DOSA TERSELUBUNG DI BALIK JABATAN ROHANI (PDT. SYAIFUL HAMZAH M.Th)

 

DOSA TERSELUBUNG

DI BALIK  JABATAN KEKUASAAN

DALAM STRUKTUR GEREJA

 

Mikha 3:11: "Para pemimpinnya memerintah karena suap, para imamnya mengajar karena upah, dan para nabinya menubuat karena uang,  sambil bersandar kepada TUHAN dan berkata:  'Bukankah TUHAN ada di tengah-tengah kita? 

Oleh: Pdt. Syaiful Hamzah M.Th

 

 

I.    PENDAHULUAN

 

Dalam dunia gereja masa kini, struktur organisasi dan jabatan rohani telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari sistem pelayanan. Tata kelola yang rapi, hirarki yang jelas, dan otoritas struktural sesungguhnya dimaksudkan untuk menciptakan ketertiban, mendukung pertumbuhan rohani jemaat, serta memastikan bahwa pelayanan dijalankan dengan integritas dan akuntabilitas. Namun, di balik keindahan sistem itu, tersembunyi bahaya besar yang kerap luput dari perhatian: penyalahgunaan kekuasaan yang terselubung di balik jubah pelayanan.

Jabatan rohani, yang seharusnya mencerminkan kerendahan hati Kristus dan menjadi saluran kasih serta keteladanan ilahi, tak jarang berubah menjadi panggung dominasi. Banyak pemimpin, dengan atau tanpa sadar, tergoda untuk menggunakan posisi mereka bukan sebagai alat melayani, tetapi sebagai alat menguasai. Kejatuhan mereka bukanlah karena kurangnya pengetahuan akan doktrin, melainkan karena hati yang tergoda oleh kuasa, citra, dan keuntungan pribadi. Lebih menyedihkan lagi, bentuk penyalahgunaan ini sering kali dibungkus secara rohani: keputusan-keputusan yang otoriter diklaim sebagai “kehendak Tuhan”, pembungkaman suara kritis dikemas sebagai “pelanggaran terhadap otoritas”, dan pemaksaan kehendak dijustifikasi demi “kesatuan gereja”. Padahal, yang sebenarnya terjadi adalah penggunaan jabatan gerejawi sebagai topeng bagi ambisi pribadi.

Jabatan yang sejatinya merupakan anugerah dan amanat untuk menggembalakan justru dipakai sebagai alat untuk memperluas pengaruh, mengamankan posisi, dan menundukkan orang lain demi kepentingan diri sendiri. Pelayanan yang semestinya berakar pada pengorbanan dan kasih Kristus berubah menjadi arena pertarungan kuasa terselubung, di mana yang berkuasa ingin terus mempertahankan tahtanya—bukan demi kemuliaan Allah, tetapi demi kejayaan pribadi dan gengsi institusional.

Lambang rohani seperti jubah, gelar, struktur, dan bahkan altar, tidak lagi menjadi simbol pengabdian, melainkan menjadi perisai untuk membenarkan dominasi. Dalam banyak kasus, pemimpin semacam ini tidak segan-segan membungkam perbedaan pendapat, menyingkirkan orang yang dianggap tidak sejalan, dan menyusun narasi teologis untuk melegitimasi kekuasaan mereka. Ironisnya, semua itu dilakukan dengan tetap menyebut nama Tuhan, sehingga banyak orang tertipu dan mengira bahwa yang sedang berlangsung adalah kehendak surgawi—padahal hanyalah ambisi pribadi yang disucikan secara palsu.

Fenomena ini sangat berbahaya karena ia tidak kelihatan jahat di permukaan. Sebaliknya, ia tampak saleh, terstruktur, sah menurut sistem gereja—namun busuk di dalam. Inilah dosa terselubung yang paling halus, yang tidak menyerang gereja dari luar, tetapi dari dalam: ketika pelayanan menjadi tempat berlindung bagi ego yang tidak disalibkan, dan jabatan menjadi alat untuk mempertahankan kekuasaan, bukan memikul salib.

Dalam konteks ini, kita perlu dengan jujur dan rendah hati bertanya “Apakah struktur gereja yang kita bangun hari ini sungguh memuliakan Kristus, atau justru menyediakan ruang bagi dosa yang terselubung di balik sistem kekuasaan?”. Tulisan ini bukan sekadar kritik terhadap sistem, melainkan panggilan untuk introspeksi bersama—bahwa jabatan dan otoritas dalam gereja bukanlah milik pribadi yang bisa diwariskan atau dipertahankan dengan cara-cara duniawi, tetapi penatalayanan suci yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan takhta Allah. Mikha 3:11 dengan tajam mengingatkan kita: “Para pemimpinnya memerintah karena suap, para imamnya mengajar karena upah, dan para nabinya menubuat karena uang, sambil bersandar kepada TUHAN dan berkata: ‘Bukankah TUHAN ada di tengah-tengah kita?’”. Di sinilah letak bahaya terbesar: kekuasaan rohani yang tetap aktif secara liturgis, namun mati secara moral. Itulah dosa yang paling berbahaya—bukan karena terang-terangan melawan Tuhan, melainkan karena menyalahgunakan nama-Nya untuk kepentingan diri.

Dosa seperti ini begitu licin dan menipu karena dibungkus dengan liturgi, dihiasi dengan retorika rohani, dan didukung oleh sistem yang tampak sah secara struktural. Ia tidak merusak dari luar, tetapi menggerogoti tubuh Kristus dari dalam, mengaburkan mana yang kudus dan mana yang kotor, hingga umat bingung membedakan antara suara gembala dan suara penguasa. Ketika nama Tuhan digunakan untuk membungkam suara kebenaran, melanggengkan kekuasaan, dan memelihara zona nyaman jabatan, maka sesungguhnya nama Tuhan telah dijadikan tameng untuk menutupi ambisi pribadi. Inilah bentuk penyesatan terselubung yang sangat berbahaya, karena dilakukan bukan oleh orang luar, tetapi oleh mereka yang berdiri di mimbar dan ruang sidang gereja.

Ayat dalam Mikha 3:11 tidak hanya ditujukan kepada Israel zaman dulu, tetapi tetap relevan dan profetik bagi gereja masa kini. Di zaman di mana struktur gereja semakin formal, jabatan semakin hirarkis, dan popularitas sering disalahartikan sebagai urapan, maka pesan ini menjadi cermin bagi kita semua. Banyak kekuasaan rohani dijalankan tanpa takut akan Tuhan—dengan alasan membela kebenaran, tetapi hati dipenuhi kepentingan. Dan lebih tragis lagi, umat sering tidak sadar bahwa yang mereka ikuti bukan lagi suara Kristus,  tetapi sistem yang dikendalikan oleh tangan manusia. Karena itu, kita perlu menyadari beberapa hal penting:

·         Bahwa jabatan rohani bukan milik pribadi, tetapi mandat dari Tuhan yang kudus dan akan dimintai pertanggungjawaban. Jabatan dalam pelayanan bukanlah hak waris, bukan pula milik yang bisa dipertahankan dengan strategi dan kekuasaan manusia. Itu adalah amanat surgawi yang diberikan kepada manusia berdosa yang telah ditebus, agar ia menjadi alat di tangan Tuhan—bukan penguasa atas umat-Nya. Ketika jabatan diperlakukan seolah-olah itu milik pribadi—diperjuangkan, dipertahankan, bahkan diwariskan seperti harta pusaka—maka pelayanan sudah berubah menjadi kerajaan manusia, bukan Kerajaan Allah. Setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban, bukan hanya oleh struktur gereja, tetapi oleh Tuhan sendiri, di hadapan takhta penghakiman-Nya (bdk. 2 Korintus 5:10).

·       Bahwa kekuasaan dalam gereja harus tunduk di bawah salib, bukan menjadi tahta penguasa. Kekuasaan rohani bukanlah kekuasaan duniawi yang dapat digunakan untuk mengontrol, mengancam, atau mendominasi jemaat. Dalam terang salib, kekuasaan rohani harus dijalankan dengan kerendahan hati, pengorbanan, dan kasih, seperti yang diteladankan Kristus ketika Ia membasuh kaki para murid. Jika seorang pemimpin gereja lebih suka duduk di singgasana kehormatan daripada melayani dalam penderitaan dan pengorbanan, maka ia telah mengkhianati makna sejati salib. Salib bukan simbol status, tapi simbol mati terhadap diri sendiri. Gereja bukan tempat untuk membangun tahta, tetapi tempat untuk menyalibkan ego. Di hadapan salib, tidak ada ruang bagi kesombongan struktural, ambisi pribadi, atau keinginan untuk menguasai orang lain. Setiap otoritas dalam gereja harus berakar pada kerelaan untuk mati terhadap diri sendiri, karena hanya orang yang telah disalibkan bersama Kristus yang layak memimpin dalam nama-Nya..

·         Bahwa nama Tuhan tidak boleh dipakai untuk membenarkan ketamakan, ambisi, atau kekerasan rohani. Salah satu bentuk penyesatan paling berbahaya dalam sejarah umat Allah adalah menggunakan nama Tuhan untuk membungkus ambisi pribadi. Ketika seorang pemimpin memakai otoritas ilahi untuk melegalkan tindakan yang didorong oleh keserakahan, rasa haus akan kuasa, atau kebencian terselubung, maka sesungguhnya ia sedang memperalat kekudusan Allah untuk tujuan yang najis. Hal ini sangat sering terjadi dalam sejarah: para nabi palsu dalam Perjanjian Lama bernubuat demi bayaran (Mikha 3:11), para imam mengejar keuntungan materi, bahkan dalam gereja modern pun, tidak sedikit pelayan memakai ayat-ayat suci untuk membungkam kritik, melindungi kepentingan sendiri, atau menjustifikasi tindakan tidak etis yang dilakukan “atas nama Tuhan.” Tuhan tidak akan diam terhadap penyalahgunaan seperti itu. Firman-Nya jelas: “Jangan menyebut nama TUHAN, Allahmu, dengan sembarangan…” (Keluaran 20:7). Menyebut nama Tuhan dengan sembarangan bukan hanya soal ucapan, tetapi juga soal motivasi pelayanan. Nama Tuhan bukan tameng untuk kerakusan. Otoritas rohani bukan senjata untuk menekan. Pelayanan sejati hanya bisa berdiri di atas ketulusan hati, bukan kalkulasi politik atau manuver struktural. Jika nama Tuhan dipakai untuk memperkuat ambisi, maka sebenarnya bukan Allah yang sedang dimuliakan—tetapi ego manusia.

·         Dan bahwa gereja yang sehat bukan diukur dari kekuatan struktur, tetapi dari ketulusan hati para pelayannya. Struktur organisasi gereja memang penting—Tuhan bukan Allah yang menghendaki kekacauan. Namun struktur bukanlah tolok ukur utama kesehatan rohani. Gereja bukanlah korporasi bisnis yang dinilai dari seberapa kuat hierarki atau sistem kontrolnya. Gereja adalah tubuh Kristus—yang hidup, dinamis, dan digerakkan oleh kasih, iman, dan pengabdian sejati dari orang-orang yang melayaninya. Banyak gereja yang terlihat kokoh secara eksternal, tetapi rapuh di dalam karena hati para pelayannya dipenuhi ambisi, kecurigaan, atau kepentingan. Maka, kualitas sejati gereja bukan ditentukan oleh jumlah program atau gelar jabatan, tetapi oleh seberapa tulus dan jernih hati para pelayannya di hadapan Tuhan. “TUHAN tidak melihat seperti manusia melihat; manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi TUHAN melihat hati.” (1 Samuel 16:7). Gereja yang sehat adalah gereja yang memiliki pemimpin-pemimpin yang takut akan Tuhan, bukan takut kehilangan posisi. Yang berani merendah, bukan berlomba naik tahta. Yang rela menjadi pelayan, bukan penguasa. Ketika para pelayan-Nya bersih hatinya, rendah dirinya, dan setia pada kehendak Tuhan, maka gereja itu akan menjadi terang—bukan karena strukturnya, tetapi karena roh pelayanan yang hidup di dalamnya.

II.      DOSA TERSELUBUNG: IBADAH LAHIRIAH, KEPENTINGAN DUNIAWI

Firman Tuhan melalui Mikha menyatakan bahwa para imam dan nabi masih bersandar kepada TUHAN, tapi motivasi mereka sudah menyimpang: "Mengajar karena upah... menubuat karena uang..." (Mikha 3:11). Ini adalah potret mengerikan dari wajah pelayanan yang kehilangan kemurnian. Secara liturgis dan administratif, mereka tetap menjalankan peran mereka sebagai imam dan nabi. Mereka mengajar, memimpin ibadah, menyampaikan nubuat, dan bahkan menyebut-nyebut nama TUHAN dalam pelayanan mereka. Namun di balik semua aktivitas keagamaan itu, bersemayam motif yang korup dan egois: keinginan akan upah, kebutuhan akan kekuasaan, dan obsesi akan posisi.

Pelayanan mereka tetap terlihat suci, tetapi sumber dayanya tidak lagi berasal dari kasih akan Tuhan dan umat-Nya—melainkan dari kalkulasi duniawi dan keuntungan diri. Mereka bersandar kepada nama TUHAN, namun tidak lagi berserah kepada kehendak-Nya. Yang keluar dari mulut mereka adalah nubuat, tapi yang mendorong hati mereka adalah keuntungan. Ini bukan hanya kemunafikan, tetapi pengkhianatan terhadap kekudusan pelayanan. Bahaya besar dari kondisi ini adalah bahwa pelayanan tetap berjalan, tetapi tanpa hadirat Allah. Sistem gereja tetap beroperasi, jadwal ibadah tetap berlangsung, struktur tetap rapi—tetapi semuanya bisa menjadi kosong secara rohani karena hati para pelayan telah menjauh dari motivasi ilahi. Inilah yang membuat dosa ini begitu terselubung dan sulit dikenali, bahkan oleh pelayan itu sendiri. Mereka merasa sedang bekerja bagi Tuhan, padahal mereka hanya sedang membangun nama dan kepentingan mereka sendiri—dengan tetap menyebut nama-Nya.

Ini bukan dosa terang-terangan seperti penyembahan berhala secara fisik, tetapi ini adalah penyembahan berhala yang tersembunyi dalam pelayanan: menyembah diri sendiri atas nama Tuhan. Dan inilah peringatan yang paling keras bagi para pemimpin gereja zaman ini. Ketika pelayanan dilakukan bukan karena kasih dan ketaatan, tetapi karena bayaran, kekuasaan, atau ambisi pribadi—maka sesungguhnya itu bukan lagi pelayanan, melainkan penyalahgunaan jabatan rohani untuk kepentingan duniawi. Tuhan tidak melihat seberapa aktif kita melayani, tetapi seberapa murni hati kita dalam melakukannya..

Salah satu bentuk penyimpangan paling halus namun berbahaya dalam pelayanan adalah ketika penampilan rohani tetap dijaga, tetapi kekudusan dan kekuatan rohani telah ditinggalkan. Ini adalah kondisi di mana semua aktivitas pelayanan masih berjalan: ibadah tetap berlangsung, liturgi tersusun rapi, mimbar dipenuhi khotbah yang terdengar kuat, dan struktur gereja terlihat sehat secara administratif. Namun di balik semua itu, roh pelayanan sudah mati. Yang tersisa hanyalah gerakan tanpa kehidupan, suara tanpa nyawa, dan jabatan yang tidak lagi memancarkan urapan Tuhan.

Inilah ibadah yang hanya menjadi formalitas—ritual tanpa realitas, simbol tanpa substansi, jabatan tanpa integritas. Semua tampak saleh dari luar, tetapi kosong dari dalam. Bahkan lebih menyedihkan, sering kali para pelayan yang terjebak dalam kondisi ini tetap merasa sedang melayani Tuhan, padahal mereka telah terasing dari kuasa rohani yang sejati. Inilah bentuk kebutaan rohani yang lahir dari keakraban terhadap hal-hal suci, tetapi kehilangan hubungan yang hidup dengan Allah yang kudus. Paulus telah memperingatkan bahaya ini dengan sangat tegas: “Secara lahiriah mereka menjalankan ibadah mereka, tetapi pada hakikatnya mereka memungkiri kekuatannya.” 2 Timotius 3:5, Paulus tidak sedang berbicara tentang orang luar, melainkan orang-orang dalam gereja—mereka yang kelihatan aktif secara keagamaan, tetapi tidak lagi mengalami kuasa transformasi Injil. Mereka beribadah, tetapi tidak berubah. Mereka melayani, tetapi tidak menguduskan. Mereka tetap berdiri di atas mimbar, tetapi hatinya kosong dari api Roh Kudus. Mereka memakai nama Tuhan, tetapi menyimpan ambisi pribadi, agenda tersembunyi, dan keinginan untuk mempertahankan kekuasaan. Dalam konteks ini, ibadah menjadi alat legitimasi kekuasaan, bukan tempat perjumpaan dengan Tuhan. Jabatan berubah menjadi simbol status, bukan sarana pengorbanan. Kekuasaan digunakan untuk mempertahankan struktur, bukan untuk membangun tubuh Kristus. Itulah sebabnya, gereja bisa terlihat megah secara luar, tetapi rapuh secara rohani. Mereka memungkiri kekuatan ibadah karena telah mengganti Salib dengan tahta, dan mengganti pengabdian dengan ambisi.

Karena itu, kita dipanggil bukan hanya untuk melayani, tetapi untuk melayani dalam kuasa Allah. Bukan hanya terlihat rohani, tetapi sungguh hidup dalam roh yang takut akan Tuhan. Sebab tanpa kekuatan dari Allah sendiri, pelayanan hanya akan menjadi aktivitas kosong yang berisik, penuh rutinitas namun tanpa dampak kekal—bising di telinga manusia, tetapi sunyi di hadapan surga. Pelayanan sejati bukan sekadar soal sibuk di altar atau aktif dalam struktur, tetapi tentang hati yang terbakar oleh kasih kepada Kristus dan kerinduan menyentuh jiwa-jiwa. Dunia tidak butuh lebih banyak pertunjukan rohani, tetapi hamba-hamba yang sungguh-sungguh dipenuhi Roh Kudus dan rela menjadi saluran kasih-Nya. Pelayanan yang sejati lahir dari hubungan yang intim dengan Tuhan, bukan dari ambisi pribadi atau tekanan organisasi. Tanpa hadirat Tuhan, pelayanan hanyalah rutinitas keagamaan yang mengandalkan strategi manusia. Tetapi ketika kuasa Allah nyata, bahkan pelayanan yang sederhana pun bisa mengubahkan hidup orang lain, memulihkan gereja, dan menggerakkan kebangunan rohani.

Sebab kuasa Tuhan tidak bergantung pada besarnya mimbar atau pangkat jabatan, tetapi pada ketulusan hati dan ketaatan penuh kepada-Nya. Di tangan Allah, perkara kecil pun bisa melahirkan dampak besar—bukan karena kekuatan pelakunya, tetapi karena hadirat-Nya menyertai. Sebuah doa yang diucapkan dalam diam, sepotong firman yang disampaikan dengan kasih, atau pelayanan kasih yang tidak terlihat mata dunia, bisa menjadi alat transformasi ilahi ketika dilakukan dalam ketaatan kepada Roh Kudus. Yang dibutuhkan Tuhan bukan kemegahan, tetapi bejana yang bersih, siap dipakai untuk kehendak-Nya. Sejarah rohani membuktikan, bahwa kebangunan rohani besar sering dimulai bukan dari tokoh terkenal atau struktur megah, melainkan dari pribadi-pribadi yang bersedia merendahkan diri dan berkata: “Tuhan, pakailah aku.” Dalam tangan Tuhan, kesederhanaan berubah menjadi kekuatan; kerendahan hati menjadi pintu bagi kuasa surgawi untuk bekerja. Karena itu, jangan pernah meremehkan pelayanan yang tampak kecil di mata manusia. Bila dijalankan dengan iman dan kasih, pelayanan itu bisa menjadi percikan api yang membakar seluruh ladang dengan kebangunan ilahi. Yang Tuhan cari bukanlah yang hebat, melainkan yang berserah.

III.    DAMPAKNYA: TUBUH KRISTUS YANG TERLUKA

Ketika jabatan dalam gereja disalahgunakan untuk mengejar kuasa, mempertahankan status, atau menekan suara kebenaran, maka dampaknya bukan hanya bersifat pribadi atau administratif—melainkan merusak tubuh Kristus secara kolektif. Pelayanan yang semestinya menjadi saluran kasih, penghiburan, dan pembinaan, berubah menjadi sumber luka yang dalam bagi banyak orang percaya. Dan luka itu tidak selalu tampak secara fisik—banyak yang berdarah secara rohani, terluka di dalam, bahkan menjauh dari Tuhan bukan karena kebenaran, tetapi karena pengalaman pahit dari orang yang mewakili struktur gereja. Berikut ini adalah beberapa dampak nyata yang sering terjadi ketika kekuasaan terselubung mulai meracuni pelayanan:

·       Perpecahan Jemaat. Ketika jabatan digunakan bukan untuk menggembalakan, tetapi untuk membungkam kritik, mempertahankan dominasi, atau memaksakan kehendak, maka jemaat tidak lagi merasakan suasana kasih, melainkan tekanan. Otoritas yang tidak disalurkan dalam kasih akan menciptakan ketakutan, bukan rasa hormat. Ini menyebabkan gesekan dalam tubuh Kristus, saling curiga, munculnya faksi-faksi, bahkan dalam kasus tertentu—perpecahan gereja. Yang seharusnya menjadi satu tubuh, terbelah karena ego para pemimpinnya lebih besar daripada panggilan untuk bersatu dalam Kristus.  Salah satu bentuk nyata dari luka ini terjadi ketika seorang pemimpin cabang atau bawahan mulai berambisi untuk melampaui otoritas pembinanya, bukan melalui jalur yang sah dan hormat, tetapi dengan cara licik dan manipulatif. Ia tidak berani menyatakan pemberontakannya secara terang-terangan, tetapi mulai menghasut jemaat secara halus, membangun opini seakan ia lebih layak memimpin, dan perlahan-lahan menggiring orang untuk mengangkat dirinya sendiri dan menyingkirkan pemimpin yang sah, yang menyedihkan, semua ini dibungkus dengan bahasa dan perilaku rohani. Ia tetap berbicara dengan istilah pelayanan, tetap tampak rendah hati secara lahiriah, bahkan mungkin rajin mengutip firman dan berbicara tentang kasih—tetapi hatinya dipenuhi ambisi, iri hati, dan keinginan untuk berkuasa. Ia memutarbalikkan fakta, mempermainkan simpati jemaat, dan menggunakan simbol-simbol kekudusan untuk menutupi niat makar terhadap otoritas yang menegakkan kebenaran. Inilah bentuk dosa terselubung di balik jubah rohani—ketika seseorang tidak lagi tunduk pada pembinaan, melainkan menciptakan pengaruh pribadi untuk menguasai. Ia tidak sedang membangun tubuh Kristus, tetapi sedang mencabik-mencabiknya dari dalam—menjadikan jemaat bingung, pelayanan terpecah, dan gereja kehilangan damai sejahtera. “Sebab orang semacam itu adalah rasul-rasul palsu, pekerja-pekerja curang, yang menyamar sebagai rasul-rasul Kristus.” 2 Korintus 11:13. Pelayanan yang benar tidak melawan otoritas yang benar. Dan siapa pun yang naik ke posisi dengan cara menjatuhkan orang lain, bukan diangkat oleh Tuhan, tetapi oleh ambisinya sendiri. Gereja yang sehat tidak dibangun dengan kelicikan terselubung, melainkan dengan roh yang bersih dan jiwa yang taat kepada Kristus, Sang Kepala Gereja.

·       Luka Batin Rohani. Tidak sedikit jemaat—bahkan pelayan Tuhan sendiri—yang meninggalkan gereja bukan karena Firman terlalu keras, tetapi karena perlakuan yang menyakitkan dari struktur atau pemimpinnya. Luka yang ditimbulkan oleh pelayanan yang menyimpang sering kali lebih sulit disembuhkan daripada luka dunia luar, karena itu terjadi di tempat yang seharusnya menjadi rumah aman secara rohani. Mereka terluka bukan oleh musuh iman, tetapi oleh orang yang seharusnya menuntun mereka dalam kasih. Ini melahirkan trauma rohani, kebingungan teologis, dan keengganan untuk kembali melayani. Salah satu contoh nyata dari luka semacam ini terjadi ketika seorang gembala yang tulus membuka perintisan di sebuah daerah—dengan pengorbanan waktu, tenaga, dan bahkan dana pribadi. Ia datang bukan membawa ambisi, tetapi membawa beban jiwa. Ia melayani bukan untuk mencari nama, tetapi karena dorongan kasih dan panggilan Tuhan. Namun alih-alih mendapat dukungan, ia justru disalip dari dalam struktur gereja sendiri. Dengan otoritas strukturalnya, seorang pemimpin yang lebih tinggi dalam struktur mencaplok ladang pelayanan itu, mengklaimnya sebagai hasil kerjanya, dan lebih parah lagi—menyalahkan si gembala yang tulus sebagai pihak yang tidak taat, tidak tunduk, atau dianggap melanggar prosedur. Padahal yang terjadi sebenarnya adalah pencurian pelayanan secara rohani—yang dibungkus dengan aturan organisasi dan bahasa rohani. Luka seperti ini dalam tidak terlihat secara kasat mata, tetapi menggerus keyakinan dan semangat pelayanan. Yang lebih menyedihkan lagi, luka itu sering tidak pernah dinilai sebagai dosa, karena dilakukan oleh pihak yang memiliki kekuasaan, Seolah-olah pelanggaran bisa dimaafkan karena dilakukan "dalam sistem." Tidak ada teguran, tidak ada pemulihan, bahkan tidak ada pengakuan bahwa ketidakadilan itu telah terjadi. Inilah bahaya dari kekuasaan yang tidak diikat oleh kasih Kristus: kezaliman bisa dibenarkan atas nama struktur. Dan gembala yang terluka itu pun dibiarkan bergumul sendiri dengan air mata, rasa dikhianati, dan kehilangan semangat, sementara pelayanannya yang dirintis dengan keringat diambil tanpa rasa bersalah. Ia ditinggalkan oleh lembaga, dilupakan oleh rekan sepelayanan, dan hanya bisa berseru dalam doa yang tidak terdengar oleh dunia. Namun Tuhan mendengar.   Tuhan  mencatat setiap tetes  air mata  yang  jatuh  karena  ketidakadilan.

Dan meskipun manusia tidak menganggap luka itu sebagai dosa, di mata Tuhan, penyalahgunaan kuasa untuk menindas seorang hamba-Nya adalah perkara yang serius. “Celakalah kamu, ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik… sebab kamu menutup pintu-pintu Kerajaan Sorga di depan orang.” Matius 23:13.

·       Kehilangan Kepercayaan. Ketika struktur gereja menjadi tempat bagi permainan kuasa dan manipulasi, wibawa rohani yang seharusnya dimiliki oleh pemimpin dan lembaga pelayanan mulai luntur. Jemaat tidak lagi percaya pada keputusan gembala, tidak menghargai kepemimpinan, dan akhirnya menjadi skeptis terhadap seluruh sistem gereja. Di satu sisi, ini membuka ruang bagi pemberontakan; di sisi lain, ini menciptakan generasi percaya yang sinis, apatis, dan tidak lagi punya kerinduan untuk tunduk kepada otoritas yang sehat. Jika ini dibiarkan, maka gereja tidak hanya kehilangan jemaat—gereja kehilangan hatinya.

Tubuh Kristus tidak hanya terluka oleh serangan dari luar, tetapi lebih sering oleh kerusakan dari dalam. Luka yang disebabkan oleh dunia bisa disembuhkan oleh kasih gereja, tetapi luka yang ditimbulkan oleh pemimpin rohani sendiri sering kali lebih dalam, lebih membekas, dan lebih sulit pulih. Itulah sebabnya, dosa terselubung yang tersembunyi di balik jabatan dan kekuasaan harus disingkapkan dengan keberanian dan kerendahan hati. Ini adalah panggilan serius bagi setiap pelayan Tuhan untuk kembali memeriksa motivasi, memperbaiki cara memimpin, dan membangun struktur gereja bukan di atas ambisi, tetapi di atas dasar Kristus yang adalah Kepala Gereja. Sebab bila gereja dibangun di atas gengsi, kekuasaan, dan politik internal, maka gereja itu hanya akan menjadi menara Babel rohani—tinggi di luar, tapi kosong dan penuh kebingungan di dalam. Hanya ketika para pemimpin bersedia merendahkan hati, mengakui kesalahan, dan kembali kepada pola pelayanan Kristus—yang membasuh kaki, bukan duduk di atas tahta—maka pemulihan sejati bisa terjadi. Gereja tidak butuh pemimpin yang sempurna, tetapi pemimpin yang mau bertobat, dibentuk ulang, dan melayani dengan takut akan Tuhan. Sebab hanya dengan jalan itu, tubuh Kristus akan dipersatukan kembali, luka-luka akan disembuhkan, dan kemuliaan Tuhan kembali nyata di tengah umat-Nya. Yehezkiel 34:2-4 – Tuhan menegur para gembala yang menguasai kawanan-Nya dengan kekerasan.

IV.    SOLUSI: KEMBALI KEPADA OTORITAS SALIB

            Setelah memahami betapa dalamnya luka yang ditimbulkan oleh penyalahgunaan jabatan dalam gereja, maka solusi satu-satunya bukanlah reformasi struktural semata, tetapi reformasi hati yang berakar pada salib Kristus. Gereja tidak bisa sembuh hanya dengan peraturan baru atau rotasi jabatan—gereja perlu kembali kepada teladan Kristus sebagai Pemimpin Tertinggi yang melayani, bukan dilayani.

Pemulihan pelayanan terjadi ketika para pemimpin dan pelayan Tuhan mengembalikan pusat otoritas dari ego manusia kepada salib Kristus, dari kuasa manusia kepada kasih ilahi, dari ambisi pribadi kepada ketaatan dan kerendahan hati. Berikut ini adalah tiga prinsip penting untuk membawa gereja kembali kepada otoritas sejati yang menyembuhkan, bukan melukai:

1.      Otoritas Yesus adalah Teladan Merendah

Yohanes 13:14-15: "Jadi jikalau Aku, Tuhan dan Gurumu, membasuh kakimu, maka kamu pun wajib saling membasuh kaki; sebab Aku telah memberikan suatu teladan kepada kamu, supaya kamu juga berbuat sama seperti yang telah Kuperbuat kepada kamu." Yesus, sebagai Pemilik otoritas tertinggi di surga dan di bumi, tidak memamerkan kuasa-Nya, tetapi merendahkan diri-Nya untuk membasuh kaki murid-murid-Nya. Ia menunjukkan bahwa otoritas dalam Kerajaan Allah bukanlah soal posisi, melainkan kerelaan untuk melayani yang paling rendah. Pemimpin sejati bukan yang paling banyak dilayani, tetapi yang paling dahulu membungkuk untuk melayani. Jika Kristus saja rela merendahkan diri, bagaimana mungkin kita merasa layak untuk menjadikan jabatan sebagai takhta kehormatan? Pelayanan sejati tidak mungkin terjadi tanpa kerendahan hati yang lahir dari salib.

2.      Jabatan Harus Dipakai untuk Memulihkan, Bukan Menindas

1 Petrus 5:2-3: "Gembalakanlah kawanan domba Allah yang ada padamu, jangan dengan paksa, tetapi dengan sukarela sesuai dengan kehendak Allah... Janganlah kamu berbuat seolah-olah kamu mau memerintah atas mereka yang dipercayakan kepadamu, tetapi jadilah teladan bagi kawanan domba itu." Jabatan rohani adalah kepercayaan ilahi, bukan hak pribadi. Ketika seseorang diberi tanggung jawab memimpin, maka ia dipanggil untuk menjadi gembala, bukan penguasa; menjadi pelindung, bukan penindas. Tujuan dari kepemimpinan rohani bukanlah dominasi, tetapi pemulihan. Struktur gereja hanya akan menyembuhkan jika dijalankan dengan kasih dan keteladanan, bukan dengan tekanan dan kontrol. Pemimpin sejati bukan menekan dengan jabatan, tetapi mengangkat orang lain dengan kasih. Jabatan bukan alat untuk menjaga kekuasaan, tetapi untuk menjaga hati umat Allah agar tetap dalam kasih dan kebenaran.

3.   Pemimpin Rohani Harus Taat dan Bersih Hati

Filipi 2:5-8: "Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus... yang walaupun dalam rupa Allah... telah mengosongkan diri-Nya... dan taat sampai mati di kayu salib" . Pemulihan gereja dimulai dari pemimpin yang bersedia hidup dalam ketaatan dan kekudusan. Kristus tidak hanya merendahkan diri-Nya, tetapi juga menyerahkan kehendak-Nya sepenuhnya kepada Bapa. Ketaatan-Nya bukan setengah jalan—tetapi sampai pada pengorbanan terbesar. Pelayanan yang sungguh berdampak lahir dari hati yang bersih dan hidup yang taat—bukan dari kemampuan, gelar, atau posisi. Pemimpin yang benar bukan hanya tahu Firman, tetapi menghidupi ketaatan, mengalahkan ego, dan menolak segala bentuk kompromi demi menjaga integritas pelayanannya. Dari pemimpin seperti inilah hadirat Tuhan dapat kembali memenuhi gereja-Nya.

 

V.     PENUTUP: TEGURAN DALAM KASIH, SERUAN UNTUK BERBALIK

Paper ini bukanlah serangan pribadi, melainkan sebuah cermin rohani. Sebuah undangan untuk bercermin, berefleksi, dan bertobat. Tulisan ini lahir bukan dari kepahitan, tetapi dari keprihatinan—bahwa kita semua, tanpa kecuali, bisa jatuh dalam jebakan kekuasaan jika hati tidak terus-menerus dikuduskan oleh salib Kristus. Dalam pelayanan, banyak hal bisa dilakukan demi “Tuhan”, tetapi dengan motivasi yang menjauh dari Tuhan. Jabatan dalam gereja bukan sekadar struktur, tetapi amanat surgawi yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban. Itu sebabnya, jabatan tidak boleh dijadikan tahta duniawi, alat dominasi, atau sarana mempertahankan zona nyaman.

a)       Mari kembali kepada salib. Salib bukan sekadar simbol iman Kristen—salib adalah pusat segala motivasi pelayanan yang benar. Kembali kepada salib berarti kembali kepada dasar kasih, kerelaan berkorban, dan ketaatan penuh kepada kehendak Allah. Salib mengingatkan kita bahwa pelayanan bukan tentang kebesaran nama kita, tetapi tentang kesetiaan kepada Yesus yang telah lebih dulu mengorbankan diri-Nya bagi kita. Di kaki salib, semua jabatan menjadi sama tingginya, semua pelayan menjadi sama rendah hatinya. Salib memanggil kita untuk mati terhadap ego, terhadap keinginan untuk dilihat, dan terhadap ambisi pribadi. Tanpa salib, pelayanan akan melenceng menjadi proyek pribadi—tetapi bersama salib, pelayanan menjadi saluran kasih yang memulihkan dunia.

b)       Mari memilih membasuh kaki, bukan menaiki kursi. Ketika Yesus membasuh kaki murid-murid-Nya (Yohanes 13), Ia membalikkan seluruh konsep kepemimpinan dunia. Ia adalah Tuhan, namun Ia tidak duduk di singgasana manusia; Ia turun dan melayani yang paling sederhana. Membasuh kaki berarti bersedia menyentuh yang hina, melayani yang tidak membalas, dan merendahkan diri bahkan di depan orang yang akan mengkhianati kita. Sebaliknya, "menaiki kursi" adalah gambaran dari keinginan untuk duduk di tempat tinggi—menuntut dihormati, memerintah dari atas, dan menjauh dari realita penderitaan jemaat. Pemimpin yang sejati akan lebih dahulu mengambil handuk, bukan berebut kursi kehormatan. Inilah panggilan Yesus: jadilah hamba, bukan penguasa.

c)       Mari memilih melayani dalam kasih, bukan memerintah dalam ambisi.  Kasih adalah inti dari setiap tindakan pelayanan yang sejati. Tanpa kasih, jabatan menjadi alat untuk menindas. Tanpa kasih, pengajaran menjadi keras tanpa pengharapan. Tanpa kasih, pelayanan menjadi kering dan menyakitkan. Sebaliknya, ambisi pribadi—meskipun dibungkus rohani—selalu akan menghasilkan manipulasi, kompetisi, dan kerusakan tubuh Kristus. Melayani dalam kasih berarti mengutamakan kebutuhan rohani jemaat lebih dari kepentingan diri, rela berkorban tanpa pamrih, dan memberi waktu tanpa perhitungan untung-rugi. Pemimpin yang melayani dengan kasih tidak menjadikan jabatan sebagai alat kekuasaan, tetapi sebagai kesempatan untuk menunjukkan hati Kristus. Di mana kasih memimpin, di sana pemulihan terjadi. Tetapi di mana ambisi menguasai, di sana luka akan timbul.

       Ketiga poin ini bukan sekadar nasihat, tetapi seruan rohani untuk bertobat dan membangun kembali pelayanan di atas dasar yang murni. Jika setiap pemimpin kembali kepada salib, membasuh kaki, dan melayani dalam kasih—maka gereja tidak hanya akan dipulihkan, tetapi akan menjadi terang yang nyata di tengah dunia yang gelap. Sebab pemimpin rohani tidak hanya bertanggung jawab atas apa yang ia lakukan, tetapi juga bagaimana dan dengan hati seperti apa ia melakukannya. Karena itu, Firman Tuhan mengingatkan kita dengan sangat serius dalam Yakobus 3:1: “Saudara-saudaraku, janganlah banyak orang di antara kamu mau menjadi guru; sebab kita tahu, bahwa sebagai guru kita akan dihakimi lebih berat.” Ayat ini bukan larangan untuk melayani, tetapi peringatan bahwa pelayanan bukan panggung kehormatan, melainkan ladang tanggung jawab.  Semakin tinggi posisi seseorang dalam struktur gereja, semakin berat beban rohaninya di hadapan Tuhan. Bukan hanya jemaat yang akan diadili, tetapi para pengajar, pemimpin, dan gembala akan lebih dahulu dimintai pertanggungjawaban. Tuhan tidak akan menilai seberapa besar pengaruh kita di dunia, tetapi seberapa setia kita di hadapan-Nya.

            Ia tidak mencari pemimpin yang sempurna, tetapi pemimpin yang rendah hati, bersih hati, dan rela bertobat. Jika hari ini kita menemukan jejak ambisi dalam pelayanan kita, mari jangan menunggu teguran terbuka dari Tuhan. Biarlah hati kita sendiri yang merespons Firman, dan kembali ke jalan salib. Sebab di salib, tidak ada ruang bagi gengsi, tidak ada tempat bagi kesombongan. Yang ada hanya kasih, pengampunan, dan kuasa untuk hidup baru—sebagai pelayan-pelayan yang benar, yang melayani bukan demi tahta, tetapi demi Kristus yang telah lebih dulu melayani kita. hidup seorang pelayan sejati: bukan lagi tentang diri kita, tetapi tentang Kristus yang hidup dan dimuliakan melalui kita. Kiranya kita semua kembali kepada salib—tempat di mana pelayanan bukan dimulai dengan kekuasaan, tetapi dengan pengosongan diri.

 

Galatia 2:20: “Namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup,

melainkan Kristus yang hidup di dalam aku. Dan hidupku yang kuhidupi sekarang

di dalam daging, adalah hidup oleh iman dalam Anak Allah

yang telah mengasihi aku dan menyerahkan diri-Nya untuk aku.”

  

 


DAFTAR PUSTAKA

Alkitab Terjemahan Baru (LAI), 

Catatan pelayanan pribadi dan pengalaman penggembalaan

Refleksi atas dinamika gereja kontemporer di lingkungan Gereja Gereja

 

============

Biografi Singkat Penulis– Pdt. Syaiful Hamzah Nahampun, M.Th

Gembala Sidang GBI Jl. Plumpang Semper No.22 (JPS22) – Jakarta Utara

Gembala Cabang GBI PRJ Sion – Pearaja Parlilitan, Sumatera Utara

=============

 

Lahir                                : 12 April 1974

Pendidikan                        : Magister Teologi (M.Th)

Sedang menempuh            : Program Doktor (S3) di STT Gragion

Sinode                              : Gereja Bethel Indonesia (GBI)

Istri                                  : Pdm. Tiolida Sihotang S.PdK

Anak                                 : Malkhi K dan Josua Rajahot Eklesyaiful Nahampun

 

Profil Pelayanan

·     Dipanggil dari latar belakang kehidupan yang keras, Pdt. Syaiful Hamzah Nahampun melayani dengan hati yang tulus dan komitmen tinggi terhadap kebenaran firman Tuhan serta ketaatan terhadap struktur dan doktrin GBI.

·     Bersama istri, Pdm. Tiolida Sihotang S.PdK, beliau menggembalakan jemaat di berbagai wilayah, termasuk cabang-cabang luar Jakarta seperti Dayun (Riau) dan Pearaja Parlilitan (Sumatera Utara).

·     Pernah menggembalakan sebuah jemaat di salah satu daerah di Riau secara sah di bawah GBI JPS No. 22, namun kemudian menghadapi pembangkangan jemaat yang keluar secara sepihak tanpa ketaatan rohani maupun struktural.

·     Pelayanannya menekankan pemuridan sejati dalam karakter, pertobatan, dan tanggung jawab, serta menyoroti bahaya teologi spiritual bypass—kerohanian semu yang menghindari pemulihan dan keadilan.

·     Saat ini, beliau juga menempuh studi doktoral (S3) dalam bidang Misi di STT Gragion, dan aktif mengajar sebagai dosen di beberapa sekolah tinggi teologi, membentuk pemimpin-pemimpin gereja yang sehat secara doktrin maupun karakter.

 

 

Catatan Penting: Tulisan ini disusun khusus untuk kalangan sendiri sebagai bahan ilustrasi rohani dan refleksi teologis. Jika terdapat kemiripan dengan peristiwa, tempat, atau individu tertentu, itu tidak disengaja dan bukan merupakan tuduhan pribadi, melainkan ajakan untuk perenungan bersama dalam terang Firman Tuhan. Dilarang menyalin, menyebarluaskan, atau memperbanyak isi tulisan ini tanpa izin tertulis dari penulis.