, dibungkus dengan alasan-alasan rohani, seperti “dipimpin Roh,” “dapat penglihatan,” atau “tidak cocok dengan sistem.” Namun alasan spiritual tidak pernah bisa membenarkan tindakan yang merusak kesatuan tubuh Kristus. Gereja yang sehat harus mendidik jemaat untuk membedakan antara pemimpin yang diurapi dan pemimpin yang ambisius. Gereja yang dewasa adalah gereja yang tidak mendewakan kepribadian, tetapi menghormati panggilan dan struktur rohani yang benar. Tuhan tidak pernah memberkati pelayanan yang lahir dari pemberontakan, betapapun "rohani" penampilannya. Sebaliknya, Dia menyertai dan memberkati mereka yang taat, meskipun jalan itu sempit dan tidak populer. Menghormati otoritas bukan berarti membela dosa pemimpin, tapi berarti menjaga hati tetap tunduk dan menghargai urapan yang sah. Jika seorang pemimpin menyimpang, ada cara ilahi untuk mengoreksi. Tapi pemberontakan diam-diam, hasutan, dan membentuk kelompok sendiri adalah jalan kehancuran. Banyak perpecahan gereja hari ini bukan dimulai oleh ajaran sesat, tapi oleh orang-orang yang tidak mau tunduk, lalu mencari pembenaran rohani untuk ambisinya. Gereja yang tidak mengajarkan ketundukan akan membentuk jemaat yang liar, dan jemaat yang liar akan merusak seluruh ladang pelayanan. Karena itu, menghormati otoritas yang sah bukan hanya demi struktur, tetapi demi kemurnian, kestabilan, dan kehadiran Allah di tengah gereja. Tanpa otoritas yang dihormati, Di sebuah daerah, ada sekelompok orang yang ingin membentuk gereja sendiri—tampil rapi dalam ibadah, semangat dalam kegiatan, dan memakai istilah rohani. Namun nyata, baik pemuda maupun orang tua dalam kelompok itu telah lama dikenal sebagai pembangkang terhadap gereja sebelumnya. Mereka meninggalkan otoritas bukan karena panggilan, tetapi karena menolak ditegur. Rekam jejak mereka bukan kesetiaan, melainkan konflik, hasutan, dan pemberontakan berulang. Gereja harus bijak. Jangan cepat mengesahkan kelompok menjadi gereja hanya karena ada gedung dan aktivitas. Tanpa pertobatan dan pemulihan nyata, yang dibangun bukanlah gereja Kristus, melainkan panggung di atas pemberontakan. Jika dibiarkan, bukan hanya satu kelompok yang rusak, tetapi benih perpecahan akan menyebar di tubuh Kristus. Kekudusan tidak boleh dikorbankan demi semangat organisasi. Lebih baik lambat namun murni, daripada cepat tetapi menanamkan dasar yang salah.
5.5 Panggilan untuk Berbuah dan Bertahan Sampai Akhir. Tuhan tidak memanggil kita hanya untuk menyala sesaat, melainkan untuk tetap setia sampai akhir (Matius 24:13). Dalam perjalanan iman, yang terpenting bukan seberapa cepat kita mulai, melainkan apakah kita tetap bertahan dalam kebenaran hingga garis akhir. Banyak orang memulai dengan semangat, penuh gairah rohani, bahkan disertai tanda-tanda luar yang meyakinkan. Namun seiring waktu, ketika kenyataan pelayanan menuntut ketekunan, ketika ujian dan tekanan datang, banyak yang layu di tengah jalan. Iman sejati tidak pernah statis. Ia bukan sekadar pernyataan awal, tetapi proses berkelanjutan yang harus dibuktikan dengan kesetiaan, ketaatan, dan pertobatan hari demi hari. Firman Tuhan menegaskan bahwa hanya ranting yang tinggal dalam Pokok Anggur dan berbuah yang akan tetap dipelihara (Yohanes 15:1–6). Sebaliknya, ranting yang tidak berbuah—meskipun tampak menyatu dalam struktur—akan dipotong dan dibuang. Berbuah dalam iman bukan hanya soal pelayanan, tetapi soal karakter: kasih, kesabaran, kesetiaan, kekudusan, dan kerendahan hati. Banyak orang aktif melayani tetapi tidak menghasilkan buah rohani, karena pelayanan mereka tidak lahir dari ketaatan, melainkan ambisi atau kepentingan pribadi. Tuhan tidak tertarik pada hasil yang memukau mata manusia, tetapi pada kehidupan yang berubah dan berakar dalam kehendak-Nya. Bertahan sampai akhir berarti tetap berjalan bersama Tuhan meski tidak dihargai, tetap setia meski dikhianati, dan tetap taat meski jalan terasa sepi. Ini adalah panggilan untuk tidak goyah ketika tidak ada tepuk tangan, dan tidak menyerah ketika jalan terasa berat. Sebab pada akhirnya, kesetiaanlah yang menjadi ukuran Tuhan, bukan kesuksesan menurut dunia. Banyak orang rohani di Alkitab tidak dikenal karena spektakuler, tetapi karena mereka bertahan dalam ketaatan hingga akhir hidup—seperti Henokh, yang berjalan dengan Allah; seperti Nuh, yang setia membangun meski ditertawakan; seperti Paulus, yang tetap mengabarkan Injil dalam penderitaan. Inilah teladan iman yang sejati. Sebab pada akhirnya, Tuhan tidak mencari orang yang paling cepat memulai, tetapi mereka yang tetap setia sampai garis akhir. Itulah hidup yang diperkenan, dan itulah buah yang kekal. Ironisnya, ada orang yang bahkan tidak mampu bertahan dalam gereja yang kelihatan—gagal tunduk kepada pemimpin, mudah kecewa, dan memilih menjadi pembangkang. Jika dalam hal yang terlihat saja tidak bisa setia, bagaimana mungkin seseorang dapat bertahan dalam hubungan dengan Tuhan yang tidak kelihatan? Kesetiaan kepada Tuhan selalu tercermin dari kesetiaan dalam kehidupan bergereja yang nyata—dalam ketekunan, ketundukan, dan ketaatan setiap hari.
Pada akhirnya, kemurnian gereja tidak ditentukan oleh besarnya aktivitas atau indahnya tampilan luar, melainkan oleh ketaatan kepada kebenaran, penghormatan terhadap otoritas ilahi, dan keberanian untuk bertahan dalam iman yang murni. Tuhan tidak mencari gereja yang sibuk secara rohani, tetapi yang setia menjaga kekudusan dan kebenaran-Nya. Ia mencari umat yang bukan hanya tampak rohani, tetapi sungguh-sungguh hidup dalam pertobatan dan ketundukan. Dari pembahasan ini, kita belajar bahwa: gereja dipanggil menjaga kekudusan dan tidak menutupi pemberontakan dengan liturgi; pelayanan dari ambisi dan pemberontakan tidak berkenan di hadapan Allah; kemurnian gereja tergantung pada penghormatan terhadap otoritas yang sah; kesetiaan kepada Tuhan tercermin dalam ketundukan nyata; dan iman sejati adalah iman yang berbuah dan bertahan sampai akhir. Karena itu, mari kita merenung dan bertobat. Jika selama ini kita hidup dalam kemunafikan, pemberontakan, atau ambisi rohani yang salah, Tuhan masih memberi kesempatan untuk kembali. Bangunlah hidup dan pelayanan di atas dasar kekudusan, ketaatan, dan kesetiaan—sebab hanya gereja yang murni dan setia yang diperkenan dan dipakai bagi kemuliaan-Nya.
PENUTUP
Keselamatan adalah anugerah, tetapi ketaatan adalah bukti bahwa kita menghargai anugerah itu. Anugerah bukan tiket bebas berbuat dosa, melainkan panggilan untuk hidup dalam pertobatan yang nyata, dalam kekudusan, dan kesetiaan yang terus-menerus. Sebab iman sejati selalu melahirkan ketaatan sejati. Kita tidak diselamatkan karena perbuatan, tetapi keselamatan yang sejati pasti mengubahkan perbuatan.
Jangan menjadi seperti Saul, yang di permukaan tampak menaati Tuhan, namun dalam hatinya menolak kehendak-Nya. Saul tetap mempersembahkan korban, tetapi tidak taat pada perintah. Ia terlihat rohani, tetapi motivasinya tercemar. Ia mencoba menyenangkan Tuhan dengan caranya sendiri, bukan dengan ketaatan penuh. Dan itulah yang membuat Allah menolaknya. Tuhan tidak tertipu oleh aktivitas atau simbol-simbol rohani. Ia melihat hati, dan hati yang tidak tunduk akan tetap ditolak meskipun kelihatan religius.
Jangan tertipu oleh jubah rohani yang penuh kompromi. Di zaman ini, banyak orang lebih memilih penampilan rohani daripada perubahan hidup. Banyak yang memakai bahasa kasih untuk menutupi pemberontakan, dan memakai istilah “pengurapan” untuk membenarkan ambisi pribadi. Tetapi Tuhan tidak mencari pertunjukan; Dia mencari pertobatan. Tuhan tidak mencari sorotan manusia; Dia mencari kesetiaan dalam ketaatan yang tersembunyi. Karena itu, mari kita menjadi umat yang benar-benar hidup dalam iman yang taat. Iman tanpa perbuatan adalah mati (Yakobus 2:26). Iman yang sejati harus menghasilkan hidup yang berubah, bukan sekadar pengakuan mulut. Sebab hanya mereka yang melakukan kehendak Bapa-lah yang akan masuk ke dalam Kerajaan-Nya (Matius 7:21).
angan sampai kita melayani, menyanyi, bahkan bernubuat, tetapi akhirnya mendengar kata yang paling mengerikan: “Aku tidak pernah mengenal kamu. Enyahlah dari pada-Ku, kamu sekalian pembuat kejahatan!” (Matius 7:23). Itu bukan ditujukan kepada orang dunia, melainkan kepada mereka yang merasa dekat dengan Tuhan, aktif dalam pelayanan, namun hidupnya jauh dari ketaatan. Ini peringatan yang sangat serius bagi gereja masa kini—bahwa tidak semua aktivitas rohani menjamin pengenalan sejati dengan Tuhan. Tanpa pertobatan yang sungguh, pelayanan pun bisa menjadi kedok bagi pemberontakan yang tersembunyi. Biarlah hidup kita menjadi kesaksian nyata dari kasih karunia yang menyelamatkan—bukan hanya karena kita percaya, tetapi karena kita tunduk, taat, dan setia sampai akhir. Dunia boleh memuji, orang boleh melihat, tapi hanya Tuhan yang menilai isi hati dan dasar dari setiap pelayanan kita. Kesetiaan kita bukan diukur dari berapa besar kita tampil, tetapi seberapa dalam kita tunduk. Gereja yang sejati bukan yang paling megah gedungnya, paling ramai kegiatannya, atau paling lantang seruannya, tetapi gereja yang bersedia dikoreksi, dimurnikan, dan dituntun oleh Roh Kudus hari demi hari. Kiranya Tuhan menemukan di generasi ini gereja yang setia dan murni—yang bukan hanya fasih dalam liturgi, tetapi hidup dalam kebenaran. Gereja yang tidak tergoda untuk kompromi dengan dunia, tidak menjadikan pemberontakan sebagai hal biasa, dan tidak menjadikan anugerah sebagai alasan untuk menolak pertobatan. Gereja yang tetap berdiri di tengah guncangan, karena fondasinya adalah Kristus dan ketaatan kepada-Nya. Inilah waktunya untuk kembali kepada salib—kepada dasar ketaatan, kekudusan, dan kesetiaan. Jangan tunda pertobatan. Jangan tunda untuk membenahi pelayanan. Sebab hanya yang bertahan sampai akhir, yang akan diselamatkan dan diperkenan. "Barangsiapa menang, ia akan Kududukkan bersama-sama dengan Aku di atas takhta-Ku..." (Wahyu 3:21). Kiranya kita termasuk di antara mereka yang menang. Amin...
DAFTAR PUSTAKA
Alkitab Terjemahan Baru (LAI),
Catatan pelayanan pribadi dan pengalaman penggembalaan
Refleksi atas dinamika gereja kontemporer di lingkungan Gereja
============
Biografi Singkat Penulis– Pdt. Syaiful Hamzah Nahampun, M.Th
Gembala Sidang GBI Jl. Plumpang Semper No.22 (JPS22) Jakt
Gembala Cabang GBI PRJ Sion – Pearaja Parlilitan, SUMUT
=============
Lahir : 12 April 1974
Pendidikan : Magister Teologi (M.Th)
Sedang menempuh : Program Doktor (S3) di STT Gragion
Sinode : Gereja Bethel Indonesia (GBI)
Istri : Pdm. Tiolida Sihotang S.PdK
Anak : Malkhi K dan Josua Rajahot Eklesyaiful
Profil Pelayanan
· Dipanggil dari latar belakang kehidupan yang keras, Pdt. Syaiful Hamzah Nahampun melayani dengan hati yang tulus dan komitmen tinggi terhadap kebenaran firman Tuhan serta ketaatan terhadap struktur dan doktrin GBI.
· Bersama istri, Pdm. Tiolida Sihotang S.PdK, beliau menggembalakan jemaat di berbagai wilayah, termasuk cabang-cabang luar Jakarta seperti Dayun (Riau) dan Pearaja Parlilitan (Sumatera Utara).
· Pernah menggembalakan sebuah jemaat di salah satu daerah di Riau secara sah di bawah GBI JPS No. 22, namun kemudian menghadapi pembangkangan jemaat yang keluar secara sepihak tanpa ketaatan rohani maupun struktural.
· Pelayanannya menekankan pemuridan sejati dalam karakter, pertobatan, dan tanggung jawab, serta menyoroti bahaya teologi spiritual bypass—kerohanian semu yang menghindari pemulihan dan keadilan.
· Saat ini, beliau juga menempuh studi doktoral (S3) dalam bidang Misi di STT Gragion, dan aktif mengajar sebagai dosen di beberapa sekolah tinggi teologi, membentuk pemimpin-pemimpin gereja yang sehat secara doktrin maupun karakter.
Catatan Penting: Tulisan ini disusun khusus untuk kalangan sendiri sebagai bahan ilustrasi rohani dan refleksi teologis. Jika terdapat kemiripan dengan peristiwa, tempat, atau individu tertentu, itu tidak disengaja dan bukan merupakan tuduhan pribadi, melainkan ajakan untuk perenungan bersama dalam terang Firman Tuhan. Dilarang menyalin, menyebarluaskan, atau memperbanyak isi tulisan ini tanpa izin tertulis dari penulis.