BERDUSTA ATAS NAMA TUHAN OLEH PDT. SYAIFUL HAMZAH M.Th


 

BERDUSTA ATAS NAMA TUHAN

Oleh: Pdt. Syaiful Hamzah Nahampun, M.Th

 

 

I.        PENDAHULUAN

Di tengah maraknya pelayanan mimbar dan semangat tampil di ruang-ruang publik rohani, ada satu realitas yang sering kali luput dari perhatian: tidak semua orang yang mengatasnamakan Tuhan benar-benar menyuarakan kehendak-Nya. Label "hamba Tuhan", "pelayan mimbar", atau "nabi" sering kali dianggap sebagai jaminan keaslian suara Allah, Namun Alkitab mengingatkan kita untuk menguji setiap roh dan setiap pengajaran, karena banyak yang tampil rohani, tetapi sesungguhnya hanya membungkus ambisi pribadi dengan bahasa sorgawi. Yeremia 23:25–32 secara terang-terangan mengecam para nabi palsu yang mengatakan, “Aku bermimpi! Aku bermimpi!” padahal Tuhan tidak pernah menyuruh mereka. Tuhan sendiri berkata: “Aku akan menjadi lawan para nabi yang mencuri firman-Ku.” Ini bukan sekadar perbedaan pendapat atau kelemahan manusia, tetapi bentuk kejahatan rohani yang menggunakan nama Tuhan sebagai topeng untuk manipulasi.

Pelayanan yang seperti ini tidak hanya menyesatkan jemaat, tetapi juga mencemarkan kekudusan mimbar dan menurunkan otoritas firman Tuhan di mata umat. Ketika mimbar menjadi panggung, dan nubuat menjadi alat promosi, maka suara Tuhan tidak lagi terdengar, digantikan oleh suara manusia yang dibungkus spiritualitas semu. Pelayanan yang seperti ini tidak hanya menyesatkan jemaat, tetapi juga mencemarkan kekudusan mimbar dan menurunkan otoritas firman Tuhan di mata umat. Ketika mimbar menjadi panggung, dan nubuat menjadi alat promosi, maka suara Tuhan tidak lagi terdengar, digantikan oleh suara manusia yang dibungkus spiritualitas semu. Firman dijadikan alat retorika, bukan dasar kebenaran. Gereja kehilangan arah ketika yang dikhotbahkan adalah ambisi pribadi yang dibungkus ayat, bukan kehendak Allah yang dinyatakan dengan gentar dan hormat.

Masalah yang diangkat dalam tulisan ini bukan hanya soal ajaran sesat yang terang-terangan menyimpang dari Alkitab, melainkan bentuk yang lebih halus namun sama berbahayanya: yaitu penyalahgunaan simbol, jabatan, dan bahasa rohani untuk membungkus kebohongan. Dalam praktiknya, ada pelayan-pelayan yang menggunakan ayat-ayat Alkitab bukan untuk menuntun pada pertobatan, melainkan untuk melindungi diri dari teguran, membenarkan ambisi pribadi, bahkan menyerang orang lain demi menjaga citra rohaninya.

Sebagai contoh, dalam banyak kasus pelayanan, seseorang yang sedang ditegur karena pelanggaran etika atau struktural justru menggunakan kalimat seperti, “Jangan sentuh orang yang diurapi Tuhan,” atau “Tuhan yang menyuruh saya,”—meskipun jelas keputusan yang ia buat tidak sejalan dengan tata gereja atau kebenaran firman. Ada pula yang mengklaim mendapat “visi” atau “nubuat” sebagai dalih untuk keluar dari struktur, menyisihkan otoritas gembala, bahkan membentuk kelompok baru tanpa mandat resmi. Bahasa rohani dijadikan tameng, sementara motivasinya bukan kesucian, tetapi pengaruh, posisi, dan pembenaran diri. Inilah bentuk modern dari bernubuat palsu, yang justru lebih sulit terdeteksi karena dibungkus dengan simbol kekudusan. Tidak sedikit pula jemaat yang membangkang dari penggembalaan sah, lalu menolak proses pembinaan dan koreksi dengan alasan rohani seperti, “Itu biar urusan Tuhan,” atau “Yang penting saya tetap beribadah.” Bahkan ada yang berkata, “Biar saja, itu kan jemaat milik Tuhan, bukan milik gembala.” Kalimat-kalimat ini terdengar benar secara rohani, namun sebenarnya dipakai untuk menghindari tanggung jawab dan menolak penyelesaian secara struktural dan etis. Padahal Alkitab dan tata gereja mengajarkan bahwa hubungan antara jemaat dan gembala dibangun atas dasar pertanggungjawaban rohani dan saling tunduk dalam kasih, bukan atas dasar kebebasan individual tanpa batas. Ketika prinsip ini diabaikan, maka kebebasan berubah menjadi pemberontakan, dan keberanian spiritual berubah menjadi pembenaran diri. Akibatnya, otoritas rohani dilecehkan, disiplin gereja diabaikan, dan kekudusan pelayanan digantikan oleh semangat individualisme yang tidak tunduk pada tubuh Kristus. Dalam suasana seperti ini, jemaat tidak lagi dibina, tetapi dibiarkan, dan mimbar tidak lagi membentuk, tetapi dimanfaatkan untuk memperkuat ego.

Tulisan ini bertujuan untuk membongkar fenomena “dusta demi nama Tuhan”, yaitu segala bentuk penyalahgunaan simbol, bahasa, dan otoritas rohani untuk membenarkan agenda pribadi, menyembunyikan kesalahan, atau menghindari tanggung jawab—semua itu dilakukan sambil mengatasnamakan Tuhan. Fenomena ini tidak hanya merusak integritas pelayanan, tetapi juga mengaburkan suara Tuhan yang sejati di tengah jemaat, karena kebenaran digantikan oleh kepentingan, dan suara firman digantikan oleh retorika manusia. Karena itu, tulisan ini juga mengajak gereja untuk kembali kepada kekudusan dan kejujuran dalam pelayanan, dengan menempatkan firman Tuhan sebagai satu-satunya standar kebenaran, dan mengembalikan otoritas rohani kepada tangan Tuhan, bukan kepada ambisi pribadi. Di bab selanjutnya, akan dibahas landasan Alkitabiah dari peringatan Tuhan terhadap nabi-nabi palsu, sebagai cermin bagi gereja masa kini agar tidak jatuh dalam kesalahan serupa. Penekanan khusus akan diberikan pada bagaimana firman Tuhan membedakan antara suara yang asli dan suara yang palsu, serta bagaimana gereja seharusnya merespons setiap bentuk penyimpangan rohani yang dibungkus dalam kemasan nubuat atau penglihatan.

II.                LANDASAN ALKITABIAH

Yeremia 23:25–32 adalah dasar utama dari perenungan ini. Di dalamnya, Tuhan menyampaikan teguran keras dan peringatan ilahi terhadap para nabi yang bernubuat palsu, dengan berkata: “Aku telah mendengar apa yang dikatakan oleh para nabi yang bernubuat palsu demi nama-Ku: Katanya: ‘Aku telah bermimpi! Aku telah bermimpi!’ … Sesungguhnya, Aku akan menjadi lawan para nabi yang mencuri firman-Ku seorang dari yang lain.” (Yeremia 23:25, 30 – LAI TB). Nabi Yeremia hidup dan bernubuat pada masa pemerintahan raja-raja terakhir Yehuda, menjelang kejatuhan Yerusalem ke tangan Babel (sekitar abad ke-7 SM). Pada masa itu, kondisi rohani bangsa sangat buruk, ditandai dengan:

1)               Pelanggaran hukum Tuhan secara terang-terangan. Pada masa Yeremia, pelanggaran terhadap hukum Tuhan terjadi secara terang-terangan dan meluas—umat menyembah berhala di tempat-tempat kudus, keadilan diinjak oleh para penguasa, perzinahan dianggap hal yang lumrah, dan bahkan para imam serta nabi terlibat dalam kejahatan; akibatnya, Dosa bukan hanya dilakukan secara terbuka, tetapi juga dibenarkan bersama-sama oleh umat dan para pemimpinnya, seolah-olah itu sudah menjadi bagian dari kehidupan beragama yang sah. Kebenaran dibungkam oleh suara mayoritas, dan suara hati nurani ditindih oleh nubuat-nubuat palsu yang menjanjikan damai tanpa pertobatan. Mereka tetap beribadah, membawa korban, dan menyebut nama Tuhan—namun tanpa rasa takut, tanpa ketaatan tanpa kesadaran bahwa yang mereka lakukan justru mencemarkan kekudusan Allah dan menipu diri sendiri dengan liturgi kosong. Ibadah menjadi rutinitas tanpa roh, simbol-simbol rohani kehilangan makna, dan kebenaran firman digantikan oleh kata-kata penghiburan palsu yang menyenangkan telinga. Akibatnya, umat merasa dekat secara ritual, padahal rusak secara moral dan rohani.

2)               Penyembahan berhala di seluruh Yehuda. Pada masa pelayanan Yeremia, penyembahan berhala telah menjadi kebiasaan umum di seluruh Yehuda—bukan lagi tersembunyi, melainkan dilakukan secara terbuka bahkan di tempat-tempat yang dulunya dianggap suci bagi Tuhan. Bangsa Israel yang seharusnya setia kepada Allah yang esa justru berpaling kepada ilah-ilah asing seperti Baal, Astoret, Asyera, dan ratu sorga, dengan membangun bukit-bukit pengorbanan di setiap kota, membakar dupa di bawah pohon-pohon rindang dan di atas atap rumah, bahkan sampai mengorbankan anak-anak kepada Molokh. Tragisnya, semua ini juga terjadi di dalam kompleks Bait Suci (Yer. 7:30–31). Hati umat telah berpaling dari Allah meskipun secara lahiriah mereka tetap beribadah, menyamakan Allah dengan berhala dan menganggap semua bentuk ibadah itu sah, sementara para pemimpin rohani bukan hanya diam, tetapi juga ikut terlibat Itulah sebabnya Yeremia berseru dengan tajam, karena umat telah menjadi bermuka dua secara rohani—berdoa di rumah Tuhan, tetapi menyembah berhala di bukit-bukit. Mereka masih mengucapkan nama Tuhan, masih membawa korban, dan masih datang ke Bait Allah, tetapi hati mereka tidak lagi melekat pada-Nya. Ibadah mereka menjadi formalitas belaka, kosong dari pertobatan dan tanpa takut akan Tuhan. Yeremia melihat bahwa kemunafikan rohani ini jauh lebih berbahaya daripada penyembahan berhala itu sendiri, arena dibungkus oleh simbol kesalehan, padahal sejatinya adalah pengkhianatan terhadap kekudusan Allah. Mereka tampak religius di luar, namun hati mereka penuh penyesatan. Simbol ibadah seperti doa, korban, dan kehadiran di Bait Allah hanya menjadi topeng yang menutupi pemberontakan batin terhadap Allah yang kudus. Mereka menjadikan ibadah sekadar rutinitas budaya, bukan perjumpaan suci dengan Tuhan.

3)               Mengorbankan anak-anak kepada Molokh, yaitu praktik yang sangat dibenci Tuhan (Yer. 7:31) . Salah satu bentuk penyembahan berhala paling keji yang terjadi pada masa Yeremia adalah pengorbanan anak-anak kepada dewa Molokh, suatu praktik yang sangat dibenci Tuhan (Yeremia 7:31). Dalam ritual ini, anak-anak dibakar hidup-hidup sebagai persembahan kepada ilah kafir yang disembah oleh bangsa-bangsa Kanaan. Tindakan ini dilakukan di Lembah Ben-Hinom (Tophet), yang terletak di dekat Yerusalem—ironisnya, tidak jauh dari Bait Allah. Hal ini menunjukkan betapa keras dan tumpulnya hati umat, sampai mereka sanggup mengorbankan darah keturunan sendiri demi menyenangkan dewa-dewa asing. Tuhan mengecam praktik ini sebagai sesuatu “yang tidak pernah diperintahkan-Nya dan tidak pernah terlintas dalam hati-Nya” (Yer. 7:31). Pengorbanan ini bukan hanya bentuk penyimpangan moral yang ekstrem, tetapi juga penghinaan langsung terhadap Allah, karena mereka menggantikan kasih dan kekudusan Tuhan dengan kekejaman dan kegelapan penyembahan berhala. Umat bukan hanya melanggar perintah, tapi menghancurkan nilai kehidupan yang dikuduskan oleh Tuhan sendiri.          

Ketiga hal tersebut—yaitu pelanggaran hukum Tuhan secara terang-terangan, penyembahan berhala yang merajalela di seluruh Yehuda, dan pengorbanan anak-anak kepada Molokh—menunjukkan betapa kerusakan rohani umat telah mencapai puncaknya. Dosa tidak lagi dilakukan secara sembunyi, tetapi dipelihara bersama-sama dan dibungkus dalam simbol ibadah yang kosong. Inilah yang melatarbelakangi kemarahan dan kesedihan Yeremia, seorang nabi yang dipanggil bukan untuk menyenangkan telinga, tetapi untuk menegur umat dengan tajam agar mereka sadar, bertobat, dan kembali kepada kekudusan Allah yang sejati.

Yeremia menyebut para nabi palsu itu sebagai orang-orang yang “mencuri firman Tuhan” dari nabi lain—mereka mengambil kata-kata rohani yang terdengar meyakinkan lalu menyampaikannya ulang seolah itu berasal dari Tuhan sendiri. Mereka berkata, “Aku bermimpi!” bukan karena benar-benar menerima pewahyuan ilahi, melainkan untuk menarik perhatian umat dan membangun citra rohani palsu. Bahkan lebih jauh, Yeremia menyatakan bahwa mereka mengaku menyuarakan kehendak Tuhan, padahal apa yang mereka sampaikan hanyalah hasil dari imajinasi, fantasi, dan keinginan hati mereka sendiri (Yer. 23:26). Inilah bentuk kebohongan spiritual yang menyusup ke dalam ibadah—pengganti kebenaran dengan kesan, dan pengganti pewahyuan dengan ambisi pribadi. Mereka tidak menyampaikan isi hati Allah, melainkan menyampaikan imajinasi pribadi yang dibungkus gaya profetik. Firman dalam Yeremia 23:25–32 menunjukkan dengan tegas bahwa Tuhan tidak terkesan dengan tampilan luar, melainkan memperhatikan isi nubuat dan motivasi di baliknya. Ada tiga hal penting yang ditegaskan dalam bagian ini:

1)       Tuhan memperhatikan isi nubuat, bukan sekadar tampilannya. Tuhan tidak melihat seberapa meyakinkan seseorang bernubuat, melainkan apakah perkataan itu benar-benar berasal dari-Nya.

2)       Banyak orang terdengar rohani dan mampu berkata-kata dengan gaya profetik, tetapi Tuhan menilai keaslian hati dan sumbernya—apakah itu hasil pewahyuan ilahi, atau hanya rekayasa pikiran dan dorongan pribadi.

3)       Pewahyuan sejati lahir dari perjumpaan dengan Tuhan, bukan dari kebutuhan citra atau pengaruh. Tanpa dasar otoritas ilahi, nubuat menjadi manipulasi yang menipu dan menyesatkan umat—karena disampaikan bukan untuk membangun iman, melainkan untuk mengarahkan jemaat pada kehendak pribadi sang pembicara, sambil tetap memakai nama Tuhan sebagai pembenaran rohani.

Ada peringatan keras dari Tuhan bagi setiap pelayan yang mengarang mimpi, penglihatan, dan nubuat. Ketika seseorang berkata, “Tuhan berkata”, “Aku mendapat mimpi dari Tuhan”, atau “Ini firman dari Tuhan untukmu”, padahal semua itu hanya hasil dari interpretasi emosional, ilusi rohani, atau ambisi pribadi—maka ia telah melangkah ke wilayah dosa yang sangat serius. Lebih dari sekadar kesalahan, hal ini merupakan penodaan terhadap kekudusan firman, karena menggunakan nama Tuhan untuk mendukung sesuatu yang tidak pernah Ia ucapkan. Dalam konteks pelayanan masa kini, praktik ini muncul dalam berbagai bentuk: pelayan yang membuat keputusan pribadi lalu mengklaim itu sebagai kehendak Tuhan; jemaat yang menolak koreksi dengan alasan “Tuhan menyuruh saya pindah”; atau hamba Tuhan yang membela kesalahan diri dengan mengutip ayat secara salah dan di luar konteks. Semua ini merupakan bentuk nyata dari “pencurian firman Tuhan”, yaitu mengambil otoritas ilahi tanpa izin-Nya dan menyampaikannya seolah-olah berasal dari-Nya. Karena itu, Yeremia 23 bukan sekadar teguran bagi nabi-nabi palsu di masa lampau, tetapi menjadi cermin profetik bagi gereja masa kini, agar setiap pelayan dan jemaat menyampaikan firman dengan gentar, setia, dan tidak menambahkan atau menguranginya demi kepentingan pribadi. Firman ini mengingatkan bahwa setiap penyimpangan rohani yang dibungkus kata-kata suci tetap adalah kebohongan di hadapan Tuhan. Maka, sangat penting bagi kita untuk mengenali gejala-gejala dusta rohani yang mulai meresap ke dalam tubuh Kristus saat ini—bukan melalui ajaran yang terang-terangan sesat, tetapi melalui bahasa rohani yang digunakan untuk membenarkan dosa, menyembunyikan ambisi, dan membungkam kebenaran—di mana ayat-ayat dipakai bukan untuk membawa pertobatan, tetapi untuk menutup-nutupi pelanggaran, mempertahankan pengaruh, dan menolak koreksi. Inilah bentuk manipulasi terselubung dalam pelayanan, ketika kesalehan dijadikan topeng, dan nama Tuhan dijadikan alat untuk melindungi agenda manusia.

III.      FENOMENA DUSTA ROHANI

Setelah memahami peringatan keras dalam Yeremia 23, kita perlu melihat bagaimana fenomena dusta rohani itu terus berulang dalam konteks gereja masa kini. Dusta atas nama Tuhan tidak selalu muncul dalam bentuk ajaran sesat yang terang-terangan, melainkan sering kali tersembunyi di balik simbol-simbol pelayanan, bahasa rohani, dan kebiasaan yang dianggap benar. Banyak jemaat dan bahkan pelayan tidak menyadari bahwa mereka sedang terjebak dalam bentuk-bentuk manipulasi rohani yang secara tidak langsung menyesatkan umat dan mencemarkan mimbar. Oleh karena itu, dalam bagian ini akan dibahas beberapa bentuk nyata dari dusta rohani dalam pelayanan modern, yang sering kali dibungkus oleh kemasan spiritualitas yang meyakinkan. Hal ini terjadi karena banyak orang lebih terpikat pada penampilan luar dan kesan rohani, daripada menguji segala sesuatu berdasarkan kebenaran firman Tuhan. Ketika simbol-simbol sakral seperti mimbar, jabatan rohani, atau kata-kata “Tuhan berkata” tidak lagi dikritisi secara sehat, maka terbukalah ruang bagi manipulasi dan pembenaran diri yang dibungkus dalam kesalehan semu.

3.1             Teologi Simbolik (Sakral ≠ Benar).  Banyak orang Kristen menganggap bahwa gereja pasti suci, pelayan pasti benar, dan mimbar tidak boleh dikoreksi. Pandangan ini lahir dari penghormatan terhadap hal-hal yang dianggap sakral, namun sayangnya sering kali berkembang menjadi pengagungan tanpa penilaian. Padahal, kesakralan simbolik tidak menjamin kebenaran spiritual. Sebuah tempat bisa disebut rumah Tuhan, seorang hamba bisa memakai jubah pelayanan, dan sebuah mimbar bisa dihiasi dengan kata-kata firman—tetapi jika tidak disertai pertobatan, integritas, dan takut akan Tuhan, semua itu hanyalah tampilan lahiriah tanpa isi rohani yang sejati. Bahkan pelayan Tuhan pun dapat jatuh dalam dosa, tersesat dalam ambisi, atau terjebak dalam kebiasaan rohani yang kosong jika tidak hidup dalam pertobatan setiap hari. Menganggap pelayan tidak bisa salah adalah celah bagi manipulasi rohani, karena menutup ruang bagi teguran, introspeksi, dan pembenahan yang sehat dalam tubuh Kristus. Ketika pelayan dianggap selalu benar hanya karena posisi atau pengaruhnya, maka kesalahan dibiarkan tumbuh, penyimpangan tidak ditangani, dan kesalehan berubah menjadi alat untuk menguasai, bukan untuk melayani. Akibatnya, otoritas rohani bukan lagi tunduk pada firman, melainkan pada figur, dan gereja perlahan kehilangan keberanian untuk membedakan antara keaslian dan kepalsuan rohani. Inilah awal dari pembusukan rohani yang diam-diam, tetapi menghancurkan dari dalam—karena ketika kebenaran tidak lagi boleh menyentuh pemimpin, maka gereja kehilangan terang, dan yang tersisa hanyalah aktivitas tanpa kuasa, pelayanan tanpa pertobatan, serta mimbar yang dijalankan tanpa rasa gentar kepada Tuhan. Dalam suasana seperti ini, pelayanan menjadi rutinitas yang kosong, doa kehilangan kekuatan, dan firman hanya menjadi formalitas yang diucapkan tanpa kuasa ilahi. Gereja tetap sibuk, program tetap berjalan, namun tidak ada lagi pertobatan yang lahir, tidak ada lagi hati yang remuk, dan tidak ada lagi kehadiran Tuhan yang nyata. Ketika figur lebih dihormati daripada firman, dan posisi lebih dijaga daripada kekudusan, maka gereja tidak sedang bertumbuh—melainkan perlahan mati secara rohani, Meski masih tampak hidup secara struktur berarti bahwa secara lahiriah, gereja tersebut masih berjalan normal: ibadah tetap berlangsung, pelayan-pelayan masih aktif, jadwal kegiatan penuh, dan organisasi gereja tampak rapi serta produktif. Secara administrasi, semuanya tampak hidup dan bergerak. Namun di balik semua itu, tidak ada lagi kehidupan rohani yang sejati. Jemaat hadir tanpa pertobatan, mimbar penuh kata-kata tetapi kosong kuasa, pelayanan berjalan tanpa hadirat Tuhan. Struktur masih berdiri, tapi intinya—yaitu Kristus dan kebenaran-Nya—sudah tidak lagi menjadi pusat. Ini seperti yang dikatakan Tuhan dalam Wahyu 3:1: “Aku tahu segala pekerjaanmu: engkau dikatakan hidup, padahal engkau mati!” Jadi, “tampak hidup secara struktur” menggambarkan gereja yang sibuk secara aktivitas, tetapi mati secara rohani—karena telah kehilangan kepekaan akan kebenaran, dan menolak untuk dikoreksi oleh firman Tuhan.

3.2             Teologi Perasaan adalah ketika seseorang menilai dirinya benar hanya karena merasa aktif dalam kegiatan gereja, merasa diberkati karena suasana ibadah menyentuh emosi, atau merasa rohani karena terlibat pelayanan—tanpa menguji hidupnya dengan ketaatan terhadap firman Tuhan yang objektif. Dalam pola pikir ini, perasaan menjadi pusat penilaian rohani, sementara kebenaran Alkitab, disiplin diri, dan ketundukan pada otoritas sering diabaikan. Perasaan dekat dengan Tuhan dianggap bukti cukup, walau hidupnya tidak menghasilkan buah pertobatan, integritas, atau kasih yang sejati. Orang seperti ini mungkin rajin melayani, aktif di mimbar, bahkan menangis dalam doa, tetapi ketika ditegur, ia menolak; ketika dikoreksi, ia merasa diserang. Dalam teologi perasaan, kebenaran yang tidak enak didengar dianggap bukan dari Tuhan, dan kenyamanan batin lebih dipilih daripada pembentukan karakter. Akibatnya, banyak orang merasa rohani tetapi tidak bertumbuh, karena mereka tidak dibangun di atas fondasi firman, melainkan atas emosi pribadi yang mudah berubah. Inilah akar dari banyak penyimpangan rohani yang dibungkus kesalehan—ketika perasaan pribadi dianggap sebagai suara Tuhan, dan ketaatan terhadap firman dikalahkan oleh selera dan kenyamanan batin. Dalam kondisi seperti ini, yang dicari bukan lagi kebenaran, tetapi pembenaran; bukan lagi kehendak Tuhan, tetapi apa yang terasa enak dan cocok dengan kehendak sendiri. Akibatnya, orang merasa rohani tanpa pertobatan, aktif melayani tanpa penundukan, dan terus bertumbuh dalam emosi—bukan dalam kebenaran. Hidup rohaninya tampak sibuk, tetapi kosong dari ketajaman nurani. Ia mudah tersinggung saat ditegur, namun merasa paling benar saat berbicara. Firman dipilih sesuai selera, bukan untuk membentuk karakter, melainkan untuk menguatkan perasaan. Ini adalah bentuk kerohanian yang rapuh—indah di permukaan, tapi lemah dalam ketundukan sejati kepada Tuhan. Ia tampak aktif, terlihat hangat secara emosional, bahkan menyentuh hati banyak orang, tetapi tidak dibangun di atas dasar firman yang kokoh. Dalam teologi perasaan, suasana batin sering kali lebih diutamakan daripada kebenaran, dan pengalaman spiritual dianggap lebih penting daripada proses pemuridan. Orang merasa dekat dengan Tuhan karena suasana ibadah yang mengharukan, tetapi tidak pernah diuji melalui ketaatan dalam hal-hal kecil. Kerohanian semacam ini mudah runtuh ketika diuji oleh teguran, disiplin, atau ketidaknyamanan, sebab tidak ada akar dalam kebenaran. Itulah sebabnya, meskipun kelihatan rohani, kehidupan seperti ini rapuh di dalam, tidak tahan terhadap proses, dan cenderung membenarkan diri saat kebenaran mulai mengoreksi.

3.3             Teologi Pembenaran Diri. Teologi pembenaran diri adalah sikap rohani yang menggunakan firman Tuhan bukan untuk diubah, melainkan untuk membela posisi dan tindakan pribadi, bahkan ketika jelas-jelas keliru. Dalam pola pikir ini, ayat-ayat Alkitab tidak lagi menjadi cermin pertobatan, melainkan dijadikan tameng untuk menolak koreksi, membenarkan sikap keras hati, dan mempertahankan kehendak sendiri. Orang yang terjebak dalam teologi ini menolak introspeksi, tetapi cepat menyalahkan. Ia akan berkata, “Jangan menghakimi!” ketika ditegur, atau “Tuhan yang suruh saya,” saat menolak otoritas. Ia menggunakan ayat sebagai pelindung diri, bukan sebagai alat untuk menguduskan diri. Akibatnya, yang muncul bukan lagi kerendahan hati untuk bertumbuh, tetapi kesombongan rohani yang dibungkus dalih kebenaran. Fenomena ini berbahaya karena terlihat sangat alkitabiah secara lahiriah, namun sesungguhnya menyimpang secara hati. Ketika seseorang terus-menerus memakai firman hanya untuk mempertahankan posisi atau menolak pertobatan, maka yang terjadi adalah pembalikan fungsi firman Tuhan—dari alat pembentuk karakter menjadi alat pertahanan diri. Firman yang seharusnya menundukkan hati, malah dijadikan senjata untuk menyerang balik dan mengalihkan fokus dari kesalahan pribadi. Contohnya, ketika ia ditegur karena jelas-jelas melakukan pelanggaran, ia tidak mau mengaku salah. Sebaliknya, ia menilai orang yang menegur sebagai belum dewasa secara rohani, lalu berkata, "Dia belum mengerti kasih," atau "Dia masih dalam daging." Bahkan ketika seorang pendeta datang dengan otoritas rohani dan meminta pertanggungjawaban secara terbuka, orang ini malah membalas dengan ayat-ayat Alkitab, lalu berkata, "Pendeta itu belum bertobat secara batiniah," atau "Tuhan menyuruh saya untuk tidak tunduk pada manusia." Firman Tuhan dijadikan perisai untuk membenarkan diri, bukan cermin untuk mengoreksi hati. Ia mengutip ayat-ayat tentang kasih, pengurapan, dan kemerdekaan dalam Kristus, tapi menolak ayat-ayat tentang disiplin, pertobatan, dan otoritas rohani. Akibatnya, kesalahan yang seharusnya ditangani dalam terang justru dibungkus dalam kabut pembelaan rohani, dan orang seperti ini makin sulit disentuh kebenaran. Inilah bentuk kebohongan rohani yang halus tapi mematikan, karena tampak rohani di luar, tetapi keras dan menolak kebenaran di dalam. Jika tidak disadari dan ditangani, Sikap ini bukan hanya merusak dirinya sendiri, tetapi juga menyesatkan jemaat yang mengikuti teladannya dan melemahkan otoritas rohani dalam tubuh Kristus, karena kebenaran tidak lagi dihormati, dan otoritas gembala dianggap tidak relevan. Ia telah melecehkan anugerah Tuhan, menjadikannya tameng untuk menolak pertobatan, padahal anugerah diberikan bukan untuk membenarkan dosa, melainkan untuk membebaskan dari kuasa dosa. Dengan terus menyembunyikan kesalahan di balik kutipan ayat, Ia hidup dalam kemunafikan yang tersembunyi—tampak rohani di luar, tetapi menolak terang di dalam. Inilah bentuk kerohanian yang rapuh: melayani di luar, tetapi melawan kebenaran di dalam hati. Motivasinya bukan lagi ketaatan, melainkan citra dan keuntungan. Bahkan ada orang yang begitu ngotot ingin menjadi pendeta, seolah-olah jabatan itu bisa dibeli dengan antusiasme atau syarat administratif. Ia berpikir bahwa menjadi Pejabat (pendeta) GBI berarti bisa dibayar lewat perpuluhan jemaat dan Kekayaan, tanpa memahami bahwa panggilan pelayanan adalah soal salib, bukan soal pemasukan. Lebih ironis lagi Keluarganya sendiri hidup dalam pembangkangan terhadap otoritas gereja, tidak tunduk kepada struktur, dan tidak menunjukkan buah pertobatan yang sejati. Dengan kesombongan rohani yang tersembunyi, mereka merasa gereja adalah milik pribadi—karena merasa paling banyak memberi sumbangan. Dari situ, lahirlah pengaruh negatif di tengah jemaat: mereka membentuk opini, menggiring simpati, dan secara perlahan menanamkan pemberontakan rohani dengan membungkusnya dalam kalimat-kalimat rohani. Gereja tidak lagi dipandang sebagai tubuh Kristus, melainkan sebagai ladang kuasa yang bisa dikendalikan demi kepentingan pribadi dan keluarga. Namun orang ini tetap melangkah maju, bukan karena dipanggil, melainkan karena ambisi pribadi yang dibungkus dengan bahasa rohani. Inilah bentuk kebohongan halus yang menipu banyak orang: mengira pelayanan adalah jalan pintas menuju kehormatan, bukan ladang kesetiaan dan pengorbanan..

Fenomena dusta rohani dalam gereja masa kini tidak selalu muncul dalam bentuk ajaran sesat yang terang-terangan, tetapi sering kali menyusup secara halus melalui cara berpikir dan gaya hidup rohani yang menyimpang dari kebenaran. Dalam bab ini telah dijelaskan tiga bentuk utamanya: Teologi Simbolik, yang menganggap simbol-simbol pelayanan otomatis berarti kebenaran, padahal kesakralan tidak menjamin kekudusan tanpa pertobatan; Teologi Perasaan, yang menjadikan emosi dan suasana batin sebagai tolok ukur kebenaran, padahal hanya firman yang menjadi standar mutlak kehidupan rohani; dan Teologi Pembenaran Diri, yaitu ketika ayat-ayat digunakan bukan untuk membentuk karakter, melainkan untuk melindungi diri dari koreksi. Ketiga pola ini membentuk satu kesatuan dusta rohani yang membungkus pelayanan dengan kesalehan semu, membuat banyak orang merasa rohani tanpa ketaatan, sibuk melayani tanpa pertobatan. Dampaknya bukan hanya merusak diri sendiri, tetapi juga menyesatkan jemaat dan mencemarkan otoritas gereja—karena kebenaran digantikan oleh popularitas, dan otoritas digeser oleh opini pribadi yang dibungkus rohani. Dalam kondisi seperti ini, suara mayoritas lebih menentukan arah gereja daripada suara firman, dan pelayan yang berani menegur dianggap mengganggu kenyamanan rohani. Kebenaran tidak lagi berdiri di mimbar, tetapi digantikan oleh narasi yang menenangkan telinga. Inilah yang menjadikan gereja tampak hidup secara aktivitas, namun sekarat secara rohani—karena kehilangan keberanian untuk menegakkan kebenaran, dan membiarkan kesalahan tumbuh dengan dalih kasih dan toleransi yang keliru. Firman Tuhan tidak lagi dijadikan standar, melainkan disesuaikan dengan kenyamanan jemaat. Kesalahan dibiarkan atas nama damai, dan disiplin dianggap tidak relevan karena takut kehilangan simpati. Akibatnya, gereja kehilangan fungsi profetiknya di tengah dunia, dan pelayanan hanya menjadi aktivitas sosial yang menyenangkan, bukan lagi medan pembentukan karakter dan pertobatan. Gereja tetap ramai, tetapi hati jemaat kosong dari takut akan Tuhan.

IV.     CIRI-CIRI PELAYAN YANG BERDUSTA ATAS NAMA TUHAN

Yeremia 23:25–32 tidak hanya berisi peringatan, tetapi juga membongkar dengan jelas ciri-ciri para nabi palsu yang menyalahgunakan nama Tuhan untuk kepentingan pribadi. Dalam konteks gereja masa kini, karakteristik seperti ini masih dapat ditemukan, tidak selalu dalam bentuk ajaran sesat, tetapi dalam gaya pelayanan, sikap hati, dan pola komunikasi yang menipu umat dengan bungkus rohani. Berikut ini adalah beberapa ciri utama pelayan yang berdusta atas nama Tuhan, baik secara terang-terangan maupun terselubung:

4.1             Mengaku mendapat firman Tuhan, padahal hanya pikiran sendiri. Pelayan ini sering berkata, “Tuhan berbicara padaku…” atau “Ini pesan Tuhan…”, padahal apa yang disampaikannya lahir dari pikiran pribadi, bukan dari perjumpaan yang nyata dengan Tuhan. Ia mencampuradukkan kehendak sendiri dengan nama Tuhan, sehingga menyampaikan hal yang tidak pernah Tuhan katakan. Ini bukan sekadar dusta rohani, melainkan tindakan yang sangat serius—karena mencatut nama Tuhan untuk sesuatu yang tidak pernah Ia firmankan. Dalam Alkitab, pencemaran nama Tuhan termasuk dalam pelanggaran berat (lih. Keluaran 20:7), dan menempatkan diri sebagai juru bicara ilahi tanpa mandat adalah bentuk penyalahgunaan otoritas rohani yang fatal. Orang seperti ini bukan hanya menipu jemaat, tetapi juga menyalahgunakan kepercayaan umat terhadap suara Tuhan, sehingga bisa mengarahkan keputusan, membentuk opini, atau bahkan mengontrol jemaat dengan memakai “firman” yang sebenarnya lahir dari daging. Dalam pandangan sorga, perbuatan ini tidak hanya salah, tetapi menghina kekudusan Tuhan dan membahayakan kehidupan rohani banyak orang. karena jemaat diajarkan untuk percaya kepada sesuatu yang tidak berasal dari Tuhan, namun diyakini sebagai suara-Nya. Akhirnya, umat dibentuk bukan oleh firman yang murni, melainkan oleh asumsi pribadi pelayan, yang dibungkus dalam kesan rohani. Ini menciptakan jemaat yang emosional tapi tidak berakar, Jemaat mudah tersesat ketika iman dibangun di atas suara manusia, bukan suara Tuhan. Kebohongan terdengar seperti kebenaran saat suara manusia disamakan dengan suara Tuhan, hingga umat percaya tanpa menilai dan taat tanpa mengerti.

4.2             Menonjolkan mimpi dan nubuat, tapi tidak hidup dalam firman.  Pelayan seperti ini lebih menekankan pengalaman supranatural—seperti mimpi, nubuat, dan penglihatan—daripada ketaatan pada firman Tuhan yang tertulis. Ia tampak profetik, namun tidak berakar dalam kebenaran yang sejati. Firman diperlakukan hanya sebagai latar belakang, sementara “pengalaman rohani” menjadi panggung utama dalam pelayanannya. Ia lebih suka berkata, “Tadi malam saya bermimpi... Tuhan berbicara...” daripada membuka Alkitab dan membimbing jemaat pada pengertian yang sehat. Secara teologis, ini adalah penyimpangan yang serius. Nubuat yang sejati tidak pernah berdiri sendiri di luar firman Tuhan, melainkan harus diuji dan tunduk pada Alkitab (1 Yohanes 4:1; 1 Tesalonika 5:21). Ketika pewahyuan pribadi dijadikan standar, dan bukan firman Tuhan, maka umat dibentuk oleh pengalaman subjektif, bukan oleh kebenaran objektif. Inilah yang membuat banyak jemaat takluk pada figur, bukan pada Kristus, dan lebih mengejar sensasi daripada pertobatan. Alkitab mencatat bahwa iblis pun bisa menyamar sebagai malaikat terang (2 Korintus 11:14). Maka tidak semua mimpi dan penglihatan berasal dari Tuhan. Pelayan yang terus-menerus menonjolkan pewahyuan supranatural, tetapi tidak hidup dalam ketaatan, sesungguhnya menjadi saluran kebingungan, bukan pewahyuan. Ia memperdagangkan karisma, tetapi kehilangan karakter. Suaranya keras, tapi hidupnya jauh dari salib. Ia dikenal karena nubuatan, bukan karena kekudusan; dihormati karena penglihatan, tapi tak dikenal di hadapan Tuhan. Pelayanannya menghasilkan kekaguman, Bukan pertobatan—karena yang ditonjolkan adalah pengalaman, bukan kehidupan yang diproses dalam kebenaran. Akhirnya, jemaat dibuat kagum, tapi tidak dibawa dekat kepada salib; tersentuh secara emosional, tapi tidak diubah secara rohani.

4.3   Memakai ayat untuk menekan, membenarkan diri, atau menyerang orang lain. Salah satu ciri pelayan yang berdusta atas nama Tuhan adalah menggunakan firman bukan untuk membangun, melainkan untuk menyerang. Ayat-ayat Alkitab yang seharusnya membawa pertobatan, penghiburan, atau pengajaran yang sehat justru dipelintir untuk menekan orang lain, membungkam kritik, atau membela kepentingan pribadi. Firman dipakai bukan sebagai pedang roh yang diarahkan kepada dosa, tetapi sebagai senjata untuk menghakimi orang yang dianggap lawan. Secara teologis, tindakan ini adalah bentuk penyalahgunaan kebenaran. Firman Tuhan bukan alat manipulasi, melainkan cermin bagi hati dan penuntun menuju pertobatan. Ketika seseorang memakainya secara selektif untuk menyerang, ia sedang mencomot otoritas ilahi untuk tujuan manusiawi, dan itu merupakan bentuk perampasan kehormatan Allah. Rasul Paulus menegaskan agar firman tidak disampaikan dengan tipu daya atau maksud tersembunyi, tetapi dalam ketulusan hati dan integritas (2 Korintus 4:2). Bahkan Yesus sendiri menolak ketika iblis memakai ayat Kitab Suci untuk mencobai-Nya (Matius 4:1–11), menunjukkan bahwa pemakaian ayat tidak selalu menunjukkan kebenaran—jika konteks dan motivasinya keliru. Pelayan semacam ini sering memakai kalimat seperti, “Jangan sentuh orang yang diurapi Tuhan,” atau “Tuhan yang membenarkan saya,” saat sebenarnya ia hanya sedang melindungi kesalahan dan menolak koreksi. Sebagai ilustrasi, ada orang yang sejak muda terbiasa berkata kepada orang lain, “Kamu belum bertobat,” atau “Rohmu tidak benar,” seolah-olah ia lebih rohani dari semua orang. Padahal sejak awal, ia sendiri menyimpan benih pembangkangan dan ketidaktaatan terhadap otoritas. Ketika suatu saat ia melakukan kesalahan dan ditegur dengan kasih, bukannya bertobat, ia malah menyerang balik, menyebut penegurnya belum dewasa rohani, atau tidak mengerti kehendak Tuhan. Firman Tuhan yang seharusnya mengoreksi dirinya malah ia gunakan untuk membungkam kebenaran dan mengangkat dirinya. Akibatnya, jemaat menjadi takut bersuara, komunitas kehilangan kejujuran, dan kebenaran disembunyikan di balik tameng firman yang disalahgunakan. Firman bukan lagi menjadi terang yang menyinari dosa, tetapi topeng untuk menyembunyikan motivasi yang busuk. Ini bukan pelayanan yang membebaskan, tapi panggung rohani yang memenjarakan—jemaat diarahkan pada figur, bukan firman; tampak aktif, tapi kehilangan kemurnian dan lumpuh secara rohani..

4.4   Menolak koreksi, merasa paling benar.  Salah satu tanda nyata dari pelayan yang berdusta atas nama Tuhan adalah ketidaksediaan untuk dikoreksi. Ia menempatkan dirinya di atas teguran, seolah sudah cukup rohani dan tidak perlu diarahkan. Koreksi dianggap sebagai serangan pribadi, bukan sebagai bentuk kasih atau peringatan dari Tuhan. Ia menutup telinga terhadap nasihat, tetapi dengan mudah menyalahkan orang lain atas segala masalah yang terjadi. Secara teologis, sikap ini bertentangan langsung dengan karakter Kristus. Dalam Amsal 12:1 dikatakan, “Siapa mencintai didikan mencintai pengetahuan, tetapi siapa membenci teguran adalah dungu.” Koreksi bukan musuh pertumbuhan rohani, melainkan bukti kasih Tuhan bagi orang yang dipanggil-Nya (Ibrani 12:6). Menolak koreksi berarti menolak proses pembentukan, dan itu adalah jalan menuju kehancuran rohani yang tersembunyi. Pelayan seperti ini biasanya bersembunyi di balik gelar, pengalaman, atau pengaruh, dan tidak lagi mau diajar atau ditegur. Saat disampaikan kebenaran, ia merespons dengan defensif: “Saya lebih tahu,” atau “Saya diurapi, kamu siapa?” Bahkan jika ditegur oleh pemimpin rohani, ia bisa dengan sombong berkata, “Roh Kudus langsung membimbing saya.” Lebih parah lagi, ia menilai teguran sebagai tanda ketidakrohanian orang lain. Ia merasa paling mengerti Tuhan, paling peka terhadap suara Roh Kudus, dan paling layak menilai yang lain. Namun di balik kesan itu, ia sebenarnya sedang menolak pertobatan dan menyembunyikan kedegilan hati dengan kemasan rohani. Akibatnya, pelayanan tidak lagi menghasilkan transformasi, karena pemimpinnya sendiri menolak dibentuk. Yang dibangun bukan karakter Kristus, tapi benteng ego rohani yang dilapisi ayat-ayat. Ketika kebenaran tidak lagi boleh menyentuh pemimpin, maka kejatuhan hanya tinggal menunggu waktu  Lebih tragis lagi, ketika pelayan tersebut jelas melakukan kesalahan serius yang menyangkut hukum pidana—misalnya manipulasi, penipuan, atau penyalahgunaan wewenang—ia justru menolak pertanggungjawaban dengan berkata bahwa “hukum dunia adalah kejahatan”, dan bahwa mereka yang menegur lewat jalur hukum tidak layak secara rohani. Bahkan ada yang berkata, “Masa anak Tuhan pakai pengacara?” seolah-olah proses hukum adalah tindakan yang tidak kudus. Ini adalah bentuk pembenaran diri yang berbahaya, karena membungkus pelanggaran dengan dalih rohani, dan menghindari pertobatan dengan mengintimidasi orang yang menegur.

4.5   Mengejar pengaruh dan simpati, bukan kekudusan dan salib. Pelayan yang berdusta atas nama Tuhan tidak lagi menjadikan kekudusan dan salib sebagai pusat panggilan, melainkan lebih tertarik membangun pengaruh pribadi dan mendapatkan simpati manusia. Fokus pelayanannya bukan lagi pada Kristus yang disalibkan, melainkan pada citra diri dan penerimaan publik. Ia mulai mengukur keberhasilan pelayanan dari jumlah pengikut, popularitas, dan pujian jemaat—bukan dari kesetiaan pada kebenaran dan ketundukan pada salib. Secara teologis, sikap ini bertentangan langsung dengan ajaran Yesus. Kristus tidak memanggil kita untuk menjadi populer, tetapi untuk memikul salib setiap hari dan menyangkal diri (Lukas 9:23). Namun pelayan yang mengejar simpati cenderung menghindari kebenaran yang tajam, mengurangi bobot firman agar lebih diterima, dan hanya menyampaikan pesan yang menyenangkan telinga jemaat (2 Timotius 4:3). Ia takut menyinggung, takut kehilangan jemaat, dan lebih memilih aman daripada taat. Tidak sedikit pula yang menjadikan pelayanan sebagai sarana pencitraan dan promosi, bukan lagi medan salib dan pengudusan. Pelayan seperti ini mudah berkata “Tuhan memanggil saya”, tetapi tidak tahan jika tidak dipuji atau tidak mendapat dukungan. Ia membentuk loyalitas jemaat terhadap dirinya, bukan kepada Kristus, dan sering membungkus ambisinya dengan dalih “visi pelayanan”. Akibatnya, pelayanan kehilangan roh profetik. Yang dibentuk bukan murid Kristus, tetapi pengikut manusia. Yang dicari bukan pertobatan, melainkan kekompakan semu. Pelayanannya penuh sorotan, tetapi kosong dari urapan; ramai oleh pujian, tapi sepi dari hadirat. Sebagai ilustrasi, ada sebuah kelompok jemaat yang keluar dari gereja dengan sikap pembangkangan, menolak otoritas gembala dan struktur yang sah. Namun demi membenarkan tindakan mereka, mereka membungkusnya dengan bahasa rohani: “Kami sudah doa puasa seribu hari,” atau “Kami berdoa 24 jam sehari semalam tanpa henti,” bahkan berkata, “Kami mendapat jawaban dari Tuhan untuk keluar dan buka gereja sendiri.” Padahal secara struktur dan rohani, keputusan itu bukan lahir dari proses pemuridan atau disiplin, tetapi dari konflik, kepahitan, dan ketidaktaatan. Bahasa rohani dipakai untuk membenarkan pemberontakan, dan keputusan mendirikan "gereja tandingan" dianggap sebagai langkah profetik, padahal justru menyalahi prinsip kesatuan tubuh Kristus dan mencederai kekudusan pelayanan. Ini adalah contoh nyata bagaimana simpati dicari melalui kesan kerohanian, sementara salib—yang menuntut kerendahan hati, pertobatan, dan tunduk pada otoritas—dikesampingkan. Hasilnya bukan pertumbuhan kerajaan Allah, tetapi pecahan emosional yang dibungkus visi rohani..

Ciri-ciri pelayan yang berdusta atas nama Tuhan, seperti yang telah diuraikan, bukan hanya menjadi ancaman bagi kemurnian gereja, tetapi juga menjadi cermin bagi kita semua untuk mengevaluasi apakah pelayanan kita masih setia pada kebenaran atau sudah terseret pada kesalehan yang semu. Oleh karena itu, pada bagian berikutnya kita akan membahas bagaimana gereja menanggapi fenomena ini secara sehat dan tegas, sekaligus menyoroti dampaknya bagi jemaat—seperti kebingungan rohani, hilangnya arah penggembalaan, dan munculnya loyalitas kepada figur, bukan kepada kebenaran Tuhan.

V.          DAMPAKNYA BAGI JEMAAT

Kesalahan dan penyimpangan dalam pelayanan tidak hanya merusak pelayan itu sendiri, tetapi juga meninggalkan dampak serius bagi kehidupan rohani jemaat. Ketika mimbar tidak lagi dijaga dengan ketulusan dan takut akan Tuhan, maka yang duduk di bangku gereja bukan sedang dibentuk, melainkan sedang dibingungkan. Jemaat kehilangan arah ketika yang diteladani bukan Kristus, melainkan pemimpin yang membungkus dirinya dengan kesalehan semu. Gereja lokal bukan sekadar tempat ibadah mingguan, tetapi tanah subur tempat iman bertumbuh. Jika tanahnya sudah tercemar oleh ajaran, sikap, atau motivasi yang salah, maka bibit-bibit rohani pun akan tumbuh dalam arah yang salah. Inilah beberapa dampak nyata yang akan terjadi dalam kehidupan jemaat ketika mereka digembalakan oleh pelayan yang berdusta atas nama Tuhan:

5.1             Tertipu secara rohani, karena percaya pada figur, bukan pada Firman. Jemaat menjadi lebih percaya pada apa kata pemimpin daripada apa kata firman Tuhan. Setiap ucapan hamba Tuhan dianggap mutlak, walau bertentangan dengan Alkitab. Ketika figur dijadikan pusat iman, maka kritik dianggap dosa dan pengujian dianggap pemberontakan. Akibatnya, jemaat dibentuk oleh kepribadian pemimpin, bukan oleh karakter Kristus.

5.2             Tumbuh dalam ketakutan, bukan dalam kebenaran. Karena pelayan memakai firman untuk menekan dan mengontrol, jemaat hidup dalam rasa takut untuk bertanya, menegur, atau bahkan berpikir kritis. Mereka diajarkan bahwa bertanya adalah tanda kurang iman, dan berbeda pandangan berarti memberontak. Atmosfer seperti ini membunuh kedewasaan rohani, karena jemaat tidak pernah diajar untuk berpikir berdasarkan firman, tetapi hanya mengikuti perintah.

5.3             Sulit membedakan suara Tuhan dari suara manipulasi rohani. Karena terbiasa mendengar “Tuhan berkata” dari mulut pemimpinnya, jemaat kehilangan kepekaan terhadap suara Tuhan yang sejati. Mereka tidak diajar menguji roh (1 Yoh. 4:1), melainkan diarahkan untuk percaya secara buta. Akhirnya, mereka tidak tahu lagi mana pewahyuan, mana imajinasi. Ini sangat berbahaya, karena jemaat bisa diarahkan ke jalan yang salah dengan keyakinan yang salah pula.

5.4             Tumbuh tidak sehat secara doktrin maupun karakter. Karena firman Tuhan disampaikan secara sepihak dan dipakai untuk kepentingan pribadi, jemaat akhirnya tidak mendapat pengajaran yang utuh. Ajaran menjadi dangkal, dan karakter jemaat tidak dibentuk melalui pertobatan sejati. Banyak orang menjadi aktif dalam pelayanan, tapi tidak bertumbuh secara rohani; mereka sibuk di gereja, tetapi tidak berakar dalam firman. Gereja tampak besar dan ramai, tapi sebenarnya rapuh secara rohani, karena tidak ada kedalaman dalam pemahaman dan hidup iman mereka. Kondisi ini jadi makin parah ketika pemimpinnya adalah orang yang mengangkat diri sendiri menjadi gembala, tanpa proses, tanpa panggilan yang jelas, dan tanpa pengutusan dari otoritas gereja yang sah. Pemimpin seperti ini lebih mirip penguasa daripada gembala. Ia tidak membimbing jemaat, tetapi mengontrol mereka. Ia memakai status “hamba Tuhan” untuk menekan orang lain, membungkam kritik, dan menuntut orang tunduk padanya dengan dalih bahwa ia diurapi. Pelayanannya bukan lagi menggembalakan, tapi malah menjadi bentuk penindasan yang dibungkus rohani. Contohnya bisa dilihat di satu komunitas yang menyebut dirinya gereja, padahal berdiri tanpa struktur sinode yang jelas dan tanpa pengawasan rohani. Dalam komunitas itu, anak-anak muda tampil bersaksi bukan dengan firman Tuhan, tetapi dengan lagu-lagu viral dari TikTok. Lirik lagu itu memang diubah jadi “rohani”, tapi dipakai untuk menyindir jemaat lain secara halus. Salah satunya lagu “kecus-kecus” yang dipakai sebagai nyanyian bernada ejekan di tengah ibadah. Tragisnya, pemimpin di komunitas itu tidak menegur, malah berkata, “Biar saja, itu gaya anak muda zaman sekarang.” Inilah akibat dari penggembalaan yang tidak sehat. Saat kebenaran tidak lagi dikhotbahkan dengan serius, gereja kehilangan arah. Mimbar berubah jadi hiburan, dan kesalehan jadi bahan sindiran. Karena tidak ada struktur atau pemimpin yang berani menegur, kesalahan berkembang bebas—tanpa pertobatan, tanpa peringatan, dan tanpa siapa pun yang berani berkata, ‘Ini salah.

Melihat betapa dalam dan seriusnya dampak penyimpangan rohani terhadap jemaat, maka tidak ada jalan lain bagi gereja selain kembali kepada inti panggilannya: hidup dalam kebenaran, bukan sekadar tampil dalam kesalehan. Tuhan tidak memanggil gereja untuk tampil besar di mata manusia, tetapi untuk hidup benar di hadapan-Nya. Ketika suara kebenaran mulai digantikan oleh popularitas, dan pelayanan dijalankan tanpa rasa gentar kepada Tuhan, maka panggilan untuk bertobat bukan lagi sebuah opsi rohani—melainkan keharusan yang mendesak. Inilah satu-satunya jalan bagi gereja untuk pulih dan kembali ke jalur ilahi. Karena itu, bagian selanjutnya akan membawa kita pada seruan Tuhan yang paling mendasar dan tak tergantikan: panggilan untuk bertobat. Sebab tanpa pertobatan, tidak ada pemulihan; dan tanpa pemulihan, gereja hanya akan menjadi bayangan dari panggilannya yang sejati Gereja hanya akan menjadi bayangan dari panggilannya yang sejati—memiliki bentuk tetapi kehilangan isi, terdengar rohani namun hampa kuasa. Ia bisa tampak sukses di mata manusia, namun gagal menjalankan mandat ilahi jika tidak lagi berakar pada pertobatan, kebenaran, dan ketundukan kepada firman. Tanpa pertobatan, gereja kehilangan otoritas rohaninya dan perlahan berubah menjadi institusi sosial yang kehilangan urapan dan suara profetik.

VI.        SERUAN PERTOBATAN

Setelah melihat begitu banyak penyimpangan yang terjadi—baik dalam pengajaran, karakter, maupun otoritas pelayanan—maka jelas bahwa jawaban satu-satunya adalah pertobatan yang sejati, bukan pertobatan sekadar ucapan, tetapi pertobatan yang ditandai dengan kembali kepada panggilan awal gereja sebagai tubuh Kristus yang kudus, tulus, dan benar. Gereja Tuhan tidak dipanggil untuk sekadar aktif secara struktur, tetapi hidup benar di hadapan Allah. Tuhan tidak mencari mimbar yang ramai, tetapi hati yang gentar kepada firman. Maka, seruan Tuhan hari-hari ini sangat jelas: KEMBALI. Kembali bukan kepada tradisi atau popularitas, tetapi kepada intisari panggilan rohani yang menyelamatkan. Tuhan memanggil gereja untuk kembali kepada:

6.1             Kekudusan.  Kekudusan adalah tanda utama umat Allah. Tanpa kekudusan, tidak seorang pun akan melihat Tuhan (Ibrani 12:14). Kekudusan bukan soal penampilan luar atau kata-kata indah, tetapi gaya hidup yang terpisah dari dosa, dan hidup yang dikhususkan bagi Tuhan. Gereja hari ini banyak berbicara soal berkat, mujizat, dan pengurapan, namun sering melupakan bahwa semua itu kehilangan kuasa tanpa kekudusan. Pelayanan tanpa kekudusan adalah aktivitas tanpa urapan. Gereja bisa ramai, tapi tidak menghasilkan pertobatan. Bisa megah, tapi kosong secara rohani. Bangunan bisa indah, liturgi bisa teratur, program bisa berjalan, tetapi semua itu tidak menjamin kehadiran Tuhan. Jemaat bisa aktif mengikuti ibadah setiap minggu, tetapi tetap hidup dalam dosa yang sama dari tahun ke tahun. Pelayanan bisa penuh sorak-sorai dan sorotan lampu, tetapi tidak membawa transformasi hati. Banyak orang datang ke gereja untuk mencari kenyamanan, bukan kebenaran; mencari penghiburan emosional, bukan konfrontasi rohani. Ada banyak pelayanan yang hanya memoles luka, bukan menyembuhkannya. Firman disampaikan sebatas motivasi, bukan konfrontasi; penuh penguatan, tapi miskin panggilan untuk bertobat. Kebaktian dirancang agar menyenangkan, bukan menyucikan. Akibatnya, gereja tidak lagi membentuk murid, tetapi sekadar mengumpulkan penonton yang loyal kepada gaya, bukan kepada salib. Maka pertobatan sejati harus dimulai—secara pribadi maupun kolektif. Gereja harus kembali kepada kesadaran bahwa tidak ada pertumbuhan tanpa pertobatan, tidak ada urapan tanpa penyucian, dan tidak ada otoritas tanpa ketundukan. Inilah panggilan Kristus bagi gereja-Nya: Bukan hanya menjadi terang yang dilihat orang, tetapi menjadi bejana yang layak bagi kemuliaan-Nya—artinya, gereja tidak dipanggil sekadar tampil bersinar di depan publik dengan citra rohani dan aktivitas yang mengesankan, tetapi dipanggil untuk menjadi wadah yang bersih, tulus, dan taat, yang benar-benar memantulkan karakter Kristus. Terang sejati bukan hanya soal pengaruh luar, tetapi tentang kemurnian dalam. Tuhan tidak mencari penampilan, tetapi kesetiaan. Bejana yang retak karena dosa tersembunyi tidak akan mampu menampung hadirat-Nya, seberapa indah pun kelihatannya di luar. Karena itu, Tuhan rindu menjadikan gereja bukan hanya terlihat terang, tetapi sungguh-sungguh membawa terang yang lahir dari kehidupan yang disucikan—terang yang memancarkan kasih, bukan ambisi; kebenaran, bukan pencitraan; dan pertobatan, bukan pembenaran diri. Sebab hanya gereja yang disucikanlah yang bisa membawa dampak ilahi yang sejati, bukan sekadar kesan spiritual di mata manusia, tetapi kuasa kehidupan yang mentransformasi dunia, perubahan nyata—dari dosa ke kekudusan, dari egoisme ke pelayanan, dari kebiasaan lama ke karakter Kristus. Gereja yang ditransformasi tidak hanya mengajar kebenaran, tapi menghidupinya, sehingga jemaat sungguh mengalami perubahan hidup.

6.2   Ketulusan. Ketulusan adalah napas rohani dari setiap pelayanan yang murni. Tuhan melihat hati, bukan pencitraan. Dalam dunia gereja yang semakin visual dan performatif, mudah sekali seseorang tampil dengan bahasa dan ekspresi rohani yang kelihatan dalam, padahal motivasinya mencari pujian, pengaruh, atau kekuasaan. Pelayan sejati adalah mereka yang tetap melayani meskipun tidak disorot, tidak dibayar, dan tidak dianggap. Ia tetap mengasihi meski disalahpahami, dan tetap mengabdi meski tidak dihormati. Gereja perlu kembali kepada pelayan yang menyampaikan kebenaran bukan untuk disukai, tetapi untuk menyenangkan hati Tuhan. Dalam zaman di mana popularitas sering menjadi ukuran keberhasilan, banyak pelayan tergoda untuk menyampaikan apa yang disukai telinga, bukan apa yang dibutuhkan jiwa. Kotbah disesuaikan dengan selera jemaat, bukan kehendak Tuhan. Teguran dianggap terlalu keras, kebenaran dianggap tidak relevan, dan salib mulai digantikan oleh motivasi dangkal. Ketulusan bukan soal apa yang terlihat di depan mimbar atau di media sosial, tetapi tentang integritas di balik layar—ketika tidak ada yang menonton, tetapi Tuhan tetap disenangkan. Ada pelayan yang tampak rohani saat memimpin ibadah, tetapi penuh intrik, kepahitan, atau ambisi saat di luar pelayanan. Ada pula yang tampak aktif dan penuh inisiatif, namun sesungguhnya melayani karena ingin dipandang atau mendapat tempat. Tuhan tidak terkesan dengan performa, tetapi mencari hati yang murni. Gereja hari-hari ini membutuhkan pelayan yang tulus, bukan pintar bersandiwara rohani; yang jujur dalam motivasi, bukan licin dalam manuver. Keberhasilan bukan diukur dari banyaknya pengikut, tapi dari kesetiaan menyampaikan kebenaran. Tuhan memanggil gereja untuk kembali—hati bersih, pelayanan lurus, panggilan murni. Pelayanan tulus berbuah kekal, yang palsu hanya menyisakan puing saat sorotan padam.

6.3             Kejujuran dalam Pelayanan. Terlalu banyak firman hari ini digunakan untuk membenarkan diri, menekan orang lain, atau membungkus ambisi pribadi. Tapi firman Tuhan bukan alat untuk citra—firman adalah kebenaran yang menyucikan. Ia memotong, membersihkan, dan menyadarkan. Pelayanan yang jujur tidak akan memutarbalikkan ayat, dan tidak akan mengklaim “Tuhan berbicara” jika Tuhan tidak berkata. Lebih baik diam dalam takut akan Tuhan, daripada berbicara atas nama-Nya tanpa sungguh-sungguh mendengar suara-Nya. Pelayan sejati bukan yang paling banyak bicara, tapi yang paling setia hidup dalam firman. Kejujuran dalam pelayanan mencakup:

1)     Tidak memanipulasi jemaat demi tujuan pribadi. Pelayan yang takut akan Tuhan tidak menjadikan jemaat sebagai alat untuk memenuhi ambisi, reputasi, atau agenda pribadinya. Manipulasi bisa terjadi secara halus, seperti membuat jemaat merasa berdosa jika tidak setuju, atau seolah menentang Tuhan jika tidak mengikuti arahan pemimpin. Ada juga yang menggunakan istilah seperti “pengurapan,” “visi Tuhan,” atau “kehendak Roh Kudus” untuk menjustifikasi keputusan yang sebenarnya lahir dari keinginan manusiawi. Motivasi yang salah menghasilkan pelayanan yang merusak. Ketika mimbar dipakai untuk mengatur, bukan membimbing; ketika persembahan dikaitkan dengan berkat manipulatif; dan ketika pemimpin menuntut kesetiaan pada dirinya, bukan pada Kristus—di situlah gereja kehilangan suara profetiknya. Pelayan sejati tidak mencetak pengikut pribadi, tetapi murid Kristus—bukan mengajak jemaat loyal pada dirinya, apalagi menjerumuskan mereka ke dalam tindakan pembangkangan terhadap otoritas gereja, yang dibungkus seolah-olah sebagai "suara Tuhan." Lebih tragis lagi, hal ini sering dikemas dengan gaya rohani emosional: doa yang histeris, tangisan, dan teriakan “Tuhan berbicara!”, padahal yang sedang digerakkan bukanlah Roh Kudus, tetapi ambisi pribadi dan kepahitan yang disamarkan secara spiritual. Inilah bentuk penyesatan halus yang berbahaya, karena dibungkus dengan simbol-simbol kekudusan, tetapi menjauhkan jemaat dari ketundukan, pertobatan, dan kehendak Tuhan yang sejati. Semangat rohani yang terlihat di luar justru sering dipakai untuk menutupi pemberontakan hati yang tidak mau tunduk pada kebenaran atau otoritas rohani. Salah satu contoh nyata adalah sekumpulan jemaat yang keluar dari gereja dengan alasan “tidak lagi satu visi dan misi secara rohani.” Mereka memakai bahasa seolah penuh hikmat dan penyataan Tuhan, namun di balik itu menyebar fitnah terhadap gereja lamanya, menjelekkan gembalanya sendiri, dan mengklaim bahwa mereka lebih mengerti suara Tuhan. Bahkan secara tidak sadar, mereka menempatkan diri lebih benar daripada pendetanya—bahkan merasa lebih kudus daripada Yesus sendiri. Mereka membentuk kelompok baru, bukan karena visi ilahi, tetapi karena ambisi tersembunyi yang dibungkus spiritualitas palsu. Ini bukan buah dari pewahyuan, tetapi hasil dari hati yang luka dan tidak bersedia dipulihkan. Dan karena mereka mengatasnamakan Tuhan dalam setiap langkah, mereka tidak merasa berdosa—padahal mereka sedang membawa jemaat lain ke dalam kebingungan dan pemberontakan yang disamarkan sebagai kesalehan. Mereka menyebut diri lebih rohani, padahal sedang menabur benih pemberontakan yang mengakar dalam sikap hati yang tidak mau ditegur dan tidak mau ditundukkan. Tragisnya, karena semua dibungkus dengan aktivitas doa, puasa, dan bahasa rohani, banyak yang terpedaya dan ikut terseret dalam semangat "melawan demi Tuhan," padahal sebenarnya melawan otoritas yang sah. Lambat laun, seluruh komunitas ini—dari yang muda sampai yang tua—dibentuk dengan pola pikir pembangkang. Pemuda-pemudanya tumbuh tanpa rasa hormat terhadap gembala, para orang tuanya terbiasa menghakimi gereja lama dan menyebar narasi rohani yang manipulatif. Akhirnya, terbentuklah sebuah kelompok yang secara lahiriah kelihatan giat, tapi secara rohani kehilangan ketundukan dan kehilangan urapan. Mereka bukan lagi murid Kristus yang taat, tetapi kumpulan orang yang membentuk "gereja" sendiri berdasarkan kekecewaan, bukan kebenaran; atas dasar sakit hati, bukan panggilan ilahi. Dalam ketidakpuasan yang disamarkan sebagai visi rohani, mereka menciptakan ruang pelayanan yang tidak tunduk kepada siapa pun, dan menjadikan perasaan sebagai dasar arah pelayanan. Inilah saatnya untuk bertobat—karena kekudusan tidak dibangun di atas kemarahan, dan gereja tidak lahir dari pemberontakan. Tuhan tidak memanggil umat-Nya untuk melawan dalam nama-Nya, tetapi untuk tunduk dan dibentuk di bawah tangan-Nya. Berimanlah secara waras: jangan jadikan emosi sebagai nabi, dan jangan jadikan kekecewaan sebagai Roh Kudus. Allah mencari orang-orang yang rendah hati, yang mau dipulihkan, bukan yang terus mengklaim suara-Nya untuk membenarkan luka yang belum diserahkan. Pertobatan adalah jalan pulang; bukan hanya kepada struktur, tapi kepada Tuhan sendiri. Sebab siapa yang terus membangun di atas dasar yang salah, tidak sedang membangun gereja—melainkan menumpuk dosa atas nama pelayanan.

2)     Tidak memakai bahasa rohani untuk menyembunyikan dosa. Salah satu bentuk penyimpangan yang paling berbahaya dalam pelayanan adalah menyembunyikan dosa pribadi atau kesalahan struktural di balik kalimat-kalimat rohani. Orang yang melakukan ini tidak lagi memakai firman untuk pertobatan, tetapi memutarbalikkan kebenaran untuk melindungi pelanggaran. Misalnya, ketika seorang pelayan melakukan pelanggaran moral, penyalahgunaan uang, atau bahkan tindakan manipulatif dalam gereja, lalu saat dikoreksi, ia tidak bertobat, tetapi justru berkata:

·     “Jangan sentuh orang yang diurapi Tuhan.”

·     “Tuhan yang menyuruh saya begini.”

·     “"Saya cukup jawab ke Tuhan, tidak perlu jelaskan ke manusia..”

Kalimat seperti ini terdengar rohani, tapi dipakai untuk menolak pertanggungjawaban dan menutup ruang evaluasi. Ia memakai posisi rohani sebagai tameng, bukan sebagai tanggung jawab. Ini adalah bentuk penyalahgunaan simbol kekudusan, yang menyesatkan jemaat dan menghina kekudusan Tuhan. Lebih parah lagi, ketika dosa itu dibungkus dengan tindakan yang tampak spiritual: berdoa keras-keras, menangis di altar, menyebut-nyebut nama Tuhan dengan emosi tinggi, seolah kesalehan emosional bisa menggantikan pertobatan yang sejati. Padahal, dalam Alkitab, Tuhan justru menolak ibadah yang tidak disertai pertobatan. Yesaya 1:15 berkata, “Sekalipun kamu banyak berdoa, Aku tidak akan mendengar; tanganmu penuh dengan darah.” Ini menunjukkan bahwa aktivitas rohani tidak pernah bisa menutupi dosa yang tidak dibereskan. Dan yang paling lebih tragis lagi ketika ditegur dengan kasih dan kebenaran, ia malah balik menyerang—menuduh orang lain tidak dewasa rohani, iri hati, atau tidak memahami kehendak Tuhan. Padahal, teguran yang datang bukan untuk menjatuhkan, tetapi sebagai bentuk kasih dan tanggung jawab struktural, agar ia bertobat dan dipulihkan,  hal inilah yang disebut menyembunyikan dosa dengan bahasa rohani bukan hanya kemunafikan, tetapi bentuk kebohongan spiritual yang sangat serius. Dan pelayan yang terbiasa melakukannya sedang memimpin jemaat kepada kepalsuan, bukan kepada kebenaran. Gereja perlu kembali kepada kejujuran rohani—bukan hanya tampil benar, tetapi berani mengakui dosa, sungguh-sungguh bertobat, dan membuka diri untuk disiplin yang membentuk karakter Kristus. Pelayanan sejati tidak dibangun di atas citra, tetapi di atas kesediaan untuk diubahkan. Tanpa kejujuran, gereja hanya akan menciptakan orang-orang yang pandai menyembunyikan dosa, tetapi tidak pernah mengalami kuasa pemulihan. Tuhan lebih menghargai air mata pertobatan yang tulus, meski sederhana dan tersembunyi, daripada teriakan nubuat yang menggelegar tetapi kosong dari kebenaran. Sebab air mata yang keluar dari hati yang remuk adalah korban yang berkenan                       kepada-Nya, sedangkan semua bentuk ekspresi rohani yang tidak lahir dari pertobatan sejati hanyalah kebisingan yang tidak didengar surga. Gereja yang jujur mungkin tidak sempurna, tetapi akan terus disempurnakan Sebaliknya, gereja yang sibuk mempertahankan citra akan kehilangan hadirat, dan digantikan oleh aktivitas tanpa kuasa—semakin sibuk melayani, tapi semakin jauh dari Tuhan; terus bergerak, tapi tanpa arah rohani. Akhirnya,gereja tampak hidup di mata manusia, tapi sebenarnya sedang sekarat  di mata Tuhan.

3)     Tidak menyesuaikan firman agar sesuai selera pendengar. Dalam banyak pelayanan saat ini, firman Tuhan cenderung disesuaikan dengan suasana, tren, atau kenyamanan pendengar—bukan lagi disampaikan apa adanya sesuai kebenaran Alkitab. Kotbah-kotbah dirancang agar terasa ringan, menghibur, dan tidak menyinggung; istilah dosa dihindari, salib tidak lagi ditegaskan, dan pertobatan tidak lagi dikhotbahkan secara jelas karena dianggap terlalu “keras” atau “tidak relevan.” Gereja mulai berubah menjadi panggung motivasi, bukan tempat perjumpaan dengan kebenaran. Firman disesuaikan agar cocok dengan gaya hidup jemaat, bukan jemaat yang dibentuk agar hidupnya selaras dengan firman. Pengkhotbah lebih takut kehilangan jemaat daripada kehilangan hadirat Tuhan. Akibatnya, banyak jemaat yang merasakan kenyamanan, tapi tidak mengalami pertobatan; terhibur secara emosional, tapi tidak berubah secara moral. Fenomena ini tampak dari kotbah yang hanya fokus pada berkat tanpa menyinggung dosa, firman yang dipotong atau dilewati jika terasa menegur atau tidak populer, serta pesan-pesan rohani yang disesuaikan demi menyenangkan pihak tertentu, menjaga suasana, atau demi mempertahankan popularitas pelayan. Akibatnya, gereja kehilangan suara profetiknya dan jemaat tidak lagi dibentuk oleh kebenaran, melainkan oleh kenyamanan. Padahal, firman Tuhan tidak diutus untuk menyenangkan manusia, melainkan untuk mengubah manusia (2 Timotius 3:16). Jika kebenaran dikaburkan demi kenyamanan, maka gereja akan kehilangan tajamnya pedang Roh, dan jemaat akan tumbuh dalam ilusi, bukan dalam kebenaran. Seorang pelayan yang takut akan Tuhan tidak menyesuaikan firman untuk audiens, tapi mengajar jemaat untuk menyesuaikan hidup mereka kepada firman. Karena tujuan pelayanan bukan untuk membuat jemaat nyaman, tetapi untuk membawa mereka kepada pertobatan yang sejati dan kedewasaan rohani yang kokoh. Pelayanan sejati tidak hanya membelai perasaan, tapi menghadapkan jemaat pada cermin firman, agar mereka diubahkan, ditegur, dan dibentuk sesuai gambar Kristus. Gereja bukan tempat hiburan rohani, tetapi ruang pemurnian bagi karakter ilahi. Jika pelayanan hanya berfokus pada kenyamanan, maka gereja akan menghasilkan jemaat yang rapuh—mudah tersinggung, sulit dikoreksi, dan tidak tahan menghadapi proses Allah. Tapi jika gereja setia pada panggilannya, ia akan membentuk orang-orang yang bertumbuh bukan karena disenangkan, melainkan karena dikuduskan.

Kejujuran adalah jalan menuju pemulihan. Gereja yang berani mengakui luka dan menanggalkan topeng kerohanian akan menemukan kasih karunia yang menyembuhkan. Gereja yang jujur akan bertobat, karena ia tidak sibuk mempertahankan citra, tetapi membuka diri terhadap terang kebenaran. Dan gereja yang bertobat akan dipulihkan—bukan hanya secara struktur, tetapi secara hati, karakter, dan arah rohani. Ia akan kembali menjadi tempat di mana firman diberitakan dengan gentar, kasih dilaksanakan dengan murni, dan pelayanan dijalankan bukan untuk manusia, tapi untuk Tuhan. Gereja yang dipulihkan akan kembali menjadi terang di tengah kegelapan dunia. Bukan karena fasilitas, program, atau popularitasnya—tetapi karena hadirat Allah nyata di tengah umat yang rendah hati, bertobat, dan berjalan dalam kebenaran. Inilah gereja yang dicari Tuhan: bukan yang sempurna, tetapi yang setia; bukan yang ramai, tetapi yang benar; bukan yang disorot banyak orang, tetapi yang diperkenan Tuhan. Sebab di hadapan-Nya, kesetiaan lebih berharga dari keramaian, dan kebenaran lebih mulia dari pengaruh. Inilah waktunya gereja bangkit—bukan dengan kebisingan, tetapi dengan kekudusan; bukan dengan gemuruh acara, tetapi dengan pertobatan yang murni. Sebab hanya gereja yang kuduslah yang mampu berdiri teguh di tengah gelombang zaman dan tetap menyuarakan hati Tuhan tanpa kompromi.

VII.           PENUTUP

Dusta atas nama Tuhan adalah bentuk pelanggaran serius terhadap kekudusan firman. Ini bukan hanya soal salah bicara atau keliru bernubuat, tetapi soal mencemarkan nama Tuhan demi kepentingan diri sendiri. etika seseorang mengaku menyuarakan kehendak Tuhan, padahal yang ia sampaikan hanyalah ambisinya sendiri, maka ia sedang menipu umat yang tulus mencari kebenaran, dan sekaligus menghina otoritas sorgawi dengan mencatut nama Allah untuk kepentingan pribadi. Ia menjadikan suara Tuhan sebagai alat legitimasi bagi rencana pribadinya, bukan sebagai jalan ketaatan. Ini bukan hanya penyimpangan, tetapi bentuk penistaan terhadap kekudusan pewahyuan, karena ia menukar kehendak Tuhan dengan narasi yang dikarang oleh kehendaknya sendiri, lalu menyampaikannya seolah-olah berasal dari Roh Kudus. Dalam perspektif Alkitab, tindakan ini setara dengan pencurian firman dan penyalahgunaan otoritas ilahi, seperti yang ditegur keras dalam Yeremia 23. Dan lebih berbahaya lagi, ketika umat percaya pada suara itu tanpa menguji, maka seluruh tubuh Kristus disesatkan oleh sesuatu yang terdengar rohani, tetapi tidak berasal dari Allah. Itulah sebabnya setiap pelayan Tuhan harus gentar saat berkata “Tuhan berkata…”, sebab di balik kalimat itu ada tanggung jawab surgawi yang tidak bisa dipermainkan.

Dalam realitas gereja masa kini, penyesatan rohani tidak selalu muncul dalam bentuk ajaran sesat yang jelas dan terang-terangan. Justru yang paling berbahaya adalah penyesatan yang dibungkus dalam bahasa rohani, liturgi yang tampak kudus, dan pelayanan yang emosional tetapi tidak membawa jemaat kepada pertobatan. Segala sesuatu terlihat benar secara simbolik—doa diucapkan, nama Tuhan disebut, mimbar dipakai, bahkan nubuat diumumkan—namun hati para pelayannya menjauh dari kebenaran. Gaya pelayanan digerakkan oleh emosi, bukan oleh kebenaran. Jemaat dibuat menangis, bersorak, bahkan bergetar, tapi tidak pernah dibawa pada pertobatan yang sejati. Firman disampaikan dengan selektif—yang keras dilewati, yang nyaman dibesar-besarkan. Para pemimpin menuntut loyalitas penuh, tapi tidak bersedia dikoreksi. Teguran dianggap serangan, disiplin dianggap penganiayaan, dan struktur dianggap penghalang "suara Tuhan" pribadi. Bahayanya terletak pada kemiripan luarnya dengan hal-hal rohani yang sejati, padahal substansinya telah menyimpang jauh dari Kristus. Ibarat cawan emas yang tampak bersinar, tetapi isinya racun. Gereja seperti ini membuat banyak orang tertipu, karena mereka merasa sedang menyembah Tuhan, padahal mereka sedang ditarik jauh dari-Nya—secara halus, tapi pasti. Itulah sebabnya gereja masa kini harus berjaga-jaga. Bukan hanya terhadap ajaran sesat secara doktrin, tetapi terhadap penyimpangan gaya hidup rohani yang mengganti kekudusan dengan popularitas, mengganti ketaatan dengan retorika, dan mengganti salib dengan sensasi. Jika gereja tidak kembali kepada integritas dan firman yang murni, maka suara Tuhan akan digantikan oleh gema ambisi manusia yang mengaku bernubuat.

Karena itu, tugas gereja bukan hanya menjalankan program dan aktivitas rohani, tetapi menguji segala roh, menilai ajaran dengan Firman, dan melatih jemaat untuk tidak terpesona pada penampilan rohani, tetapi berakar dalam kebenaran Kristus. Gereja perlu kembali kepada ketajaman firman, ketulusan hati, dan ketundukan kepada otoritas ilahi, agar tidak terseret arus kebohongan rohani yang semakin halus namun mematikan. Gereja yang benar bukan yang paling ramai, paling viral, atau paling emosional—melainkan yang paling setia, paling takut akan Tuhan, dan paling jujur dalam menyampaikan kebenaran. Kini saatnya gereja bangkit, bukan dengan kebisingan spiritual, tetapi dengan kekudusan hidup. Sebab hanya gereja yang kuduslah yang akan bertahan di tengah goncangan zaman, dan tetap menjadi suara yang menyuarakan isi hati Tuhan kepada dunia.

 

DAFTAR PUSTAKA

Alkitab Terjemahan Baru (LAI), Yeremia 23:25–32

Catatan pelayanan pribadi dan pengalaman penggembalaan

Refleksi atas dinamika gereja kontemporer di lingkungan Gereja Gereja

 

============

Biografi Singkat Penulis– Pdt. Syaiful Hamzah Nahampun, M.Th

Gembala Sidang GBI Jl. Plumpang Semper No.22 (JPS22) – Jakarta Utara

Gembala Cabang GBI PRJ Sion – Pearaja Parlilitan, Sumatera Utara

=============

 

Lahir                                : 12 April 1974

Pendidikan                        : Magister Teologi (M.Th)

Sedang menempuh            : Program Doktor (S3) di STT Gragion

Sinode                              : Gereja Bethel Indonesia (GBI)

Istri                                  : Pdm. Tiolida Sihotang S.PdK

Anak                                 : Malkhi K dan Josua Rajahot Eklesyaiful Nahampun

 

Profil Pelayanan

·     Dipanggil dari latar belakang kehidupan yang keras, Pdt. Syaiful Hamzah Nahampun melayani dengan hati yang tulus dan komitmen tinggi terhadap kebenaran firman Tuhan serta ketaatan terhadap struktur dan doktrin GBI.

·     Bersama istri, Pdm. Tiolida Sihotang S.PdK, beliau menggembalakan jemaat di berbagai wilayah, termasuk cabang-cabang luar Jakarta seperti Dayun (Riau) dan Pearaja Parlilitan (Sumatera Utara).

·     Pernah menggembalakan sebuah jemaat di salah satu daerah di Riau secara sah di bawah GBI JPS No. 22, namun kemudian menghadapi pembangkangan jemaat yang keluar secara sepihak tanpa ketaatan rohani maupun struktural.

·     Pelayanannya menekankan pemuridan sejati dalam karakter, pertobatan, dan tanggung jawab, serta menyoroti bahaya teologi spiritual bypass—kerohanian semu yang menghindari pemulihan dan keadilan.

·     Saat ini, beliau juga menempuh studi doktoral (S3) dalam bidang Misi di STT Gragion, dan aktif mengajar sebagai dosen di beberapa sekolah tinggi teologi, membentuk pemimpin-pemimpin gereja yang sehat secara doktrin maupun karakter.

 

 

Catatan Penting: Tulisan ini disusun khusus untuk kalangan sendiri sebagai bahan ilustrasi rohani dan refleksi teologis. Jika terdapat kemiripan dengan peristiwa, tempat, atau individu tertentu, itu tidak disengaja dan bukan merupakan tuduhan pribadi, melainkan ajakan untuk perenungan bersama dalam terang Firman Tuhan. Dilarang menyalin, menyebarluaskan, atau memperbanyak isi tulisan ini tanpa izin tertulis dari penulis.