MEMBUNUH DENGAN AYAT ALKITAB
Oleh: Pdt. Syaiful Hamzah, M.Th
“Ialah membuat kami juga sanggup menjadi pelayan-pelayan dari suatu perjanjian baru,
yang tidak terdiri dari hukum yang tertulis, tetapi dari Roh,
sebab hukum yang tertulis mematikan, tetapi Roh menghidupkan.”
— 2 Korintus 3:6 (TB)
I. PENDAHULUAN:
Sering kali, luka terdalam dalam kehidupan rohani seseorang bukan datang dari dunia luar, melainkan dari sesama orang percaya yang menyampaikan kebenaran tanpa kasih. Ayat-ayat Alkitab yang seharusnya membawa penghiburan dan harapan, malah digunakan seperti palu yang menghantam, bukan pelukan yang memulihkan. Alih-alih membangun iman, cara penyampaian seperti ini justru menjatuhkan semangat, mengungkit luka lama, dan membuat jiwa semakin menjauh dari Tuhan. Firman yang harusnya menjadi roti hidup malah terasa seperti batu yang dilemparkan. Ini bukan soal isi ayatnya — karena Firman Tuhan itu sempurna dan kudus — tetapi soal cara dan roh di balik penyampaiannya. Kebenaran tanpa kepekaan rohani, tanpa empati, dan tanpa kasih, akan kehilangan kuasa pemulihannya, dan bisa berubah menjadi alat penghakiman yang membunuh perlahan dari dalam.
Mereka mengutip Alkitab dengan lantang, tetapi tanpa air mata, Mereka menyuarakan kebenaran, tetapi tidak dengan hati Kristus. Padahal Firman Tuhan memang tajam seperti pedang bermata dua (Ibrani 4:12), namun ketajamannya bukan dimaksudkan untuk menghancurkan manusia, melainkan untuk memotong akar dosa dan menyelamatkan jiwa. Firman itu menembus roh dan jiwa, bukan untuk membantai yang berdosa, tetapi untuk membedah secara rohani agar luka batin bisa disembuhkan oleh kasih Allah. Jika Firman disampaikan tanpa kehadiran Roh Kudus, maka yang tersisa hanyalah huruf-huruf mati yang kehilangan daya hidupnya; dan jika ayat-ayat Alkitab dipakai tanpa kasih, tanpa belas kasihan, serta tanpa kehendak untuk memulihkan, maka Firman itu akan terasa seperti tuntutan hukum yang menghukum, bukan panggilan kasih yang menghidupkan. Dalam keadaan seperti itu, bahkan kebenaran ilahi bisa berubah menjadi alat penghancur, bukan jalan pertobatan. Di sinilah pesan Paulus dalam 2 Korintus 3:6 menjadi sangat relevan dan mendesak: "Sebab hukum yang tertulis mematikan, tetapi Roh menghidupkan." Yang dimaksud dengan “huruf” (gramma) dalam ayat ini bukan sekadar abjad, melainkan simbol dari sistem hukum yang tertulis—yaitu penyampaian kebenaran secara legalistik, kaku, dan terlepas dari kehadiran Roh Kudus.
Paulus tidak sedang merendahkan Firman yang tertulis, melainkan memperingatkan dengan keras agar kita tidak menjadikan teks-teks kudus sebagai alat kematian rohani bagi sesama, hanya karena kita menyampaikannya tanpa roh kasih, tanpa pengurapan, dan tanpa kepekaan pastoral terhadap luka jiwa mereka yang mendengarnya. Kebenaran memang berasal dari Firman Tuhan dan tidak pernah salah, namun ketika disampaikan tanpa kasih, ia menjadi seperti obat keras tanpa takaran atau pedang tajam tanpa kendali—alih-alih menyembuhkan, justru bisa membunuh; bukan karena isi ayatnya yang keliru, melainkan karena jiwa orang yang menyampaikannya tidak dipenuhi oleh roh kelembutan; sebab kebenaran yang diucapkan dengan cara yang salah, pada waktu yang salah, dan dengan suasana hati yang tidak benar, tidak akan menghasilkan pertobatan, melainkan pelarian, dan bukan pemulihan, melainkan pendalaman luka. Penyampaian Firman bukan hanya soal menyampaikan kebenaran, tetapi juga bagaimana kebenaran itu dibungkus dengan kasih. Dalam keseluruhan isi Kitab Suci, kebenaran dan kasih tidak pernah dipisahkan; bahkan dalam Yesus Kristus sendiri, keduanya bersatu secara sempurna — “penuh kasih karunia dan kebenaran” (Yohanes 1:14). Teologi kasih dalam pelayanan Firman menekankan bahwa kebenaran yang tidak dibawa dalam kasih bukanlah pelayanan Kristus, melainkan refleksi dari roh legalisme atau superioritas rohani. Berikut penjelasan berdasarkan tiga ayat kunci:
1. Kebenaran Harus Disampaikan dalam Kasih "Tetapi dengan teguh berpegang kepada kebenaran di dalam kasih, kita bertumbuh di dalam segala hal ke arah Dia, Kristus..." (Efesus 4:15) Ayat ini mengajarkan bahwa kebenaran tidak boleh dipisahkan dari kasih. Dalam bahasa Yunani, frasa “berpegang kepada kebenaran dalam kasih” (aletheuontes en agapÄ“) mengandung arti: berbicara, hidup, dan mewujudkan kebenaran dengan motivasi kasih. Tanpa kasih, kebenaran menjadi dingin, keras, dan menjauhkan orang dari pertobatan. Kasih adalah wadah di mana kebenaran dapat diterima dengan hati yang terbuka, bukan sebagai serangan, tetapi sebagai undangan untuk kembali kepada Allah.
2. Teguran Harus Dilakukan dengan Roh Kelemahlembutan: "Saudara-saudara, kalaupun seorang kedapatan melakukan suatu pelanggaran, maka kamu yang rohani, harus memimpin orang itu ke jalan yang benar dalam roh lemah lembut." (Galatia 6:1). Teguran adalah bagian penting dari pelayanan Firman, tetapi Alkitab menekankan bahwa teguran yang benar harus dilakukan oleh orang yang dipimpin Roh, dan harus dilakukan dengan kelemahlembutan (prautēs dalam Yunani), bukan dengan kemarahan atau arogansi rohani. Teguran yang kasar mungkin berhasil membuat orang diam, tapi tidak akan membawa pertobatan yang sejati. Kelemahlembutan mencerminkan hati Kristus yang tidak memadamkan sumbu yang pudar (Yesaya 42:3), melainkan meniupnya kembali dengan kasih.
3. Kuasa Membangun Lebih Penting daripada Menjatuhkan: "...kuasa yang dikaruniakan Tuhan kepadaku untuk membangun dan bukan untuk merobohkan kamu." (2 Korintus 10:8). Dalam konteks kerasulan, Paulus menyadari bahwa ia diberikan otoritas bukan untuk menindas atau meruntuhkan, melainkan untuk membangun tubuh Kristus. Ini adalah prinsip penting dalam teologi pelayanan: kuasa rohani sejati bukan untuk mendominasi atau menghukum, tetapi untuk memulihkan, memperlengkapi, dan memperkuat iman jemaat. Pengkhotbah atau pelayan yang memakai otoritas hanya untuk menegur tanpa membangun akan menyalahgunakan kuasa yang diberikan Allah.
Dalam terang seluruh ajaran Kitab Suci, kita memahami bahwa kasih adalah roh dari semua kebenaran yang hidup. Tanpa kasih, kebenaran kehilangan jiwa. Tanpa kasih, pelayanan menjadi penghakiman. Tanpa kasih, Alkitab hanya jadi huruf, bukan hidup. Yesus tidak pernah mengompromikan kebenaran, tetapi Ia selalu menyampaikan kebenaran itu dengan tangan yang menolong, bukan tangan yang menunjuk. Inilah teologi kasih dalam pelayanan Firman — jalan kebenaran yang membawa jiwa pulang, bukan lari. Setiap kali saya menyampaikan Firman, menasihati seseorang, atau menegur dalam nama kebenaran, saya harus merenung dengan gentar: apakah yang keluar dari mulut saya benar-benar dibawa oleh Roh Kudus dan dilandasi oleh kasih yang memulihkan, atau justru digerakkan oleh kesombongan rohani yang terselubung dalam kalimat-kalimat bernada rohani namun menghukum—seperti menuduh orang lain belum dewasa secara rohani, mudah melabeli dengan frasa “kamu harus bertobat”, atau merasa diri paling memahami kehendak Tuhan, bahkan sampai pada titik menganggap diri lebih murni daripada Yesus sendiri. Sebab jika motivasi dan sikap hati saya salah, maka Firman yang saya sampaikan, atau nasihat yang saya ucapkan, bukan lagi menjadi saluran kehidupan, melainkan berubah menjadi alat yang melukai hati orang lain, melemahkan imannya, membunuh semangat rohaninya, dan menjauhkan dia dari kasih Kristus — inilah yang dimaksud dengan “membunuh dengan ayat-ayat Alkitab.”
II. HURUF YANG MEMATIKAN: AYAT YANG MEMBUNUH JIKA TANPA ROH
Dalam 2 Korintus 3:6, istilah “huruf” (Yunani: gramma) menunjuk pada sistem hukum Taurat tertulis yang berfokus pada kepatuhan eksternal dan pelaksanaan aturan secara lahiriah, di mana ketaatan hanya diukur dari perbuatan tanpa perubahan hati. Paulus menggunakan istilah ini untuk menggambarkan pendekatan legalistik terhadap hukum Allah—yang mengejar kebenaran melalui usaha manusia, tanpa keterlibatan atau transformasi oleh Roh Kudus—dan akibatnya, justru menghasilkan penghukuman, keterikatan, dan kematian rohani karena manusia tidak mampu memenuhi seluruh tuntutan hukum secara sempurna. Sebaliknya, istilah “Roh” (Yunani: pneuma) menunjuk pada kehadiran dan karya aktif Roh Kudus dalam perjanjian baru, yang bekerja secara internal dalam hati umat percaya untuk membebaskan dari kuasa dosa, memperbarui batin, dan menghidupkan secara rohani. Roh Kudus tidak hanya menyampaikan kebenaran, tetapi juga memberikan kuasa untuk menghidupinya, menjadikan hukum Tuhan bukan beban, melainkan sukacita. Dengan demikian, Paulus menegaskan perbedaan mendasar antara perjanjian lama—yang menekankan hukum tertulis di atas batu—dengan perjanjian baru—di mana hukum ditulis di dalam hati oleh Roh, menghasilkan kehidupan yang sejati, bukan kematian yang kaku. Pendekatan legalistik yang menekankan huruf tanpa Roh hanya akan membawa pada kematian, tetapi pelayanan dalam Roh melahirkan kebebasan, kemuliaan, dan kehidupan kekal.
Firman Tuhan, apabila disampaikan tanpa kasih dan tanpa pengurapan Roh Kudus, akan berubah dari kebenaran yang menyelamatkan menjadi hukum yang kaku dan menghukum, sehingga bukan membangkitkan iman, melainkan membunuh jiwa—bukan karena isi Alkitab itu salah, tetapi karena cara manusia menggunakannya tidak mencerminkan karakter dan maksud hati Allah yang penuh belas kasihan, pemulihan, dan kasih karunia sebagaimana dinyatakan dalam pribadi Kristus dan dikerjakan oleh Roh Kudus dalam perjanjian baru.
Dalam konteks ini, pemberitaan Firman yang terlepas dari kasih hanya akan melahirkan ketakutan, rasa tertuduh, dan bahkan luka rohani yang dalam—bukan pertobatan sejati. Tanpa Roh Kudus, teks Kitab Suci bisa berubah menjadi alat legalisme, dijadikan senjata untuk menyerang sesama, atau bahkan dijadikan dalih pembenaran diri secara rohani. Padahal, esensi Firman adalah membawa kehidupan (Yohanes 6:63), memulihkan yang hancur (Mazmur 147:3), dan menuntun manusia kepada Kristus, bukan hanya kepada moralitas kosong. Oleh sebab itu, setiap pemberita Firman harus menyadari bahwa tugasnya bukan hanya menyampaikan isi Alkitab, tetapi menghadirkan suara hati Allah, dalam kasih, kebenaran, dan kuasa yang menghidupkan. Tanpa kasih, kebenaran menjadi kejam; tanpa Roh, ayat menjadi beku.---
III. KASUS YESUS DAN WANITA BERZINAH (YOHANES 8:1–11)
Ketika orang Farisi membawa seorang perempuan yang tertangkap basah dalam perzinahan, mereka berkata kepada Yesus: “Menurut hukum Musa, perempuan itu harus dilempari batu.” Secara hukum Taurat, ucapan ini benar. Imamat 20:10 dan Ulangan 22:22–24 memang menyatakan bahwa orang yang berzinah, baik laki-laki maupun perempuan, harus dihukum mati dengan dirajam. Namun, secara praktik hukum dan moralitas ilahi, pernyataan mereka sangat bermasalah dan bermotif jahat. Mengapa?
· Kebenaran Hukum Tanpa Kasih Adalah Senjata Mematikan
Apa yang disampaikan orang Farisi adalah huruf hukum yang tertulis, tapi tidak mereka bawa dengan Roh dan kasih. Mereka menggunakan Firman bukan untuk menegur dalam kasih, melainkan untuk menjebak Yesus (ayat 6) dan mempermalukan perempuan itu di muka umum. Mereka memakai kebenaran bukan untuk menegakkan keadilan ilahi, tetapi untuk melayani kepentingan mereka sendiri.
· Taurat Menghukum Dua Orang, Tapi Mereka Hanya Bawa Satu
Menurut hukum Musa, laki-laki dan perempuan yang berzinah harus dihukum bersama (lihat Ulangan 22:22). Tapi dalam kasus ini, laki-lakinya tidak pernah disebutkan atau dihadirkan. Ini menunjukkan penghakiman yang tidak adil dan bermotif politis, bukan murni penegakan hukum. Mereka hanya menjadikan perempuan itu sebagai alat penghinaan dan pengujian terhadap Yesus.
· Yesus Tidak Menolak Taurat, Tapi Mengungkap Hati
Yesus tidak berkata bahwa hukum Musa salah. Tapi Dia menempatkan hukum itu dalam terang belas kasihan dan kesadaran diri: "Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu itu." Di sini, Yesus tidak membatalkan hukum, tetapi membongkar hati yang penuh kemunafikan. Ia menegaskan bahwa tidak ada seorang pun yang layak menghakimi tanpa terlebih dahulu menyadari dosanya sendiri.
· Yesus Menghidupkan Hukum dengan Roh, Bukan Membunuh dengan Huruf
Inilah penerapan nyata dari 2 Korintus 3:6: “Sebab hukum yang tertulis mematikan, tetapi Roh menghidupkan.” Yesus menunjukkan bahwa Firman Allah harus disampaikan dalam terang Roh Kudus — yang membawa pertobatan, bukan penghukuman mati. Setelah semua pendakwa pergi, Yesus tidak mengatakan, "Dosamu tidak apa-apa," tetapi: “Aku pun tidak menghukum engkau. Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi.” (ayat 11). Inilah keseimbangan kasih dan kebenaran: Yesus mengampuni tanpa mengabaikan dosa.
Apa yang orang Farisi katakan memang benar secara teks Alkitab, karena mereka mengutip hukum Musa yang dengan tegas menyatakan bahwa orang yang berzinah harus dirajam sampai mati (lih. Imamat 20:10, Ulangan 22:22–24). Secara doktrin, mereka tidak salah; namun yang menjadi persoalan adalah cara dan roh di balik kutipan itu. Mereka menggunakan ayat yang kudus dengan motivasi yang najis — bukan untuk menegakkan kekudusan Allah, tetapi untuk menjerat Yesus, mempermalukan perempuan itu, dan mempertontonkan keunggulan moral mereka sendiri di depan publik.
Dengan kata lain, kebenaran ayat tidak menutupi kebusukan niat mereka. Hati mereka sudah penuh dengan penghakiman, kemunafikan, dan kepura-puraan rohani. Mereka menyampaikan kebenaran hukum tanpa kasih, tanpa belas kasihan, dan tanpa kesadaran diri bahwa mereka sendiri juga adalah manusia berdosa. Mereka tidak hadir sebagai agen pemulihan, tetapi sebagai algojo yang berselimutkan jubah agama. Ayat yang mereka ucapkan, jika disampaikan dengan kasih dan tujuan menolong orang bertobat, bisa menjadi sarana keselamatan; tetapi karena disampaikan dengan roh penghukuman, ayat itu berubah menjadi senjata rohani yang mematikan.
Yesus tidak menyangkal Taurat. Ia tidak menghapus hukum Musa, karena Ia sendiri berkata bahwa Ia datang bukan untuk meniadakan hukum, melainkan untuk menggenapinya (Mat. 5:17). Namun Yesus juga mengajarkan bahwa penerapan hukum Allah tidak boleh dilepaskan dari kasih dan kesadaran akan kelemahan diri sendiri. Maka ketika Ia berkata, “Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu itu,” itu bukan sekadar pengalihan isu, tapi penghakiman balik terhadap mereka yang menjadikan Firman sebagai tameng kemunafikan.
Kalimat Yesus ini seakan mengubah pedang yang terhunus menjadi cermin yang memantulkan wajah asli hati manusia. Alih-alih menghukum perempuan itu, Yesus pertama-tama menyadarkan semua orang bahwa tidak ada seorang pun yang layak menjadi eksekutor, jika tidak terlebih dahulu sadar bahwa dirinya juga butuh pengampunan. Dan ketika satu per satu mereka meninggalkan tempat itu, bukan karena Yesus membatalkan Taurat, tapi karena mereka dibungkam oleh cahaya kebenaran yang lebih dalam daripada sekadar teks ayat: yaitu terang kasih dan kerendahan hati.
Akhirnya, Yesus tidak membiarkan dosa tetap tinggal. Ia tetap berkata, “Aku pun tidak menghukum engkau. Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi.” Inilah kekuatan sejati Firman Tuhan: bukan menghancurkan pendosa, tetapi menariknya keluar dari kubangan dosa dengan kuasa kasih dan pengampunan. Firman bukanlah batu untuk dilempar, melainkan pelukan Allah bagi mereka yang hancur dan ingin berubah. Yesus mengubah ayat menjadi pelukan, bukan lemparan batu. Ia memulihkan, bukan menghancurkan." Inilah perbedaan antara agama yang dingin dan kasih yang hidup. Ayat yang sama bisa membawa kematian atau kehidupan — tergantung siapa yang membawakannya dan dengan roh seperti apa ia disampaikan. Orang Farisi menjadikan hukum sebagai senjata; Yesus menjadikannya sebagai jalan pulang. Di tangan-Nya, kebenaran tidak lagi menghukum orang yang jatuh, tetapi mengangkat dan mengarahkan mereka kembali kepada hidup yang baru.
Yesus tidak menolak kebenaran, tetapi Ia membungkusnya dengan belas kasihan. Ia tidak berkata, “Dosa itu tidak apa-apa,” tetapi Ia juga tidak membiarkan manusia hancur dalam penghakiman tanpa harapan. Ia memeluk pendosa tanpa membenarkan dosanya, dan justru lewat kasih-Nya, hati yang keras menjadi lembut, dan hidup yang retak dipulihkan.
IV. KETIKA ORANG PERCAYA MEMBUNUH DENGAN AYAT
Apa yang sebenarnya terjadi di balik kutipan ayat yang tampak rohani, tapi disampaikan tanpa kasih?. Ayat Alkitab adalah Firman Tuhan yang hidup dan berkuasa, tapi Firman itu tidak pernah dimaksudkan untuk dijadikan senjata dendam, alat balas luka, atau palu penghakiman pribadi. Ketika Firman dilepaskan tanpa belas kasihan, tanpa roh kelemahlembutan, dan tanpa tujuan memulihkan, maka kebenaran yang mulia itu berubah fungsi: dari pelita yang menuntun, menjadi obor yang membakar. Dari pelukan Allah, menjadi batu yang dilempar ke arah saudara sendiri. Di balik kutipan ayat yang tampak benar, bisa tersembunyi niat yang salah, roh penghakiman, bahkan kepuasan daging rohani yang tidak mencerminkan Kristus. Firman tanpa kasih akan kehilangan kuasa penyembuhannya, dan justru melahirkan luka-luka baru di dalam tubuh Kristus sendiri — karena tanpa dibungkus belas kasihan, kebenaran bisa berubah menjadi senjata yang menusuk, bukan menyelamatkan. Akibatnya, jiwa-jiwa yang terluka semakin menjauh, orang berdosa merasa ditolak, dan gereja yang seharusnya menjadi rumah pemulihan berubah menjadi ruang penghakiman yang sunyi dan dingin, dan ketika gereja menjadi ruang penghakiman maka hal yang terjadi adalah sebagai berikut:
1. Jiwa yang lemah meninggalkan gereja.
Orang yang sedang berada dalam titik terendah hidupnya—baik karena dosa, kegagalan, atau luka batin—sebenarnya datang ke gereja dengan harapan akan dipulihkan, bukan dihakimi. Tapi ketika Firman disampaikan tanpa kasih, dan ayat-ayat Alkitab dijadikan alat untuk menunjuk-nunjuk kesalahan, bukan mengulurkan tangan pengampunan, maka yang terjadi adalah sebaliknya: mereka merasa disudutkan, dipermalukan, dan tidak layak berada di tengah umat Allah. Mereka tidak menolak Tuhan. Justru, mereka haus akan kasih dan pertolongan-Nya. Tetapi ketika suara dari mimbar atau sikap dari sesama jemaat mengandung nada penghakiman yang tajam, mereka mulai bertanya dalam hati: "Jika di gereja pun aku dilukai, ke mana lagi aku harus pergi?" Akhirnya, mereka menjauh—bukan dari Tuhan, tapi dari tempat yang seharusnya menjadi rumah pemulihan. Mereka pergi dalam diam, membawa luka baru dari rumah rohani yang semestinya menyembuhkan, bukan melukai. Inilah tragedi ketika Firman kehilangan wajah kasihnya: jiwa-jiwa yang paling membutuhkan pengharapan justru terdorong menjauh, bukan ditarik mendekat.
Ilustrasi Nyata: Beberapa tahun lalu pada masa pandemic Covid, viral di media sosial—khususnya di wilayah Bekasi—kisah nyata tentang seorang gembala sidang yang pernah membangun sebuah pelayanan dari nol (menurut cerita anaknya dalam kolom komentar) di Faceebook. Ia memulai dari rumah ke rumah, mengunjungi jiwa demi jiwa, berdoa di kursi plastik, beribadah di teras kontrakan. Tidak ada yang muluk—semuanya sederhana, tapi penuh cinta dan pengorbanan. Namun, seiring gereja itu bertumbuh dan terbangun, konflik pun muncul. Ada ketegangan internal, bisik-bisik rohani, dan perpecahan kecil yang akhirnya membesar. Tanpa proses klarifikasi yang benar, tanpa mediasi yang sehat, sang gembala disingkirkan secara perlahan dari ladang yang ia garap sendiri. Lebih tragis lagi, ia yang menjadi korban justru dituduh sebagai biang masalah. Firman Tuhan yang dulunya ia pegang teguh, kini dijadikan senjata oleh orang-orang yang dulu ia layani dan kenal. Ayat-ayat disampaikan kepadanya bukan untuk memeluk, tapi untuk menghukum. Ia mulai dijauhi, dipermalukan, hingga merasa tidak punya tempat lagi di tubuh Kristus yang dulu ia bangun. Ia bergumul hebat. Di hadapan Tuhan, ia menangis, tapi di hadapan manusia, ia dipandang berdosa.
Hari-hari berlalu, dan luka itu semakin dalam. Ia tidak kuat mendengar ayat yang terasa seperti tudingan. Ia lelah menghadapi sorotan sinis yang seolah berkata, "Kau sudah tidak layak di sini." Sampai akhirnya, ia berhenti datang ke gereja. Ia diam, lalu menghilang. Beberapa bulan kemudian, muncul kabar mengejutkan: gembala itu telah meninggalkan imannya dan berpindah keyakinan. Bukan karena ia benci Yesus, tetapi karena ia tidak lagi melihat kasih Yesus di antara umat-Nya. Ia tak kuat menahan luka dari gereja yang seharusnya menjadi rumahnya sendiri.
Berapa banyak korban luka rohani seperti ini ada di sekitar kita, tapi kita tidak pernah tahu?. Mereka tersenyum di luar, tapi remuk di dalam. Mereka tetap datang ke ibadah, tapi hatinya hancur. Bukan karena mereka membenci Tuhan—mereka masih percaya, masih berharap—tapi mereka tak kuat menghadapi Firman yang disampaikan tanpa kasih, tanpa pelukan, tanpa pengertian. Berapa banyak orang yang sebenarnya tidak menolak Tuhan, tapi terpaksa menjauh karena ayat-ayat suci digunakan sebagai palu yang memukul, bukan balsam yang menyembuhkan?. Karena setiap kali mereka membuka diri, yang datang justru tudingan. Setiap kali mereka minta pertolongan, yang terdengar adalah penghakiman. Jangan jadikan Firman sebagai pisau, tetapi jadikan itu sebagai tangan Tuhan yang memeluk. Firman memang tajam, tapi bukan untuk membunuh saudara kita—melainkan untuk membedakan mana luka yang harus disembuhkan dan mana rantai dosa yang harus dilepaskan. Sebab tujuan utama Firman adalah membangkitkan, bukan menjatuhkan; menghidupkan, bukan mematikan; menarik orang kembali ke salib, bukan mengusir mereka dari kasih Kristus.
2. Orang berdosa merasa ditolak, bukan ditarik kepada Kristus.
Tujuan utama dari Injil adalah membawa orang berdosa kembali kepada kasih dan pengampunan Kristus. Tapi ketika kebenaran disampaikan tanpa kasih, justru yang terjadi adalah penolakan. Bukan Tuhan yang menolak mereka, tapi cara kita menyampaikan kebenaran yang membuat mereka merasa tak layak didekati. Alih-alih merasa disambut dan dipulihkan, orang berdosa sering merasa dihakimi, distigma, dan dijauhi. Mereka datang ke gereja dengan harapan akan bertemu Sang Juruselamat, tetapi yang mereka terima adalah pandangan sinis, kata-kata tajam, dan ayat-ayat yang terdengar seperti vonis mati. Bukannya dipeluk oleh tubuh Kristus, mereka malah merasa dikucilkan oleh-Nya. Padahal Yesus sendiri berkata: “Bukan orang sehat yang memerlukan tabib, tetapi orang sakit... Aku datang bukan untuk memanggil orang benar, melainkan orang berdosa supaya mereka bertobat” (Lukas 5:31–32). Yesus tidak datang untuk mempermalukan orang berdosa di muka umum, tetapi untuk memulihkan hati mereka dalam ruang kasih. Tapi ketika kita, sebagai tubuh Kristus, memperlakukan orang berdosa seolah-olah mereka musuh, maka kita sedang menarik mereka menjauh dari salib, bukan mendekatkannya. Gereja seharusnya menjadi rumah sakit rohani, bukan ruang sidang.
Karena di dalam rumah sakit, yang datang adalah orang sakit, bukan orang sempurna. Yang dibutuhkan adalah dokter dan perawat yang penuh empati, bukan hakim yang menuntut. Maka gereja dipanggil untuk menjadi tempat pemulihan, bukan penghakiman—tempat di mana orang berdosa datang bukan untuk diadili, melainkan untuk dirawat oleh kasih karunia. Dan setiap dari kita dipanggil bukan menjadi jaksa, tetapi menjadi perpanjangan tangan Tuhan yang berkata, “Masih ada harapan untukmu di dalam kasih Kristus.” Tuhan tidak butuh lebih banyak orang yang pandai menghakimi, Dia butuh lebih banyak orang yang bersedia menjadi alat pemulih. Kita bukan dipanggil untuk mengungkit dosa orang lain, tetapi untuk menuntun mereka kembali kepada kasih dan pertobatan. Ketika orang jatuh, tugas kita bukan menunjuk, tapi mengulurkan tangan. Yesus tidak melempar batu. Ia membungkuk, menulis di tanah, dan berkata dengan lembut, “Aku pun tidak menghukum engkau.” Inilah suara Injil yang sejati — bukan mengabaikan dosa, tetapi membawa pendosa kepada terang dengan pelukan, bukan dengan cambuk.
3. Kesalehan yang Membusungkan Dada
Salah satu bahaya paling halus dan tersembunyi dalam pelayanan adalah arogansi yang dibungkus kerohanian. Seorang pengkhotbah bisa tampak sangat “berapi-api”, mengutip banyak ayat, terdengar bijak dan menguasai mimbar—namun motivasinya tidak lagi untuk membangun jemaat, melainkan untuk meninggikan diri sendiri. Firman yang harusnya disampaikan dari hati yang telah hancur dan berserah di hadapan Tuhan, justru keluar dari sikap hati yang merasa lebih suci, lebih benar, dan lebih layak dari yang lain. Khotbah menjadi panggung ego rohani, bukan saluran kasih karunia. Yesus sendiri memberi teladan bahwa kerendahan hati adalah fondasi pelayanan yang sejati: "Belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan" (Matius 11:29). Ironisnya, kesalehan yang membusungkan dada sering tidak disadari. Pengkhotbah bisa merasa sedang membela kebenaran, padahal sedang menyakiti tubuh Kristus. Ia menyangka sedang memuliakan Tuhan, padahal diam-diam mengangkat dirinya di atas sesama dengan kalimat-kalimat rohani yang kaku, dingin, dan penuh penghakiman. Jika ini dibiarkan, mimbar kehilangan air mata, gereja kehilangan pengurapan, dan Firman kehilangan belas kasihan. Maka yang terdengar dari altar bukan lagi suara Tuhan yang lembut, tapi gema kesombongan yang dibungkus ayat. Jiwa-jiwa tidak lagi ditarik kepada Kristus, melainkan lari karena merasa tak akan pernah cukup kudus untuk diterima—bukan oleh Tuhan, tetapi oleh gereja-Nya. Akhirnya, gereja menjadi tempat yang suci secara struktur, tapi kosong secara kasih. Orang datang hanya untuk memenuhi kewajiban, bukan untuk dipulihkan. Pelayanan jadi sibuk, tapi tidak menyentuh jiwa. Mimbar jadi tinggi, tapi hatinya tidak rendah.
Dan yang paling tragis, kita bisa merasa sedang melayani Tuhan, padahal sebenarnya sedang menjauhkan orang dari-Nya. Kita berkhotbah tentang kasih, tapi hati kita keras. Kita berseru tentang kebenaran, tapi tanpa belas kasihan. Kita mengangkat nama Yesus, tapi melukai tubuh-Nya—yaitu jemaat-Nya sendiri. Tanpa kita sadari, pelayanan kita menjadi aktivitas yang sibuk secara lahiriah, tapi hampa secara rohani. Kita sibuk menyampaikan Firman, tapi tidak memancarkan kasih. Kita tekun menjaga kemurnian ajaran, tapi melupakan kelembutan hati Yesus. Kita berbicara tentang terang, tapi justru membuat banyak orang berjalan dalam bayang-bayang rasa bersalah, ketakutan, dan luka yang tak pernah disembuhkan. Dan ketika itu terjadi, kita bukan sedang menggembalakan domba, melainkan sedang menghalau mereka keluar dari kandang kasih karunia..
4. Gereja kehilangan kuasa pemulihan.
Luka terdalam sering kali bukan datang dari luar, tapi dari dalam tubuh Kristus sendiri—dari tangan saudara seiman. Ini bukan sekadar perasaan, tapi kenyataan yang diakui banyak orang: bahwa penghakiman paling menyakitkan sering terjadi bukan di jalanan, tapi di dalam gereja; bukan dari orang dunia, tapi dari mereka yang seharusnya memeluk. Yesus mendirikan Gereja bukan sebagai ruang pengadilan, tapi sebagai rumah pemulihan.
Tubuh Kristus dipanggil menjadi tempat penghiburan, tempat orang berdosa bertobat dan dipulihkan, bukan dihakimi dan diusir. Namun ketika Firman dipakai hanya untuk menunjuk salah tanpa menawarkan jalan pulang, gereja perlahan kehilangan daya sembuhnya. Injil berubah dari kabar baik menjadi beban berat. Salib yang seharusnya memanggil orang untuk bertobat, malah terasa seperti vonis hukuman yang mengusir.
Secara teologis, gereja adalah tubuh Kristus (1 Korintus 12:27)—yang seharusnya saling menopang, bukan saling menyakiti. Ketika satu anggota terluka, seluruh tubuh ikut merasakannya. Tapi hari ini, banyak anggota tubuh yang malah menyayat luka yang sedang berdarah, bukan membalut dan mengobatinya. Gereja kehilangan kuasa pemulihannya bukan karena Firman kehilangan kuasa, tapi karena cara kita memperlakukan Firman tidak lagi merefleksikan Kristus yang penuh anugerah. Kita sibuk menciptakan sistem, mempercantik liturgi, membangun gedung, tapi lupa bahwa orang-orang yang datang membawa beban tidak mencari pertunjukan—mereka mencari pengharapan. Dan ketika mereka yang terluka tidak menemukan belas kasihan di rumah Tuhan, mereka akan mencari "pemulihan" di tempat lain—di dunia yang menawarkan kenyamanan semu, di filsafat yang memberi logika tanpa pengampunan, di komunitas yang menerima tanpa menuntun, bahkan dalam kesesatan yang dibungkus dengan kehangatan palsu. Ada yang lari ke hiburan, ada yang tenggelam dalam dosa, dan tidak sedikit yang akhirnya menyimpulkan bahwa Tuhan pun sudah tidak peduli lagi pada mereka—semata-mata karena mereka pernah ditolak oleh gereja yang mewakili-Nya.
Di titik inilah gereja bukan hanya kehilangan jemaat, tapi kehilangan otoritas rohaninya sebagai saluran kasih karunia Allah. Kehilangan suara profetiknya. Kehilangan kuasa pemulihannya. Sebab ketika kasih tidak lagi menjadi atmosfer utama dalam pelayanan, maka apapun yang dikhotbahkan dari mimbar hanyalah gema, bukan suara kehidupan. Gereja bisa tetap penuh bangku, namun kosong dari hadirat. Pelayanan bisa tetap berjalan, namun tidak lagi menyentuh hati manusia yang paling dalam.
Gereja bukan dipanggil untuk menyaring siapa yang layak masuk, tetapi membuka pintu bagi semua yang letih dan berbeban berat. Bila kita gagal menjadi tempat aman bagi mereka yang jatuh, maka kita sedang menggagalkan misi Kristus sendiri yang datang "bukan untuk memanggil orang benar, melainkan orang berdosa supaya bertobat" (Lukas 5:32).
Sebab kasih yang tidak nyata dalam pelayanan akan membuat gereja menjadi indah di luar tapi mati di dalam—menjadi tempat yang kudus secara struktur, tapi tidak lagi berfungsi sebagai pelabuhan jiwa-jiwa yang karam. Dan lebih menyedihkan lagi: kita tidak menyadari bahwa banyak yang menjauh dari Tuhan bukan karena menolak salib, tapi karena mereka tidak sanggup menanggung luka dari tangan-tangan yang seharusnya menyambut mereka pulang.
V. PERINGATAN BAGI YANG MEMAKAI AYAT UNTUK MENGHAKIMI
Orang yang Suka Menyerang Pakai Ayat: Sebuah Peringatan Serius dari Tuhan Sendiri, Yesus dengan sangat tegas menegur para ahli Taurat dan orang Farisi dalam Matius 23:13: “Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang munafik, sebab kamu menutup pintu-pintu Kerajaan Sorga di depan orang. Karena kamu sendiri tidak masuk dan kamu merintangi mereka yang berusaha untuk masuk.” Teguran ini tidak ditujukan kepada orang berdosa terang-terangan, melainkan kepada pemuka agama yang merasa paling benar secara kitab suci, tetapi memperalat kebenaran itu untuk menghakimi, mengontrol, dan menyombongkan diri. Mereka benar secara teks, tapi salah secara roh. Mereka tahu isi hukum, tetapi kehilangan belas kasihan.
Yesus menyebut mereka “menutup pintu Kerajaan Sorga” — artinya, cara mereka menyampaikan kebenaran justru menghalangi orang lain untuk mengalami pertobatan dan anugerah Tuhan. Ini gambaran jelas tentang mereka yang menggunakan ayat bukan untuk menyembuhkan, melainkan menyerang. Secara teologis, ini mencerminkan penyalahgunaan Firman Tuhan. Dalam 2 Korintus 3:6, Paulus menulis: “Sebab hukum yang tertulis mematikan, tetapi Roh menghidupkan.
Ayat tanpa Roh Kudus—tanpa kasih, tanpa kelembutan, tanpa motivasi pemulihan—hanya menjadi huruf mati yang bisa membunuh iman orang lain. Dan lebih dari itu, Firman yang disalahgunakan tidak hanya melukai orang lain, tapi juga membawa akibat serius bagi mereka yang menyalahgunakannya. Orang yang suka menyerang pakai ayat, tanpa sadar sedang menyalahgunakan otoritas rohani yang kudus. Mereka mungkin terlihat "berdiri atas kebenaran", tetapi sebenarnya berdiri di atas kesombongan rohani yang berbahaya. Mereka menjadikan ayat sebagai alat kekuasaan, bukan sebagai saluran kasih Kristus. Alkitab tidak pernah ditulis untuk membenarkan dendam pribadi, mempermalukan orang lain, atau membungkam lawan. Ketika ayat dipakai untuk menyerang, pelakunya sedang mengambil posisi Allah sebagai Hakim, padahal kita hanyalah hamba yang dipanggil untuk menyampaikan kebenaran dengan roh kelemahlembutan dan belas kasihan. Dampaknya bagi mereka yang suka menyerang pakai ayat sangat serius, baik secara rohani maupun etis di hadapan Tuhan:
· Akan dihakimi dengan ukuran yang sama. "Karena dengan penghakiman yang kamu pakai untuk menghakimi, kamu akan dihakimi, dan ukuran yang kamu pakai untuk mengukur, akan diukurkan kepadamu." — Matius 7:2. Orang yang terbiasa menghakimi orang lain dengan ayat tanpa kasih sedang menetapkan standar penghakiman atas dirinya sendiri. Tuhan mengingatkan bahwa cara kita memperlakukan orang lain akan menjadi ukuran yang sama saat kita berdiri di hadapan-Nya. Ini bukan sekadar etika, tapi hukum rohani. Semakin keras dan tanpa belas kasihan kita menilai orang lain, semakin berat penghakiman yang akan kita tanggung.
· Menjadi batu sandungan bagi yang lemah. “Tetapi barangsiapa menyesatkan salah satu dari anak-anak kecil ini yang percaya kepada-Ku, lebih baik baginya jika sebuah batu kilangan diikatkan pada lehernya lalu ditenggelamkan ke dalam laut. Celakalah dunia dengan segala penyesatannya!” — Matius 18:6–7. Yesus mengeluarkan peringatan paling keras terhadap mereka yang membuat orang lemah secara rohani tersandung. Ketika seorang yang sedang mencari Tuhan malah diserang atau dipermalukan dengan ayat, maka pelakunya sedang menghalangi jalan seseorang menuju keselamatan. Ini bukan kesalahan kecil—Tuhan menyebutnya sebagai "penyesatan", dan ancamannya sangat serius.
· Menyalahgunakan kebenaran untuk membenarkan ego. Firman Tuhan adalah kebenaran yang kudus, bukan alat pembenaran diri atau pelampiasan luka batin. Ketika ayat digunakan untuk memenangkan argumen, menyerang pribadi lain, atau membenarkan sikap keras hati sendiri, maka kebenaran diseret masuk ke dalam wilayah ego manusia. Ini adalah bentuk penyalahgunaan rohani yang tidak akan luput dari perhatian Allah. Lebih parah lagi, hal ini sering dilakukan oleh mereka yang merasa dirinya sudah “dewasa rohani” — mereka fasih dengan ayat, terbiasa tampil sebagai rohaniwan, namun tidak mau ditegur atau dikoreksi. Ketika seseorang dengan tulus menegur perilaku mereka yang tidak mencerminkan Kristus—baik itu kesombongan, manipulasi, atau ketidakadilan—mereka justru membalas dengan serangan rohani: menyebut yang menegur sebagai “tidak rohani”, “belum dewasa”, atau “belum mengerti hikmat.” Padahal, sering kali teguran itu adalah suara Allah sendiri yang sedang mencoba menyingkap kedalaman hati yang tersembunyi di balik topeng kesalehan. Inilah bentuk "kesalehan palsu" yang dijelaskan Paulus dalam 2 Timotius 3:5: "Secara lahiriah mereka menjalankan ibadah mereka, tetapi pada hakikatnya mereka memungkiri kekuatannya. Jauhilah mereka itu!".
Mereka lupa bahwa kedewasaan rohani sejati bukan terletak pada banyaknya ayat yang dihafal, tetapi pada seberapa dalam hati mau dibentuk, dikoreksi, dan bertobat. Tidak mencerminkan kasih Allah “Barangsiapa tidak mengasihi, ia tidak mengenal Allah, sebab Allah adalah kasih.”— 1 Yohanes 4:8. Setiap penyampaian Firman seharusnya merefleksikan sifat Allah itu sendiri: kasih. Jika seseorang menyampaikan ayat dengan nada penuh penghakiman, keras, menyudutkan, dan tanpa kasih, maka apa pun isi ayatnya tidak akan membawa kehidupan, sebab roh di baliknya bertentangan dengan karakter Allah. Mereka mungkin berbicara tentang Allah, tetapi tidak mewakili-Nya. Dan di sinilah bahaya besar itu muncul: menyangka sedang melayani Tuhan, padahal sedang menjauhkan orang dari kasih-Nya.
VI. KITA DIPANGGIL UNTUK MENGHIDUPKAN, BUKAN MEMATIKAN
“Tetapi katakanlah kebenaran dalam kasih.” (Efesus 4:15) Sebagai umat Tuhan, kita tidak dipanggil untuk mempermalukan orang dengan ayat, tetapi untuk memperkenalkan kasih yang memulihkan; sebab Firman memang tajam seperti pedang (Ibrani 4:12), namun pedang itu harus diarahkan oleh kasih, bukan amarah atau keinginan untuk menjatuhkan—karena tugas kita bukan sekadar menunjukkan dosa, tetapi menuntun orang berdosa kepada pertobatan sejati dalam suasana belas kasihan, bukan ketakutan; bukan dengan menekan, tetapi mengangkat.
Dalam kehidupan sosial dan bergereja, penerapan kasih dalam kebenaran bukanlah pilihan, melainkan panggilan ilahi yang melekat pada identitas kita sebagai murid Kristus. Sebab kasih tanpa kebenaran akan menjadi kompromi, tetapi kebenaran tanpa kasih akan menjadi kekerasan rohani. Maka Firman harus dibawa bukan dengan semangat menghakimi, melainkan dengan roh kelemahlembutan, sebagaimana Kristus datang bukan untuk menghancurkan yang lemah, melainkan mencari dan menyelamatkan yang hilang. Ini berarti:
· Di dalam keluarga, kita tidak menggunakan Firman untuk membungkam, mengontrol, atau membebani orang-orang terdekat kita dengan tuntutan rohani yang kaku, melainkan kita hadir sebagai teladan hidup yang penuh kesabaran, kerendahan hati, dan ketulusan. Firman dipraktikkan dalam cara kita bersikap, bukan hanya dalam kata-kata yang kita ucapkan.
· Di dalam komunitas dan lingkungan sosial, kita tidak memakai ayat untuk merasa lebih benar atau lebih tinggi dari orang lain, tetapi justru memakai kebenaran itu untuk mengulurkan tangan kepada mereka yang jatuh, meneguhkan mereka yang patah semangat, dan menjadi suara pengharapan di tengah keputusasaan.
· Di media sosial, kita tidak menyebarkan ayat-ayat tajam sebagai senjata untuk menyindir, menyerang, atau menyudutkan orang yang berbeda pandangan. Sebaliknya, kita memanfaatkan ruang digital sebagai sarana menyebarkan kasih Kristus yang menyentuh hati, membangun, dan menegur dengan cinta, bukan dengan arogansi rohani.
· Di dalam gereja, kita tidak menjadikan mimbar sebagai tempat penghakiman sepihak, melainkan sebagai saluran kasih karunia—tempat di mana kebenaran disampaikan dengan air mata, bukan dengan amarah; dengan hati yang hancur, bukan dengan suara yang meninggi. Jemaat yang datang dengan luka seharusnya menemukan tempat untuk pulang, bukan alasan untuk pergi. Gereja bukan tempat untuk memperbesar luka, tapi tempat di mana luka dibalut dan jiwa dipulihkan.
Firman yang hidup bukan hanya terdengar dari atas mimbar, tapi terasa dalam pelukan jemaat yang mengasihi dan saling menerima. Dan setiap pelayan Tuhan harus menyadari: bahwa panggilan utama kita bukan sekadar menyampaikan isi Alkitab, tetapi mewakili hati Kristus yang penuh kasih, yang tahu kapan menegur dan kapan menggendong. Kita tidak diutus untuk mempertontonkan kehebatan rohani, tetapi untuk memperkenalkan karakter Allah yang rendah hati dan penuh belas kasihan. Begitu Dalam kehidupan berjemaah, kasih harus menjadi budaya yang hidup—bukan sekadar pengajaran—sebab gereja yang benar bukan hanya tertib dalam tata ibadah, tetapi hangat dalam relasi; bukan hanya kuat dalam pelayanan, tetapi lembut dalam pergaulan; dan bukan hanya lantang memuji Tuhan di mimbar, tetapi juga membangkitkan semangat sesama di bangku jemaat—sebab Firman bukan untuk dijadikan senjata yang melempar keluar, tetapi roti hidup yang menguatkan dan memulihkan setiap orang dalam kasih Tuhan. Karena tanpa kasih, semua bentuk kegiatan rohani akan kehilangan makna. Kita bisa sibuk dalam pelayanan, padat dalam program, bahkan penuh dengan ayat dan kotbah—tetapi jika tidak ada kehangatan dalam relasi, tidak ada empati dalam sapaan, tidak ada kerendahan hati dalam koreksi—maka kita hanya menciptakan gereja yang tampak hidup di luar, namun kosong dan sepi di dalam. Gereja bukan sekadar tempat kita belajar tentang kasih, tapi tempat di mana kasih itu dirasakan dan dihidupi. Jemaat bukanlah penonton yang menilai mimbar, tetapi anggota tubuh Kristus yang saling menopang dan menguatkan. Jika satu anggota menderita, semua ikut merasakannya (1 Korintus 12:26)—itulah tubuh Kristus yang sejati. Dan Firman Tuhan—yang adalah kebenaran ilahi—tidak diberikan untuk membungkam, mengintimidasi, atau menghakimi tanpa belas kasihan, melainkan untuk membangkitkan yang jatuh, menerangi yang tersesat, dan memulihkan yang terluka. Maka jangan jadikan Alkitab sebagai alat untuk menyingkirkan orang yang dianggap "tidak layak", tetapi jadikan Firman itu sebagai roti hidup (Yohanes 6:35) yang memberi harapan dan kekuatan baru.
Sebab pada akhirnya, gereja yang berhasil bukanlah yang besar gedungnya, banyak pelayanannya, atau lengkap programnya—tetapi yang besar dalam kasih, kaya dalam pengampunan, dan setia mencerminkan Kristus dalam perkataan dan perbuatan. Sebab kebenaran tanpa kasih hanya akan membuat orang menjauh, tapi kebenaran dalam kasih akan membuat orang pulang.
VII. PENUTUP
Jangan membunuh orang dengan ayat, tapi pulihkan mereka dengan hati Kristus. Karena Firman bukan diberikan untuk dijadikan palu yang memukul mereka yang jatuh, tetapi sebagai pelita yang menuntun mereka pulang. Ayat demi ayat dalam Alkitab adalah napas Allah yang menghidupkan, bukan peluru untuk melukai; kebenaran yang menyelamatkan, bukan senjata yang mengusir. Kita dipanggil bukan sekadar menyampaikan kebenaran, tetapi mewakili karakter Sang Kebenaran itu sendiri—Yesus Kristus, yang penuh kasih, pengampunan, dan kelembutan bagi mereka yang hancur dan berdosa.
Kita memang perlu memberitakan pertobatan, menegur dosa, dan menyuarakan kekudusan, tetapi bukan dari tempat penghakiman, melainkan dari hati yang telah diampuni. Sebab ketika Firman diberitakan tanpa kasih, ia kehilangan wajah Kristus di dalamnya—dan saat itulah, ayat yang seharusnya menghidupkan justru bisa membunuh harapan, membungkam jiwa, dan mematahkan iman. Tugas kita bukan melempar batu, tetapi mengangkat mereka yang tertindih oleh dosa. Bukan mengusir yang gagal, tetapi menjadi jembatan agar mereka kembali kepada Bapa. Jangan sampai mulut kita mengutip surga, tetapi sikap hati kita justru menyeret orang ke jurang keputusasaan. Sebab Firman yang kudus bukan hanya soal isi yang benar, tetapi juga tentang roh yang membawanya. Jika disampaikan dengan kasih, Firman menjadi pelita yang menuntun jiwa pulang kepada Bapa. Tapi jika disampaikan dengan hati yang keras, penuh ego, atau kepahitan, maka ayat yang suci bisa berubah menjadi palu yang menghancurkan semangat dan membungkam harapan.
Di tangan orang yang benar—yang hancur hati dan penuh belas kasihan—Firman menjadi alat pemulihan, penyembuhan, dan pembebasan. Tapi di tangan yang salah—yang arogan, merasa benar sendiri, dan mengutip ayat demi membenarkan diri—Firman bisa berubah menjadi senjata rohani yang melukai lebih dalam daripada pedang mana pun. Maka jangan sampai suara kita terdengar seperti nabi, tapi roh kita seperti ahli Taurat yang melempar batu. Jangan sampai kita mengaku mewakili Kristus, tapi malah menjauhkan orang dari salib-Nya. Karena di hadapan Tuhan, bukan hanya isi kotbah atau Nasehat Firman yang Ia nilai, tapi juga isi hati di baliknya. Dan orang-orang di sekitar kita—terutama yang terluka—tidak hanya mendengar kata-kata kita, tapi merasakan roh yang kita bawa.
Maka hari ini, jadilah suara Kristus, bukan gema dari luka yang belum sembuh. Jadilah saluran pemulih, bukan tangan yang tanpa sadar mendorong jiwa jatuh lebih dalam. Ingatlah bahwa kekuatan sebuah ayat bukan terletak pada seberapa keras ia diucapkan, tetapi seberapa dalam kasih yang menyertainya.Terkadang, diam dalam kasih lebih menyembuhkan daripada berkhotbah tanpa belas kasihan. Sebab Firman bukan untuk membuktikan siapa yang lebih benar, tetapi untuk menyatakan siapa yang rela memulihkan.
Kristus tidak datang untuk mengutuk dunia, tetapi untuk menyelamatkannya (Yohanes 3:17). Maka sebagai wakil-Nya, kita pun tidak dipanggil untuk menjadi hakim yang mencela, tetapi duta besar kasih karunia yang merangkul mereka yang jatuh dan memberi mereka jalan kembali kepada Bapa. Jangan jadikan mulut kita sumber penghakiman, tapi jadikan hati kita saluran kasih Allah. Karena di akhir zaman, Tuhan tidak hanya menilai seberapa banyak ayat yang kita hafal, tetapi seberapa besar kasih Kristus yang hidup melalui kita—dalam sikap, dalam pelayanan, dalam tutur kata, dan dalam cara kita memperlakukan sesama, terutama mereka yang paling lemah dan terluka. Banyak orang bisa mengutip Firman, tetapi tidak semua mencerminkan hati Sang Firman itu sendiri. Tuhan tidak mencari bibir yang fasih berbicara tentang kasih, tetapi hati yang bersedia menjadi saluran kasih itu, bahkan ketika tidak dilihat orang. Sebab hukum yang terutama bukan hanya tahu firman, tetapi mengasihi Allah dan sesama dengan segenap hati (Matius 22:37–39).
Di hadapan takhta penghakiman Kristus nanti, ukuran bukanlah banyaknya pelayanan yang dilakukan, panjangnya doa yang dipanjatkan, atau lantangnya suara yang dikumandangkan—tetapi apakah kita benar-benar mewakili kasih Kristus yang menyelamatkan? Karena Kasih bukan hanya tanda kedewasaan rohani, tapi bukti kehadiran Allah dalam hidup kita. Kasih sejati tidak melukai dengan Firman, melainkan menyembuhkan dengan kebenaran yang dibalut belas kasihan. Jangan gunakan ayat Alkitab sebagai mesin pembunuh, karena Firman bukan senjata dendam, tetapi jalan pemulihan..
Sebab “huruf mematikan, tetapi Roh memberi hidup.”
— 2 Korintus 3:6b
DAFTAR PUSTAKA
Alkitab Terjemahan Baru (LAI), Yeremia 23:25–32
Catatan pelayanan pribadi dan pengalaman penggembalaan
Refleksi atas dinamika gereja kontemporer di lingkungan Gereja Gereja
============
Biografi Singkat Penulis– Pdt. Syaiful Hamzah Nahampun, M.Th
Gembala Sidang GBI Jl. Plumpang Semper No.22 (JPS22) – Jakarta Utara
Gembala Cabang GBI PRJ Sion – Pearaja Parlilitan, Sumatera Utara
=============
Lahir : 12 April 1974
Pendidikan : Magister Teologi (M.Th)
Sedang menempuh : Program Doktor (S3) di STT Gragion
Sinode : Gereja Bethel Indonesia (GBI)
Istri : Pdm. Tiolida Sihotang S.PdK
Anak : Malkhi K dan Josua Rajahot Eklesyaiful Nahampun
Profil Pelayanan
· Dipanggil dari latar belakang kehidupan yang keras, Pdt. Syaiful Hamzah Nahampun melayani dengan hati yang tulus dan komitmen tinggi terhadap kebenaran firman Tuhan serta ketaatan terhadap struktur dan doktrin GBI.
· Bersama istri, Pdm. Tiolida Sihotang S.PdK, beliau menggembalakan jemaat di berbagai wilayah, termasuk cabang-cabang luar Jakarta seperti Dayun (Riau) dan Pearaja Parlilitan (Sumatera Utara).
· Pernah menggembalakan sebuah jemaat di salah satu daerah di Riau secara sah di bawah GBI JPS No. 22, namun kemudian menghadapi pembangkangan jemaat yang keluar secara sepihak tanpa ketaatan rohani maupun struktural.
· Pelayanannya menekankan pemuridan sejati dalam karakter, pertobatan, dan tanggung jawab, serta menyoroti bahaya teologi spiritual bypass—kerohanian semu yang menghindari pemulihan dan keadilan.
· Saat ini, beliau juga menempuh studi doktoral (S3) dalam bidang Misi di STT Gragion, dan aktif mengajar sebagai dosen di beberapa sekolah tinggi teologi, membentuk pemimpin-pemimpin gereja yang sehat secara doktrin maupun karakter.
Catatan Penting: Tulisan ini disusun khusus untuk kalangan sendiri sebagai bahan ilustrasi rohani dan refleksi teologis. Jika terdapat kemiripan dengan peristiwa, tempat, atau individu tertentu, itu tidak disengaja dan bukan merupakan tuduhan pribadi, melainkan ajakan untuk perenungan bersama dalam terang Firman Tuhan. Dilarang menyalin, menyebarluaskan, atau memperbanyak isi tulisan ini tanpa izin tertulis dari penulis.