SEJARAH GBI PRJ SION SUMUT
Gereja Bethel Indonesia – Dusun Pearaja, Sion Sibulbulon
Kecamatan Parllitan, Humbaang hasundutan Sumatera Utara
Cabang dari GBI JPS JL. Plumpang No. 22 Jakarta Utara
Disusun oleh Gembala Sidang: Pdt. Syaiful Hamzah, M.Th
#Awal Kunjungan Pelayanan (2010 – 2019)
Pelayanan Gereja Bethel Indonesia di Pearaja, Parlilitan dimulai bukan dari sebuah program besar atau rencana strategis lembaga, tetapi dari kasih dan beban pribadi yang Tuhan taruh dalam hati saya, Pdt. Syaiful Hamzah, M.Th, bersama istri, Pdm. Tiolida Sihotang, S.PdK.
Sejak tahun 2010, kami secara rutin melakukan kunjungan pelayanan tahunan dari Jakarta menuju Parlilitan, Tapanuli. Setiap kunjungan disertai dengan Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR), pelayanan keluarga, dan pembinaan rohani jemaat. Kami melayani bukan karena diundang secara resmi oleh struktur, tapi karena kami tahu ada jiwa-jiwa yang haus dan butuh sentuhan kasih Tuhan.
Di tahun-tahun awal, kami menyewa kendaraan pribadi dari Jakarta ke Sumatera — sebuah perjalanan panjang, melelahkan, dan penuh tantangan. Namun karena kasih Tuhan yang menyertai, kami tidak pernah berhenti. Bahkan pada tahun 2011, saya dan istri pernah mengendarai sepeda motor Mio yang kami bawa dari Jakarta ke Parlilitan, dengan semangat melayani yang tidak bisa diukur dengan logika manusia. Tidak ada rombongan besar, tidak ada fasilitas. Hanya kami berdua, membawa firman Tuhan dan semangat untuk menjangkau satu jiwa demi satu jiwa.
Perjalanan pelayanan ini menjadi benih iman yang mulai bertumbuh di tanah Pearaja. Perlahan-lahan, kami mulai dikenal oleh warga. Jiwa-jiwa mulai terbuka. Keluarga demi keluarga mulai disentuh oleh Roh Kudus. Dan meskipun saat itu belum ada bangunan gereja atau status struktural, pelayanan telah hidup di tengah-tengah masyarakat. Kami percaya: gereja bukanlah gedung, tetapi perjumpaan antara kasih Tuhan dan manusia yang mau merespons-Nya dengan iman. Dan dari situlah, cikal bakal GBI PRJ Sion di Pearaja mulai terbentuk — bukan dari kekuatan manusia, tapi dari ketulusan dan keberanian untuk berkata, “Aku mau diutus, Tuhan.”
#Penerimaan Sosial dan Budaya (2019)
Ketika pertama kali saya menginjakkan kaki di tanah Parlilitan, saya datang sebagai orang asing. Bahasa saya berbeda, latar belakang saya berbeda, bahkan gaya ibadah saya pun berbeda dari kebiasaan mayoritas masyarakat di sana. Namun satu hal yang saya bawa: kasih Kristus yang tidak mengenal batas suku, budaya, maupun adat. Pelayanan lintas budaya bukanlah hal yang mudah. Saya harus belajar menghormati adat, mendengarkan dengan rendah hati, dan memahami nilai-nilai lokal yang sudah mengakar kuat. Saya dan Istri tidak datang untuk “mengubah budaya”, tapi untuk membawa Injil Tuhan Yesus Kristus yang bisa hadir dalam budaya manapun — termasuk budaya Batak yang kaya dan terhormat.
Saya mulai menjalin hubungan. Mengunjungi rumah-rumah warga. Duduk di lapo lapo sambil minum kopi bersama masyarakat dan para raja huta. Mendoakan yang sakit. Membantu yang kekurangan jika diperlukan. Pelan tapi pasti, tembok perbedaan itu mulai runtuh, dan jembatan kasih dibangun. Lalu, pada suatu momen yang sangat sakral di tahun 2019, saya menerima penghargaan budaya yang sangat dalam dari masyarakat lokal: saya secara resmi diberikan sebuah marga Batak yaitu Marga Nahampun. Itu bukan hal kecil.
Di budaya Batak, marga adalah identitas, harga diri, dan tanda bahwa seseorang diterima sebagai bagian dari komunitas. Maka ketika saya menerima marga itu, saya tahu: saya tidak lagi dilihat sebagai orang luar. Saya telah diterima sebagai saudara. Pemberian marga itu bukan hanya simbol integrasi sosial — itu adalah pengakuan bahwa pelayanan Gereja Bethel Indonesia, yang saya bawa dengan kasih dan pengorbanan, telah diterima secara utuh di tanah Pearaja.
Saya menangis dalam hati — bukan karena saya merasa hebat, tapi karena saya tahu hanya Tuhan yang bisa menaklukkan hati manusia, menyatukan budaya, dan menjadikan Injil diterima di tengah masyarakat yang dulu asing bagi saya.
Hari itu, saya tidak hanya menjadi "Pdt. Syaiful dari Jakarta". Saya menjadi bagian dari keluarga besar di Parlilitan. Bukan hanya sebagai penginjil — tapi sebagai saudara.
Dan sejak hari itu pula, saya semakin yakin: Injil adalah untuk segala bangsa, segala suku, segala bahasa. Dan kasih Kristus bukan hanya bisa diterima dalam gereja, tapi juga dalam adat, dalam budaya, dalam setiap rumah yang terbuka bagi kebenaran.
#Pembelian Tanah untuk Ibadah (Januari 2022)
Pada bulan Januari 2022, sebuah keputusan penting saya ambil dalam diam dan doa — saya memutuskan untuk membeli tanah pribadi di wilayah Pearaja, Parlilitan, Humbang Hasundutan. Namun, ini bukan keputusan bisnis. Ini bukan investasi duniawi. Tanah itu tidak saya beli untuk diapakai menjadi tempat ibadah, tempat pelayanan, tempat dimana nama Tuhan dimuliakan lewat Gereja Bethel Indonesia.
Saya percaya, jika Tuhan menggerakkan hati saya untuk membeli tanah di Pearaja, maka Dia pula yang akan memakai tanah itu untuk menegakkan Kerajaan-Nya. Bagi saya, tanah itu adalah ladang untuk di pakai memuliakan Tuhan. Tanpa banyak bicara, tanpa gembar-gembor, saya lakukan transaksi itu secara sah, legal, dan jelas dan diketahui oleh Kepala Desa serta sampai tingkat kecamatan Parlilitan. Saya tahu, ini bukan hal kecil. Ini akan menjadi dasar dimulainya pelayanan GBI di wilayah yang selama ini belum memiliki kehadiran gereja Bethel secara resmi. Dan benar — sejak saat itu, tanah itu menjadi lambang komitmen saya dan keluarga besar GBI JPS Jakarta untuk menjangkau Pearaja. Di sanalah kelak peletakan batu pertama dilakukan. Di sanalah doa-doa dinaikkan, pujian dikumandangkan, dan firman Tuhan diberitakan.
Pembelian Tanah itu, bagi saya adalah tanah panggilan. Untuk dipakai kegiatan Gereja Bethel Indonesia, Dan dari situlah cerita panjang GBI PRJ Sion Pearaja mulai ditulis — bukan dengan tinta emas, tetapi dengan air mata, pengorbanan, dan kasih yang murni kepada Tuhan Yesus Kristus serta banatuan dati kepala desa bapak jumrin nahampun.
#Peletakan Batu Pertama (Desember 2022)
Pada bulan Desember 2022, sebuah peristiwa bersejarah terjadi di Pearaja, Parlilitan, Humbang Hasundutan — sebuah titik awal dimulainya pelayanan permanen Gereja Bethel Indonesia (GBI) PRJ Sion di daerah ini. Dengan berbekal iman dan tekad yang tulus, dan persiapan rohani dan teknis, tibalah momen yang ditunggu-tunggu: peletakan batu pertama. Saya kembali datang dari Jakarta bersama istri dan tim pelayanan, membawa semangat yang tak padam — bahwa sekalipun jauh dari kota, Tuhan tetap ingin menjangkau mereka yang lapar dan haus akan kebenaran.
Hari itu menjadi sangat berkesan. Kepala Desa Pearaja, beserta perangkat desa dan aparat dusun, hadir dalam acara tersebut. Tak hanya itu, para Raja Huta (pemuka adat Batak), tokoh-tokoh masyarakat, dan bahkan wakil dari beberapa gereja tetangga, dan juga rekan GBI Amborgang yang terdekat turut datang dan berdiri bersama kami di lokasi tanah gereja yang sederhana itu. Mereka bukan hanya hadir sebagai tamu, tetapi menjadi saksi bahwa Tuhan sedang memulai sesuatu yang besar di tempat ini.
Dengan penuh doa dan rasa syukur, pada hari yang telah ditentukan, kami meletakkan batu pertama pembangunan gedung gereja GBI PRJ Sion di Pearaja – Parlilitan. Peletakan batu pertama ini tidak hanya dilakukan sebagai ritual administratif, tetapi sebagai tindakan iman dan pengakuan terhadap nilai-nilai budaya lokal. Kami menghormati budaya Batak dengan melaksanakan upacara adat sakti — sebuah bentuk penghormatan spiritual dan simbol integrasi antara Injil dan konteks budaya tempat kami melayani. Dalam budaya Batak, peletakan batu pertama (sakti) adalah simbol sakral yang melibatkan seluruh unsur masyarakat — dari raja huta, tokoh adat, hingga perwakilan masyarakat — sebagai lambang kesatuan, persetujuan bersama, dan restu terhadap suatu pembangunan.
Namun bagi kami, sakti ini bukan sekadar upacara adat. Di dalamnya kami melihat tindakan profetik: bahwa Injil Kristus bisa berakar dan bertumbuh di dalam budaya apa pun, termasuk di tengah masyarakat Batak yang kaya dengan nilai-nilai adat. Batu yang kami letakkan hari itu bukan sekadar fondasi fisik bangunan gereja — tetapi simbol dari pengharapan rohani, bahwa di atas tanah ini akan berdiri tempat yang kudus, tempat firman diberitakan, dan jiwa-jiwa dilahirkan kembali. Tidak ada kemegahan dalam acara itu. Hanya terpal sederhana, tanah merah, dan hati-hati yang terbakar oleh kasih Tuhan. Namun justru dalam kesederhanaan itu, hadirat Tuhan terasa nyata. Kami melihat air mata, sukacita, dan semangat dari orang-orang yang hadir, termasuk kepala desa, tokoh adat, dan masyarakat sekitar — semua menjadi saksi bahwa sesuatu yang besar sedang dimulai, bukan oleh kekuatan manusia, melainkan oleh kemurahan Allah yang bekerja melalui pelayanan sederhana ini.
Namun justru dalam kesederhanaan itu kami merasakan kemuliaan Tuhan hadir. Sambutan dari warga sangat hangat, dan bahkan beberapa tokoh desa berkata: “Kami senang GBI hadir di sini, kami butuh pengajaran dan pembinaan untuk anak-anak muda kami juga.” Itulah awal dari pelayanan GBI PRJ Sion Pearaja. Bukan sekadar membangun tembok, tetapi membangun kepercayaan dan hubungan dengan masyarakat. Tidak ada satu pun dari pihak struktural yang membantu secara materiil — semua lahir dari iman, keringat, dan kasih kami kepada Tuhan. Dan hari itu saya tahu, bahwa pelayanan ini bukan dimulai oleh kekuatan manusia, tetapi oleh kemurahan Tuhan dan persetujuan masyarakat yang melihat ketulusan kami.
#Kendala Pembangunan Fisik Gereja (2023) - Sekarang
Pembangunan gedung gereja di Pearaja sempat dimulai dengan penuh semangat dan pengharapan. Dengan dana pribadi dan semangat pelayanan yang tidak pernah surut, kami memulai dari tahap awal: pemasangan pondasi, tiang slop tembok dan tiang slop atap — sebuah langkah iman yang nyata di tengah keterbatasan.
Namun, pembangunan harus terhenti. Tembok dan dinding belum bisa dibuat, dan terlebih lagi, biaya untuk menyelesaikan atap yang diperkirakan mencapai sekitar Rp100 juta masih jauh dari terjangkau. Sampai hari ini, dana yang dibutuhkan belum tersedia. Dalam proses pergumulan ini, saya berjuang keras mencari bantuan dan dukungan. Saya mengetuk banyak hati, berdoa tanpa henti, berharap ada tangan-tangan yang tergerak untuk menopang pekerjaan Tuhan ini. Namun yang saya terima justru sebaliknya — bukan hanya penolakan, tetapi juga kecurigaan, fitnah, dan tuduhan tak berdasar dari orang-orang yang sebelumnya saya anggap sebagai rekan sepelayanan.
Saya pernah dimaki, difitnah, bahkan diblokir oleh mereka yang dulu saya percayai, hanya karena saya memilih untuk tetap memperjuangkan pembangunan rumah Tuhan dengan segenap hati dan iman. Yang lebih menyakitkan lagi, uang pembangunan gereja kami — yang dikumpulkan dengan doa dan pengorbanan — justru sempat diselewengkan oleh orang yang saya percaya untuk mengurus pembangunan. Saya tidak hanya terluka sebagai seorang gembala, tapi juga sebagai manusia yang dikhianati dalam perjuangan suci. Tapi dari lubuk hati terdalam, saya belajar satu hal: bahwa tidak semua orang yang berjalan bersama kita benar-benar mengerti beban pelayanan yang kita pikul. Dan tidak semua yang berseru "Amin" di depan, benar-benar setia ketika badai datang.
Namun saya tetap memilih untuk berdiri. Karena pelayanan ini bukan tentang siapa yang mendukung atau menolak saya — tapi tentang siapa yang memanggil saya. Dan saya tahu, saya dipanggil oleh Tuhan sendiri. Saya percaya Tuhan melihat dan mencatat setiap pengorbanan, termasuk luka-luka yang tidak pernah terlihat manusia. di balik luka itu, saya belajar satu hal penting: tidak semua orang akan memahami harga dari sebuah pengabdian. Tidak semua orang sanggup melihat air mata yang jatuh di balik pelayanan yang terlihat sederhana. Meski demikian, semangat saya tidak padam.
Saya percaya, Tuhan melihat setiap tetes keringat, setiap rupiah yang dikorbankan, dan setiap jeritan hati yang tak terdengar. Tuhan tahu bahwa pembangunan ini bukan tentang bangunan semata, tetapi tentang iman, kasih, dan kesetiaan pada panggilan pelayanan. Dan karena itulah saya tetap melangkah — sekalipun perlahan — karena pelayanan ini milik Tuhan, dan saya hanya hamba yang akan terus berjalan, sampai kehendak-Nya dinyatakan sepenuhnya.
#Pemindahan Tempat dan Awal Ibadah Rutin (2025)
Pada tahun 2025, saya kembali datang dari Jakarta membawa berbagai perlengkapan ibadah seperti alat musik, mimbar, dan keperluan lainnya, untuk merintis ibadah GBI PRJ Sion Pearaja. Kami menyewa sebuah rumah dan melakukan renovasi mandiri dengan total biaya sebesar Rp 20.000.000, agar tempat tersebut layak dijadikan sebagai lokasi ibadah.
Selama empat bulan, ibadah rutin, pembinaan, dan kegiatan pelayanan dijalankan di tempat tersebut. Namun, pada bulan berikutnya, salah satu anak dari keluarga pemilik rumah menunjukkan perubahan sikap dan menyatakan keberatan atas penggunaan rumah untuk kegiatan gereja. Hal ini menyebabkan situasi menjadi tidak kondusif, bahkan sempat terjadi perdebatan kecil, mengingat rumah tersebut telah kami renovasi secara maksimal untuk kepentingan ibadah.
Diduga, perubahan sikap tersebut dipengaruhi oleh perbedaan pandangan teologis atau denominasi yang dianut oleh pihak keluarga pemilik, yang mungkin tidak sejalan dengan sinode GBI. Meskipun kami telah menjelaskan bahwa kegiatan ibadah berlangsung secara damai dan terbuka, akhirnya kami memilih untuk tidak melanjutkan sewa demi menjaga kedamaian dan menghormati pihak keluarga..
Dalam pergumulan yang sangat berat pada bulan Juni 2025, saat saya dan istri hendak kembali ke Jakarta, kami mengalami tekanan batin yang luar biasa. Rumah yang sebelumnya kami sewa dan telah kami renovasi dengan biaya lebih dari Rp 20 juta, tiba-tiba tidak lagi diizinkan dipakai untuk di sewa oleh salah satu anak dari pemilik rumah. Sikapnya berubah drastis dan terkesan mempermainkan dan mempersulit kami, tanpa menghargai jerih payah kami dalam merenovasi rumah itu. Saya masih ingat betul perasaannya — begitu menyakitkan ketika pelayanan Tuhan diperlakukan seolah-olah tidak berharga, bahkan terusir dari rumah yang sudah kami renov dan persiapkan untuk ibadah.
Dalam tekanan itu, Selasa malam, saya bersama istri dan beberapa jemaat yaitu amang mauli ritonga, desmar tunanggor, unggul ritonga, dan kasea barasa, dan juga di hadiri kepala desa bapak jumrin nahampun, kami berusaha mencari rumah baru untuk disewa. Atas arahan dan bantuan serta saran dari Bapak Kepala Desa, Jumrin Nahampun, kami akhirnya mendatangi rumah keluarga Barasa. Malam itu — hingga pukul 2.00 dini hari — kami berbicara dan memohon dengan sungguh-sungguh. Saya secara pribadi menangis di hadapan mereka, memohon agar mereka bersedia rumahnya dipakai untuk tempat ibadah GBI PRJ Sion Pearaja. Saya tahu betul, saya tidak menangis karena lemah, tapi karena beban pelayanan ini terlalu berat untuk saya pikul sendiri.
Dan Tuhan menjawab doa kami melalui keluarga Barasa. Mereka tidak hanya menerima kami dengan tangan terbuka, tetapi juga menyatakan rumah mereka boleh dipakai tanpa biaya sewa — bahkan seluruh keluarga mereka yang di Jakarta pun ikut mendukung. Lebih dari itu, mereka membantu kami merenovasi rumah mereka agar lebih layak dijadikan tempat ibadah. Sikap dan hati keluarga Barasa benar-benar menjadi pelipur lara bagi kami, dan melalui mereka, kami tahu bahwa Tuhan tetap menyertai pelayanan ini. Sejak hari itu hingga sekarang, GBI PRJ Sion Pearaja beribadah di rumah keluarga Barasa. Saya kembali ke Jakarta dengan hati penuh ucapan syukur dan damai, karena saya tahu Tuhan tidak pernah meninggalkan hamba-Nya yang setia, sekalipun sempat ditolak dan disakiti oleh manusia.
#Pertumbuhan Jemaat dan Kegiatan Gereja
Ibadah Raya perdana GBI PRJ Sion Cabang Pearaja – Parlilitan resmi dimulai pada hari Minggu, tanggal 23 Maret 2025. Meskipun dilaksanakan dalam ruang yang sangat sederhana — yaitu di adakah rumah yang kami sulap menjadi tempat ibadah — suasana penuh sukacita dan hadirat Tuhan sangat terasa.
Pada ibadah perdana ini, sekitar 25 orang jemaat hadir, terdiri dari keluarga-keluarga sekitar Pearaja, anak-anak, pemuda, serta beberapa simpatisan yang sebelumnya telah kami layani secara pribadi. Suasana ibadah terasa hangat dan mengalir. Lagu-lagu pujian dinyanyikan dengan penuh semangat, dan firman Tuhan disampaikan dengan kuasa dan pengharapan bahwa inilah awal dari sebuah gerakan rohani di tanah Tapanuli. Setelah ibadah perdana tersebut, kegiatan-kegiatan pelayanan mulai terstruktur dan dilaksanakan secara rutin setiap minggunya:

Kegiatan PA (Pemahaman Alkitab) diadakan setiap selasa malam, diikuti oleh para jemaat dewasa. Dalam pertemuan ini, jemaat diajak menggali firman Tuhan lebih dalam, bukan hanya secara doktrinal, tetapi juga praktis — menyentuh kehidupan sehari-hari dan tantangan lokal yang dihadapi masyarakat. Diskusi dan tanya-jawab menjadi bagian penting dalam PA ini. Beberapa jemaat bahkan menyampaikan bahwa mereka baru pertama kali mengikuti pelajaran Alkitab yang membumi dan memberi pengertian menyeluruh tentang Injil dan kehidupan Kristen.

Setiap Minggu sore, Sekolah Minggu dilaksanakan secara rutin dan menjadi salah satu pelayanan inti di GBI PRJ Sion Cabang Pearaja – Parlilitan. Rata-rata kehadiran anak-anak mencapai 20 hingga 25 orang setiap minggunya. Mereka datang dengan antusias, wajah-wajah polos penuh semangat, dan hati yang haus akan kasih Tuhan. Materi yang disampaikan dalam Sekolah Minggu disesuaikan dengan usia anak-anak, dan dibawakan dengan metode kreatif seperti cerita Alkitab, lagu-lagu rohani anak, dan interaksi sederhana agar mudah dipahami. Tujuan kami bukan hanya mengajar secara kognitif, tetapi juga membentuk karakter dan spiritualitas anak-anak sejak usia dini, agar mereka tumbuh mengenal Tuhan Yesus sebagai Juruselamat dan Sahabat mereka.
Sebagai bentuk perhatian dan kasih, setiap anak juga diberikan bingkisan makanan ringan setelah kegiatan selesai. Ini bukan soal besar-kecilnya isi bingkisan, tetapi tentang menyampaikan bahwa gereja peduli dan menyambut mereka dengan penuh sukacita.
Melalui Sekolah Minggu inilah kami percaya bahwa generasi muda Pearaja sedang dipersiapkan menjadi terang di tengah lingkungan mereka, dan benih-benih firman Tuhan sedang ditanamkan di hati yang masih murni dan siap bertumbuh. Tim Sekolah Minggu juga mulai dilatih agar pelayanan ini tidak bergantung pada satu dua orang saja, tetapi menjadi wadah pertumbuhan pelayanan lokal.

Pelayanan kepada pemuda juga mulai dijalankan dengan Ibadah Pemuda setiap Sabtu sore. Dalam suasana santai dan akrab, para pemuda diajak membahas tema-tema kekinian seperti pergaulan sehat, media sosial, iman di tengah tekanan lingkungan, serta pentingnya pelayanan sejak muda.
Beberapa pemuda mulai aktif bukan hanya sebagai peserta, tetapi juga sebagai pengisi pujian, pemain musik, dan pendoa. Mereka dibina untuk menjadi generasi yang menyala bagi Kristus di daerahnya sendiri.
Meski dimulai dari tempat yang sederhana dan tanpa dukungan fasilitas besar, pelayanan gereja bertumbuh secara nyata dan menyentuh berbagai lapisan usia — anak-anak, pemuda, dan jemaat dewasa. Tuhan menumbuhkan iman dan antusiasme jemaat melalui ibadah-ibadah rutin ini. Ini adalah bukti bahwa ketika pelayanan dilandasi oleh kasih, kesetiaan, dan pengorbanan, maka Tuhan sendiri yang akan menumbuhkannya dan mempercayakan pertambahan jiwa.
#Penetapan Tim Pelayanan (2025)
Untuk memperkuat pelayanan di GBI PRJ Sion Pearaja dan menjamin kesinambungan pertumbuhan rohani jemaat, saya mengambil langkah penting dengan mengangkat beberapa jemaat lokal yang setia dan berintegritas sebagai pelayan gereja. Mereka adalah pribadi-pribadi yang telah menunjukkan komitmen, kesetiaan, dan semangat melayani sejak awal proses perintisan:
* Mauli Ritonga – Tua-Tua Gereja
* Kasea Barasa – Koordinator Gereja
* Desnar Tumanggir – Koordinator Ibadah
* Unggul Ritonga – Koordinator Sekolah Minggu dan koster
* Maria Tumanggor – Koordinator Pemuda
Saya percaya bahwa pelayanan yang kuat harus dimulai dari dalam, dan penunjukan mereka adalah bagian dari proses pembinaan serta pelimpahan tanggung jawab agar pekerjaan Tuhan terus berjalan dengan baik di wilayah ini.
#Pengakuan Resmi sebagai Cabang:
Pada bulan April 2025, saya secara resmi melaporkan kepada BPD GBI bahwa GBI PRJ Sion Sumut merupakan cabang dari GBI JPS No. 22 Jakarta Utara, yang saya gembalakan.
Laporan tersebut diterima secara struktural, dan Surat Tanda Lapor (STL) pun diterbitkan oleh BPD GBI TAPANULI, yang secara tertulis menyatakan dan mengakui GBI PRJ Sion sebagai cabang dari GBI PRJ (Sion), dengan saya, Pdt. Syaiful Hamzah, M.Th, tercantum sebagai Gembala Sidang yang sah.
Surat Tanda Lapor tersebut terbit pada tanggal 20 April 2025, dengan nomor: No. 020/S-XVII/SP/BPD-42/IV, dan menjadi bukti bahwa pelayanan di wilayah Pearaja–Parlilitan telah berada di bawah struktur Gereja Bethel Indonesia secara legal dan administratif, sebagai bagian dari GBI JPS No. 22 Jakarta.
Keluarnya STL (Surat Tanda Lapor) ini bukan sekadar dokumen administratif — tetapi sebuah pengakuan atas pelayanan yang dibangun dengan air mata, iman, dan ketulusan. Proses ini tidak terlepas dari dukungan penuh Ketua Perwil Humbang Tapanuli, Pdt. Juanto Nainggolan, S.Th, yang sejak awal menunjukkan keteguhan hati dalam menopang pekerjaan Tuhan ini.
Beliau bukan hanya hadir dalam komunikasi struktural, tetapi juga menaruh kepercayaan bahwa pelayanan yang lahir dari pengorbanan dan kesetiaan layak diakui dan diberkati. Di tengah dunia pelayanan yang kadang mengedepankan fasilitas dan nama besar, beliau tetap berdiri pada nilai: bahwa kejujuran dan ketaatan lebih penting daripada gengsi dan kekuasaan. Dukungan beliau menjadi bukti bahwa dalam GBI masih ada pemimpin yang melihat dengan mata rohani — bukan sekadar dari hitungan jumlah atau kemegahan gedung — tetapi dari integritas pelayanan yang tumbuh dari bawah.
---
Pelayanan di GBI Cabang Pearaja – Parlilitan tidak dibangun dari modal besar, gelar tinggi, atau jaringan kekuasaan. Tidak ada gedung megah, tidak ada anggaran berlimpah, tidak ada pujian struktural. Hanya ada iman yang diuji, air mata yang ditahan di malam hari, gaji kecil seorang dosen teologi, dan cinta yang tulus kepada jiwa-jiwa. Kami tidak memulai karena merasa mampu, tapi karena kami tidak tahan melihat jiwa-jiwa tanpa gembala. Kami tidak datang dengan uang, tapi dengan salib di pundak dan panggilan di hati.
Bagi sebagian orang yang terbiasa membangun pelayanan dari tumpukan dana, fasilitas lengkap, dan akses struktural, kisah GBI PRJ Sion Cabang Pearaja – Parlilitan mungkin tampak terlalu kecil untuk dihargai. Tapi kami percaya, Tuhan tidak mencari kemegahan manusia—Tuhan mencari ketulusan. Gereja ini lahir bukan karena kekuatan finansial, tetapi karena dorongan kasih Kristus yang menolak tinggal diam ketika jiwa-jiwa membutuhkan gembala.
Kami tidak membuka cabang untuk tampil hebat, melainkan untuk taat. Bukan demi gengsi nama, tetapi demi Injil. Meskipun dianggap remeh oleh sebagian orang, kami percaya Tuhan lebih melihat hati daripada ukuran bangunan atau jumlah pendukung. Dan biarlah semua tahu—Tuhan tidak butuh kemewahan untuk menyatakan kemuliaan-Nya. Dari ladang kecil yang sering dianggap sepele inilah, Tuhan sedang menyalakan api kebangunan yang tidak bisa dipadamkan oleh gengsi, sinisme, atau penolakan manusia.Soli Deo Gloria
-----------
Dokumen ini adalah arsip internal sejarah pelayanan GBI PRJ SION Pearaja – Parlilitan.Segala isi ditulis untuk tujuan rohani dan refleksi, bukan untuk menyerang pihak manapun. Dilarang disebarluaskan tanpa izin tertulis.