DENDAM DALAM PENGAMPUNAN
Oleh: Pdt. Syaiful Hamzah, M.Th
I. PENDAHULUAN
Pengampunan adalah inti dari ajaran Kristen, namun tidak berarti mudah dijalani. Banyak orang memahami pengampunan secara doktrinal, tetapi tidak mengalaminya secara emosional. Terutama ketika luka begitu dalam dan dikhianati oleh orang yang dulu kita percaya, pengampunan menjadi medan spiritual yang sangat berat. Salah satu bahaya rohani yang muncul adalah munculnya dendam yang dibungkus dengan pengampunan palsu: di mulut mengampuni, tapi di hati menyimpan api. Inilah yang hendak kita renungkan: bagaimana menundukkan dendam di dalam pengampunan sejati.
Yusuf sendiri menunjukkan bentuk dendam—tetapi bukan dendam untuk menghancurkan. Dendam Yusuf bukan untuk membalas sakit hati, melainkan sebagai cara Allah untuk menyadarkan saudara-saudaranya atas kejahatan yang telah mereka lakukan. Dendamnya bukan destruktif, tetapi korektif. Ia menekan perasaan mereka, menguji integritas mereka, dan pada akhirnya membawa mereka kepada pertobatan yang tulus. Inilah bentuk pengampunan yang mengandung proses, bukan pelupaan.
II. LANDASAN ALKITABIAH
Kejadian 50:19–20
"Tetapi Yusuf berkata kepada mereka: 'Jangan takut, sebab aku inikah pengganti Allah? Memang kamu telah mereka-rekakan yang jahat terhadap aku, tetapi Allah telah mereka-rekakannya untuk kebaikan...'"
Yusuf adalah contoh konkret bagaimana pengampunan tidak meniadakan luka, tetapi menjadikannya alat bagi rencana Allah yang lebih besar. Ia tidak membalas, tetapi juga tidak menghapus jejak proses. Ia mendiamkan, menekan, lalu menata ulang relasi. Ini pengampunan yang bijak, bukan buta.
Namun, kita juga harus mengingat bahwa Yusuf tidak serta-merta mengampuni tanpa proses. Ia menyusun langkah-langkah tertentu yang menunjukkan adanya bentuk penekanan mental dan emosi terhadap saudara-saudaranya. Dalam hal ini, Yusuf tetap menyimpan jejak dari apa yang mereka lakukan—bukan sebagai bentuk pembalasan, melainkan sebagai alat Tuhan untuk membentuk kesadaran dan pertobatan mereka.
Dengan kata lain, tindakan Yusuf yang kelihatannya “keras” sebenarnya adalah bentuk kasih yang matang. Ia tidak membiarkan luka itu dihapus begitu saja, melainkan menjadikannya alat untuk mengantar para pelaku kepada pengakuan dan pertobatan yang sejati.
Karena itu, jangan buru-buru menyebut sebuah teguran sebagai tindakan kasar hanya karena terasa tidak nyaman. Banyak orang justru sadar dan bertobat setelah mengalami pukulan kasih—entah berupa teguran keras, proses hukum, atau bahkan penjara. Tuhan pun sering memakai cara-cara yang tegas untuk menyadarkan, bukan karena benci, tetapi karena Ia mengasihi.
Kadang-kadang, ada pengkhotbah yang kata-katanya terdengar keras—tetapi sebenarnya ia sedang menyampaikan fakta rohani demi pertobatan. Jangan nilai hanya dari gayanya, sebab setiap pengkhotbah memiliki karakter dan cara penyampaian yang berbeda, namun bisa sama-sama dipakai Tuhan.
Sayangnya, banyak orang saat ini justru lebih suka mendengar khotbah yang menyenangkan jiwa, padahal rohaninya sedang sakit. Mereka lebih mencari hiburan daripada pertobatan—dan inilah yang membuat banyak kebenaran akhirnya ditolak, hanya karena terasa tidak nyaman.
III. DENDAM DALAM BAYANGAN PENGAMPUNAN
(Didasarkan pada Kejadian 42:1–38)
Kisah Yusuf dalam Kejadian 42 memberikan gambaran luar biasa tentang bagaimana seseorang yang telah disakiti berat—dikhianati, dijual, dan dilupakan—tetap bisa mengatur emosi, mengambil langkah bijak, dan menata ulang relasi. Dendam Yusuf bukanlah untuk melukai, tetapi untuk membentuk. Dari sinilah kita belajar bahwa pengampunan bukan berarti meniadakan proses. Berikut ini beberapa pelajaran penting:
1. Mengampuni bukan berarti tidak terluka
Yusuf menyembunyikan identitas dan berbicara dengan keras (Kej. 42:7). Jangan menipu Tuhan dengan menyembunyikan luka di balik ayat-ayat rohani hanya demi terlihat kuat secara rohani.
2. Mengampuni bukan berarti membebaskan orang dari tanggung jawab
Yusuf menahan Simeon dan menyuruh mereka membawa Benyamin (Kej. 42:19–20). Dalam dunia ini, tanggung jawab juga bisa dituntut lewat hukum negara.
3. Mengampuni bukan berarti menoleransi kejahatan
Yusuf menguji motivasi dan pertobatan mereka (Kej. 42:15–16). Jangan gunakan ayat untuk menutupi dosa—itu manipulasi rohani dan melukai kebenaran Tuhan.
4. Mengampuni tidak meniadakan rasa sakit masa lalu
Yusuf menangis diam-diam (Kej. 42:21–24). Luka lama masih nyata dan harus dihadapi secara dewasa.
5. Mengampuni berarti memberi ruang bagi proses pemulihan
Yusuf menyusun langkah-langkah pemulihan secara bertahap (Kej. 42–43). Pengampunan sejati tidak terburu-buru, tapi memberi waktu bagi pertobatan yang tulus.
V. MENYEMBUHKAN DIRI DI TENGAH LUKA
Mengampuni bukan berarti kebal terhadap rasa sakit. Setiap orang yang pernah dilukai, dikhianati, atau diabaikan dalam pelayanan pasti mengalami luka batin. Namun sebagai hamba Tuhan, kita dipanggil untuk tidak berhenti di luka, tetapi melangkah menuju pemulihan. Berikut ini lima langkah penting untuk menyembuhkan diri di tengah luka:
1. Berani Mengakui Luka
Jangan menyangkal bahwa kita terluka. Kejujuran adalah langkah awal pemulihan. Ketika kita mengakui luka kita kepada Tuhan dan kepada orang yang tepat, kita membuka pintu bagi anugerah untuk bekerja.
2. Mengizinkan Roh Kudus Menyentuh dan Menyembuhkan
Luka rohani tidak bisa disembuhkan oleh logika atau kekuatan manusia. Kita perlu membiarkan Roh Kudus menjamah bagian terdalam dari hati kita melalui doa, penyembahan, dan perenungan firman. Ia tahu di mana bagian yang paling sakit, dan Ia tidak pernah gagal menyentuhnya dengan kelembutan kasih.
3. Bersikap Tegas Tanpa Kehilangan Kasih
Pengampunan tidak meniadakan ketegasan. Kita bisa mengampuni sambil tetap menetapkan batas. Teguran yang sehat adalah tanda kasih, bukan kebencian. Seperti Tuhan mendisiplinkan anak yang dikasihi-Nya, kita pun dipanggil untuk bersikap tegas tanpa membalas.
4. Tidak Menjadikan Luka sebagai Identitas Diri
Kita bukan korban selamanya. Luka adalah bagian dari perjalanan, bukan label hidup. Identitas kita bukan ditentukan oleh orang yang menyakiti kita, tetapi oleh Tuhan yang memanggil kita. Biarlah luka menjadi bagian dari kesaksian, bukan bayang-bayang yang membentuk karakter kita.
5. Jangan Berkata "Aku Tidak Kecewa" Jika Hati Masih Terluka
Jangan menipu diri sendiri dengan kalimat rohani yang kosong. Banyak orang berkata “saya sudah ikhlas” atau “tidak apa-apa,” padahal di dalam hati mereka masih terbakar oleh kecewa dan amarah. Pengakuan membawa kelepasan. Jujurlah di hadapan Tuhan: lebih baik menangis dalam doa daripada tertawa dalam kepalsuan.
V. TANTANGAN GEREJA DAN PELAYANAN HARI INI
Dalam pelayanan, sering kali pengkhianatan datang dari orang yang pernah ditolong. Diangkat, dibentuk, lalu berbalik menyerang. Di situlah pengampunan menjadi ujian iman—bukan retorika, tetapi perjuangan.
Dendam bisa muncul bukan karena kebencian, tapi karena rasa tidak dihargai dan disakiti. Di sinilah iman diuji: apakah kita mengampuni karena kasih, atau hanya karena terpaksa?
Namun demikian, kita juga harus berhati-hati agar jangan menjadi penyebab orang lain menyimpan dendam karena sikap, kata-kata, atau tindakan kita yang menyakitkan. Jika itu terjadi karena kelalaian atau kesombongan kita, maka kita pun harus siap menghadapi konsekuensinya—baik secara moral, spiritual, maupun sosial.
Sebab ketika seseorang sudah terluka dan dendam mulai tumbuh, satu-satunya jalan pemulihan adalah ketika ia melihat pihak yang melukainya bertanggung jawab. Dendam akan mereda ketika luka dihargai, kebenaran ditegakkan, dan keadilan dipulihkan—dengan cara yang bijak, bertanggung jawab, dan berlandaskan kasih serta kebenaran Tuhan.
DAFTAR PUSTAKA
Alkitab Terjemahan Baru (LAI)
Catatan pelayanan pribadi dan pengalaman penggembalaan
Refleksi atas dinamika gereja kontemporer di lingkungan Gereja Gereja
============
Biografi Singkat Penulis– Pdt. Syaiful Hamzah Nahampun, M.Th
Gembala Sidang GBI Jl. Plumpang Semper No.22 (JPS22) – Jakarta Utara
Gembala Cabang GBI PRJ Sion – Pearaja Parlilitan, Sumatera Utara
=============
Lahir : 12 April 1974
Pendidikan : Magister Teologi (M.Th)
Sedang menempuh : Program Doktor (S3) di STT Gragion
Sinode : Gereja Bethel Indonesia (GBI)
Istri : Pdm. Tiolida Sihotang S.PdK
Anak : Malkhi K dan Josua Rajahot Eklesyaiful Nahampun
Profil Pelayanan
· Dipanggil dari latar belakang kehidupan yang keras, Pdt. Syaiful Hamzah Nahampun melayani dengan hati yang tulus dan komitmen tinggi terhadap kebenaran firman Tuhan serta ketaatan terhadap struktur dan doktrin GBI.
· Bersama istri, Pdm. Tiolida Sihotang S.PdK, beliau menggembalakan jemaat di berbagai wilayah, termasuk cabang-cabang luar Jakarta seperti Dayun (Riau) dan Pearaja Parlilitan (Sumatera Utara).
· Pernah menggembalakan sebuah jemaat di salah satu daerah di Riau secara sah di bawah GBI JPS No. 22, namun kemudian menghadapi pembangkangan jemaat yang keluar secara sepihak tanpa ketaatan rohani maupun struktural.
· Pelayanannya menekankan pemuridan sejati dalam karakter, pertobatan, dan tanggung jawab, serta menyoroti bahaya teologi spiritual bypass—kerohanian semu yang menghindari pemulihan dan keadilan.
· Saat ini, beliau juga menempuh studi doktoral (S3) dalam bidang Misi di STT Gragion, dan aktif mengajar sebagai dosen di beberapa sekolah tinggi teologi, membentuk pemimpin-pemimpin gereja yang sehat secara doktrin maupun karakter.
Catatan Penting: Tulisan ini disusun khusus untuk kalangan sendiri sebagai bahan ilustrasi rohani dan refleksi teologis. Jika terdapat kemiripan dengan peristiwa, tempat, atau individu tertentu, itu tidak disengaja dan bukan merupakan tuduhan pribadi, melainkan ajakan untuk perenungan bersama dalam terang Firman Tuhan. Dilarang menyalin, menyebarluaskan, atau memperbanyak isi tulisan ini tanpa izin tertulis dari penulis.