DITENGAH BADAI KONFLIK MALUKU 1999 AKU MENEMUKAN KRISTIS - KESAKSIAN PDT. SYAIFUL HAMZAH M.Th


 
 

DI TENGAH BADAI KONFLIK,

AKU MENEMUKAN KRISTUS

(Kesaksian Iman di Tengah Kerusuhan Maluku Utara 1999)

 

Penulis: Pdt. Syaiful Hamzah, S.Th., M.Th

 

I.   PENDAHULUAN:

Kesaksian hidup bukan sekadar cerita pribadi, tetapi adalah manifestasi dari kasih karunia Allah yang tak terbatas, yang memanggil umat-Nya dari lorong-lorong gelap kehidupan menuju terang kemuliaan-Nya. Dalam teologi Kristen, kesaksian bukan hanya narasi subjektif, tetapi menjadi confessio fidei vivens — pengakuan iman yang hidup dan aktif, di mana Allah menyatakan diri-Nya melalui pengalaman manusia yang diubahkan. Kesaksian sejati adalah ketika kehidupan seseorang menjadi khotbah hidup, memperlihatkan bahwa Injil bukan hanya doktrin, tetapi kuasa yang menyelamatkan, membebaskan, dan membentuk ulang identitas seseorang di dalam Kristus (Roma 1:16).

Pdt. Syaiful Hamzah adalah salah satu contoh nyata dari karya penebusan yang melampaui batas agama, budaya, dan sejarah pribadi. Dari latar belakang Islam yang kuat, ia mengalami perjumpaan radikal dengan kasih Kristus yang hidup. Pertobatannya bukan hasil paksaan atau debat, melainkan hasil pekerjaan Roh Kudus yang menyingkapkan kebenaran dan membebaskan jiwanya dari belenggu dosa dan luka masa lalu. Kisah ini menjadi bukti bahwa siapa pun yang datang kepada Kristus, Ia tidak akan pernah tolak (Yohanes 6:37).

Artikel ini bertujuan menggambarkan bahwa hidup yang diserahkan kepada Kristus bukan hanya akan dipulihkan, tetapi juga akan dipakai untuk kemuliaan-Nya. Dalam pelukan kasih Tuhan, masa lalu yang penuh luka diubah menjadi narasi keselamatan, dan kepedihan yang pernah dirasa menjadi alat pembentukan ilahi. Hidup yang tadinya terseok karena pergumulan, kini dituntun oleh Roh Kudus menjadi kehidupan yang berbuah bagi Kerajaan Allah. Inilah bukti nyata bahwa kasih karunia Allah tidak hanya mengampuni, tetapi juga memulihkan secara utuh, dan menjadikan seseorang alat pilihan untuk menyatakan Injil dengan kuasa dan pengharapan. Dalam terang kasih Tuhan, luka masa lalu diubah menjadi kesaksian, penderitaan menjadi pembentukan, dan hidup menjadi pelayanan yang penuh kuasa.

 

II.    LATAR BELAKANG KELUARGA DAN PENDIDIKAN AWAL

Ia dibesarkan dalam keluarga Muslim yang taat. Sejak kecil, hidupnya ditempa dalam suasana rumah yang penuh dengan nilai-nilai keagamaan dan tradisi keislaman yang kuat. Setiap hari dimulai dan diakhiri dengan kegiatan rohani: mengaji, belajar doa, dan mengikuti ajaran yang diwariskan turun-temurun. Ia tumbuh dalam irama kehidupan yang sarat akan kedisiplinan spiritual, penghormatan terhadap orang tua, dan komitmen terhadap iman. Ruang keluarga menjadi tempat belajar agama, dan masjid di lingkungan sekitar menjadi tempat ia mengasah ketaatan dan karakter. Hari-harinya bukan hanya dipenuhi dengan aktivitas belajar, tetapi juga kontemplasi dan keinginan untuk mengenal Allah lebih dalam—walau ia belum menyadari bahwa kelak pencarian itu akan membawanya kepada sesuatu yang jauh melampaui dugaan dan logika manusia. Dalam rumah yang menjunjung tinggi tradisi dan kesalehan, ia dibesarkan sebagai pribadi yang mencintai kebenaran, walau kebenaran itu sendiri masih menanti untuk dinyatakan sepenuhnya dalam Kristus.

Pendidikan formalnya dimulai di SD Negeri 17 Pagi Rawabadak, Jakarta Utara, sebuah sekolah sederhana namun penuh makna bagi perjalanan hidupnya. Di sinilah ia belajar huruf dan angka, tapi juga belajar arti kedisiplinan dan tanggung jawab dari para guru yang setia mendidik. Seiring bertambah usia, langkahnya mengarah ke Madrasah Tsanawiyah Ar-Arasyidiyah Walang, sebuah lembaga pendidikan berbasis Islam yang mengajarkan fikih, akidah, dan akhlak. Di sinilah imannya diperdalam dan pikirannya dibentuk.

Hari-harinya diisi dengan hafalan, doa, dan diskusi tentang hal-hal rohani. Ia bukan hanya siswa yang aktif, tetapi juga pribadi yang menyerap nilai-nilai moral dan keagamaan dengan serius. Dalam lingkungan yang teratur dan religius itu, hatinya mulai tumbuh dengan kerinduan akan kebenaran, meskipun saat itu ia belum sepenuhnya mengerti bahwa Tuhan sedang menyiapkan sesuatu yang jauh lebih besar dari sekadar gelar akademis atau kedewasaan intelektual—Tuhan sedang merancang sebuah panggilan hidup.

Setelah menyelesaikan jenjang Madrasah Tsanawiyah ia menempuh pendidikan di STM Perguruan Cikini, Tanjung Priok, sebuah sekolah kejuruan yang memperkenalkannya pada dunia teknik dan keterampilan praktis. Namun semangat belajarnya tidak berhenti di sana. Tahun 1992, ia mengambil keputusan besar: merantau ke Medan untuk melanjutkan studi di Universitas Islam Sumatera Utara (UISU). Setelah menyelesaikan jenjang Madrasah Tsanawiyah, ia menempuh pendidikan di STM Perguruan Cikini, Tanjung Priok, sebuah sekolah kejuruan yang memperkenalkannya pada dunia teknik dan keterampilan praktis. Namun semangat belajarnya tidak berhenti di sana. Tahun 1992, ia mengambil keputusan besar: merantau ke Medan untuk melanjutkan studi di Universitas Islam Sumatera Utara (UISU).

Semua proses pendidikan dan pengalaman spiritual di masa muda ini menjadi fondasi dalam hidupnya. Tapi seperti tanah yang tampak tenang namun menyimpan benih yang siap tumbuh saat musim tiba, begitu juga dengan hatinya. Ia tidak menyangka bahwa suatu hari, jalan hidupnya akan berbelok tajam—bukan karena penolakan atas masa lalunya, tetapi karena ada suara lembut yang mulai menggugah hati: panggilan akan kebenaran yang lebih dalam, yang melampaui ritual dan tradisi. Pergumulan batin mulai muncul, seperti bisikan Roh yang perlahan tapi pasti mengguncang keyakinan lamanya. Ia tidak sedang memberontak, tetapi mencari dengan tulus. Ia mulai menyadari bahwa Tuhan yang ia rindukan ternyata ingin menyatakan diri-Nya secara pribadi. Perjalanan itu tidak mudah—penuh air mata, keraguan, dan pertentangan batin—namun justru di sanalah jalan menuju terang dibuka. Itulah titik awal dari sesuatu yang besar: sebuah panggilan ilahi yang kelak mengubah arah seluruh hidupnya dan menjadikannya saksi Injil yang hidup.

 

III.   TITIK BALIK: PERTOBATAN DAN PANGGILAN BARU

Tahun 1997 menjadi awal perubahan besar. Ia merantau ke Galela, Maluku Utara untuk bekerja dan mencari kehidupan yang lebih baik. Di sana, ia bekerja di Pelabuhan Soa Sio Galela sebagai bagian dari staf shipping di PT Global Agronusa Indonesia Galela, menangani pengiriman logistik hasil bumi, khususnya ekspor pisang mentah ke Filipina.

Namun pada 19 Januari 1999, pecahlah kerusuhan besar berlatar belakang agama di Ambon yang merambat sampai ke Maluku Utara. Di tengah situasi mencekam itu, muncul kegelisahan batin yang sangat dalam. Ia mulai mempertanyakan ajaran-ajaran yang dahulu diyakininya, terutama soal nilai kehidupan dan kemanusiaan. Pertanyaan-pertanyaan mulai mengguncang hatinya: "Mengapa agama yang saya anut bisa membenarkan kekerasan? Mengapa Tuhan harus dibela dengan darah manusia? Apakah membunuh demi iman adalah kehendak Allah yang sejati?" Pertanyaan-pertanyaan itu tidak datang sebagai bentuk pemberontakan, tetapi sebagai jeritan nurani yang tulus mencari kebenaran sejati. Ia mulai merasa ada sesuatu yang tidak selaras antara ajaran yang ia pegang dan suara hati yang menjerit menolak kekerasan atas nama Tuhan. Perenungan itu membawanya pada satu kesadaran baru: bahwa hidup yang sejati harus berakar pada kasih dan pengampunan, bukan kebencian atau kekerasan. Ia mulai melihat bahwa hanya kasih yang mampu menghancurkan tembok kebencian, dan hanya pengampunan yang mampu menyembuhkan luka kemanusiaan yang dalam. Di titik ini, ia merasakan bahwa suara kasih Kristus jauh lebih kuat daripada teriakan kebencian dunia.

Akhirnya, pada pertengahan 1999, dengan keyakinan hati yang dalam dan air mata pengakuan, ia membuka diri terhadap ajaran Yesus Kristus. Sejak saat itu, hidupnya tidak lagi sama—ia bukan hanya diubahkan, tetapi dipanggil untuk membawa kabar pengharapan yang telah ia alami sendiri. Perlahan, ia mulai berani melangkah lebih jauh dalam imannya. Meski harus dilakukan dengan sembunyi-sembunyi, ia mulai memberanikan diri untuk masuk ke gereja bersama beberapa rekan yang seiman. Ia masih menyadari risiko besar jika identitas barunya diketahui oleh teman teman seimannya yang dahulu yang berada di Galela, namun kerinduan untuk mengenal Yesus lebih dalam melampaui rasa takut itu. Perjalanan pertamanya ke gereja adalah pengalaman yang penuh emosi. Bersama keluarga om seng yang mendukungnya, ia menumpang mobilnya yaitu mobil angkot selama 1,5 jam dari Galela menuju sebuah gereja GMIH di Lele Oto Tobelo. Meski sederhana, momen itu menjadi titik terang: ia akhirnya merasa berada di rumah rohani yang selama ini dicari.  Di sanalah benih iman yang telah tumbuh dalam diam mulai disirami dengan kasih dan pengajaran yang sejati.

25 Desember 1999 menjadi momen yang tidak terlupakan. Ia untuk pertama kali mengikuti ibadah hari Natal dan masuk ke dalam gereja di GPdI Lele Oto — di ajak oleh keluarga Ko Seng. Suasana ibadah yang hangat dan penuh damai menjadi pengalaman rohani yang menyentuh hatinya. Namun tak lama berselang, tepat esok harinya pada 26 Desember 1999, situasi di Maluku Utara semakin memanas. Sejak awal Januari, ketegangan sudah terasa, terutama akibat pecahnya kerusuhan Ambon pada 19 Januari 1999, yang mulai merambat ke berbagai daerah di Maluku Utara, termasuk Kao dan Malifut. Gesekan demi gesekan akhirnya berdampak langsung ke Galela, dan Kerusuhan mulai meletus hebat di daerah Duma Galela pada tanggal 26 Desember 1999. Duma dan Soa Sio yang ada di Galela—tempat kami tinggal—hanya berjarak beberapa belas kilometer saja. Pada hari yang sama, kerusuhan juga pecah di Tobelo, menambah kepanikan di seluruh wilayah Halmahera Utara. Soa Sio Galela, tempat tinggal kami, adalah kawasan yang menjadi titik berkumpulnya massa, termasuk kelompok-kelompok yang saat itu sudah bersiap dalam pakaian serba putih. Ketegangan sangat terasa, dan ketakutan mulai menyelimuti hati kami semua.

Namun di tengah suasana yang mencekam itu, saya dan keluarga Ko Seng terus percaya kepada kuasa perlindungan Tuhan. Kami berkumpul, berdoa, dan menyerahkan hidup kami sepenuhnya dalam tangan-Nya. Ketika gelombang ancaman semakin nyata, Tuhan menggerakkan hati beberapa saudara yang berbeda keyakinan namun memiliki hati nurani dan kasih. Dengan keberanian dan empati, Dengan bantuan saudara-saudara yang berasal dari komunitas berbeda keyakinan namun berhati mulia, kami dibantu keluar rumah kami. Mereka menuntun kami melewati titik-titik rawan, sembari terus meyakinkan bahwa kami akan selamat. Bahkan dengan keberanian dan ketulusan yang luar biasa, mereka mengantar kami hingga naik ke atas kapal barang yang akan membawa kami mengungsi ke Bitung. Di antara bisik angin laut dan suara pelabuhan yang gaduh, terucap kata-kata dari mulut mereka yang takkan pernah saya lupakan: “Jangan takut, kami bukan orang jahat. Kalian pasti selamat sampai kapal.” Ucapan itu bukan hanya kalimat penghiburan, tetapi suara kemanusiaan yang menyentuh hingga ke relung hati terdalam.

Ketika kapal perlahan menjauh dari Pelabuhan Galela, mereka berdiri di tepi dermaga—melambaikan tangan sambil menangis. Tangisan itu bukan air mata perpisahan biasa, tapi air mata tulus dari mereka yang memilih kasih, bukan kebencian. Saat itulah saya tahu: Tuhan sedang bekerja melalui tangan-tangan yang mungkin tidak kita sangka—dan kasih sejati itu melampaui batas kepercayaan dan perbedaan.” Kalimat itu menusuk hati—di tengah panasnya konflik, masih ada cinta kemanusiaan yang melampaui batas agama. Bahkan, mereka tidak hanya mengantar sampai pelabuhan, tetapi mendampingi hingga ke atas kapal barang yang akan membawa kami menyeberang ke Bitung. Saat kapal perlahan meninggalkan dermaga, kami menatap ke arah mereka yang berdiri di tepi pelabuhan—mereka melambaikan tangan dan menangis. Air mata itu bukan sekadar tangisan perpisahan, tetapi tangisan haru dan solidaritas, seolah berkata: “Maaf kami tak bisa lebih jauh melindungi, tapi kami percaya Tuhan akan menjaga kalian.” Di momen itulah, saya semakin yakin: kasih Tuhan dapat bekerja melalui siapa saja, bahkan melalui mereka yang selama ini kita anggap ‘berbeda.’

Perjalanan kami menuju Manado bukan hanya pelarian fisik, tetapi menjadi simbol dari peralihan rohani yang mendalam. Itu bukan sekadar upaya menyelamatkan diri dari bahaya, tetapi lebih dari itu—sebuah perjalanan iman yang membawa saya keluar dari lembah kegelapan menuju terang kasih Kristus. Dari kepanikan dan ketakutan yang melumpuhkan, saya belajar percaya kepada kuasa perlindungan Tuhan. Dari komunitas yang dulu saya kenal sebagai "musuh", justru tangan-tangan kasih diulurkan, membuktikan bahwa cinta dan kemanusiaan tidak dibatasi oleh sekat keyakinan. Setiap langkah menuju kapal pengungsian terasa seperti ziarah iman—meninggalkan masa lalu yang penuh luka dan kebingungan, menuju masa depan yang belum pasti, namun dituntun oleh harapan baru di dalam Tuhan. Manado bukan hanya tempat berteduh, tetapi menjadi tanah baru di mana benih keselamatan mulai bertumbuh. Di sana, saya mengenal Kristus bukan lagi lewat konsep, tetapi lewat pengalaman hidup yang nyata. Ia menjadi Gembala yang setia, ketika saya kehilangan semua. Ia menjadi Bapa yang mengasihi, ketika keluarga jasmani menjauh. Dan sejak saat itu, saya tahu—hidup saya bukan lagi milik saya, tetapi milik-Nya yang telah memanggil saya keluar dari kegelapan kepada terang-Nya yang ajaib (1 Petrus 2:9).

Di kota pengungsian, ia memulai hidup dari nol. Untuk bertahan hidup, ia menjual koran di jalanan. Namun justru di tengah keterbatasan itulah imannya semakin kuat. Dari Bitung, ia dan keluarga Ko Seng kemudian melanjutkan perjalanan ke Manado dan tinggal di rumah Oma Mabuka, kerabat dari keluarga Om Seng, yang terletak di Karame Molas Manado. Di rumah sederhana inilah mereka berlindung sambil menunggu kepastian akan masa depan. Meskipun keadaan serba terbatas, kasih Tuhan tetap nyata—melalui tangan-tangan yang menolong, melalui roti harian yang cukup, dan melalui damai sejahtera yang tak bisa dijelaskan secara manusiawi. Di tengah ketidakpastian itu, ia justru menemukan kejelasan panggilan hidup.

Ia kemudian dibaptis di GMIM Karame Molas Manado, sebagai tanda penyerahan diri secara terbuka kepada Kristus pada Tahun 2000. Namun dorongan dalam hatinya untuk lebih lagi taat pada kebenaran firman membuatnya mengambil keputusan penting: menerima baptisan selam di GPdI Tombatu Manado oleh Pdt. Rumokoy  Pada Tahun 2001. Ia melakukannya bukan karena tekanan denominasi, tetapi sebagai bentuk ketaatan pada pemahaman teologis pribadinya tentang baptisan orang percaya. Baptisan-baptisan ini bukan sekadar simbol ritual, melainkan tonggak perubahan hidup. Melalui setiap air yang mengalir, ia mengubur masa lalu yang lama dan bangkit dalam hidup yang baru—sebagai murid Kristus yang siap dipakai untuk kemuliaan Tuhan. Hidupnya kini tidak lagi dikendalikan oleh trauma, ketakutan, atau kepahitan masa lalu, tetapi oleh kasih karunia yang menyelamatkan dan memanggilnya untuk menjadi terang di tengah dunia yang gelap.

 

IV.    AWAL PEMBENTUKAN DAN PELAYANAN

Pada tahun 2001, Om Seng memutuskan untuk kembali ke Tobelo karena berpikir bahwa daerah tersebut sudah aman, mengingat mayoritas penduduknya beragama Kristen. Ia mengajak saya ikut bersamanya, namun saat itu saya telah mendapat pekerjaan sebagai sopir pengantar barang di Manado, sehingga saya menolak dengan alasan mempertahankan penghidupan yang mulai stabil. Akhirnya Om Seng pergi seorang diri. Namun, keesokan harinya kami menerima kabar duka yang mengejutkan: kapal yang ditumpangi Om Seng, yaitu KM Cahaya Bahari, tenggelam dalam perjalanan Ketika menuju Tobelo Maluku Utara. Hingga saat ini, jasad para korban tidak pernah ditemukan. Tragedi itu meninggalkan luka yang dalam, dan sejak saat itulah saya hidup bersama keluarga besar Om Seng, berjuang bersama dalam suka dan duka.

Tahun 2002, kami akhirnya memutuskan untuk kembali ke Jakarta dan saya pun pulang ke rumah saya. Namun karena belum secara terbuka menyatakan imannya kepada keluarga, saya tidak dapat tinggal di rumah warisan orang tua. Saya lalu menetap di pastori GPdI Bungur, Jakarta Pusat, dan tinggal bersama Pdt. Jhoni Panggey Gembala GPdI Bungur yang juga merupakan Kerabat Om Seng, yang kemudian menjadi pembimbing rohani saya. Dalam suasana pelayanan yang sederhana namun penuh kasih, saya mulai dibentuk sebagai pelayan Tuhan dari hal-hal yang paling mendasar. Hari-hari saya diisi bukan dengan berkhotbah, tetapi dengan mengepel gereja, membersihkan ruang ibadah, menyusun kursi, dan melayani dengan kerendahan hati. Di pastori, saya hanya mampu membantu membersihkan rumah, tetapi dari sanalah saya belajar makna sejati menjadi hamba Tuhan: setia dalam perkara kecil, rendah hati dalam pelayanan, dan taat tanpa pamrih.

Yang paling berkesan, setiap pagi kami harus bangun pukul 04.00 WIB untuk berdoa bersama hingga pukul 06.00. Rutinitas doa pagi itu menjadi fondasi kerohanian yang kuat dalam hidup saya. Dari tempat itulah saya mulai mengerti bahwa kekuatan pelayanan tidak berasal dari mimbar atau popularitas, tetapi dari hubungan yang intim dengan Tuhan dalam doa. Saya menyadari bahwa pelayanan sejati dimulai dari lutut yang tersungkur di hadapan Allah, bukan dari suara yang terdengar di depan jemaat. Di tengah kesederhanaan itu, benih panggilan Tuhan bertumbuh semakin kuat. Saya tidak hanya disiapkan untuk melayani, tetapi juga sedang diproses untuk mengerti hati Tuhan. Saya belajar bahwa pemuridan sejati bukanlah tentang jabatan, tetapi tentang karakter.

Pelayanan bukan soal posisi, tetapi respons terhadap kasih karunia. Namun karena belum secara terbuka menyatakan imannya kepada keluarga, ia tidak dapat tinggal di rumah warisan orang tuanya. Ia lalu menetap di pastori GPdI Bungur, Jakarta Pusat, dan tinggal bersama Pdt. Jhoni Panggey, yang kemudian menjadi pembimbing rohaninya. Dalam suasana pelayanan yang sederhana namun penuh kasih, ia mulai dibentuk sebagai pelayan Tuhan dari hal-hal yang paling mendasar. Hari-harinya diisi bukan dengan berkhotbah, tetapi dengan mengepel gereja, membersihkan ruang ibadah, menyusun kursi, dan melayani dengan kerendahan hati. Di pastori, ia hanya mampu membantu membersihkan rumah, tetapi dari sanalah ia belajar makna sejati menjadi hamba Tuhan: setia dalam perkara kecil, rendah hati dalam pelayanan, dan taat tanpa pamrih. Di tengah kesederhanaan itu, benih panggilan Tuhan bertumbuh semakin kuat. Ia tidak hanya disiapkan untuk melayani, tetapi juga sedang diproses untuk mengerti hati Tuhan. Ia belajar bahwa pemuridan sejati bukanlah tentang jabatan, tetapi tentang karakter. Pelayanan bukan soal posisi, tetapi respons terhadap kasih karunia.

Tahun 2003 menjadi titik balik berikutnya dalam perjalanan rohani saya. Pada tahun itu, saya mengikuti Sekolah Orientasi Melayani (SOM) angkatan 37 yang diselenggarakan oleh GBI Mawar Saron, Jakarta. Di sinilah untuk pertama kalinya saya mengenal lebih dalam tentang Gereja Bethel Indonesia (GBI), dan mulai belajar melayani di bawah penggembalaan Alm. Pdt. Dr. Yakob Nahuway. Di tempat ini, saya bukan hanya diajar tentang doktrin dan pelayanan, tetapi juga dibentuk secara karakter oleh para hamba Tuhan senior yang luar biasa, seperti Alm. Pdt. Masudara, Alm. Pdt. Simamora, dan Alm. Pdt. Yance Sipahelut. Dari mereka saya belajar arti keteladanan, kesetiaan, dan bagaimana melayani Tuhan dengan api yang menyala, tanpa kehilangan kasih mula-mula

Saya menyadari bahwa panggilan Tuhan tidak selalu datang dalam bentuk suara dari langit, tetapi sering kali hadir melalui proses, pembentukan, dan penundukan diri dalam komunitas yang benar. Di sinilah hati saya semakin dipenuhi kerinduan untuk melayani Tuhan secara penuh waktu. Saya mulai belajar berkhotbah, melayani dalam doa pagi dan doa malam, serta mengembangkan kapasitas rohani saya di tengah lingkungan yang menantang dan membangun. Dari titik inilah, saya akhirnya memahami bahwa seluruh jalan hidup saya—dari keluarga Muslim yang taat, pergumulan di tengah konflik, pelarian sebagai pengungsi, hingga pembentukan dalam kesederhanaan di pastori—semuanya bukanlah kebetulan. Itu adalah jalan salib saya. Dan dari salib itu, Tuhan menumbuhkan benih pelayanan yang hari ini menjadi pohon pengharapan bagi banyak jiwa.

 

V.    MENEMUKAN PASANGAN HIDUP

Tahun 2003 menjadi titik balik berikutnya dalam perjalanan rohani saya. Pada tahun itu, saya mengikuti Sekolah Orientasi Melayani (SOM) angkatan 37 yang diselenggarakan oleh GBI Mawar Saron, Jakarta. Di sinilah untuk pertama kalinya saya mengenal lebih dalam tentang Gereja Bethel Indonesia (GBI), dan mulai belajar melayani di bawah penggembalaan Alm. Pdt. Dr. Yakob Nahuway. Pada masa awal, pelayanan saya terbatas hanya di bagian doa pagi dan doa malam, namun dari tempat itulah saya belajar menyerahkan hati sepenuhnya kepada Tuhan. Dalam proses pelayanan itulah saya berjumpa dengan seorang wanita Batak yang cantik dan rendah hati, Tiolida Sihotang—seorang pemimpin pujian dan anggota koor yang melayani sebagai MC dalam doa malam. Saya sendiri saat itu melayani sebagai pemain gitar pengiring. Dari pelayanan bersama inilah benih-benih cinta mulai tumbuh.

Hubungan kami berkembang dalam kasih dan takut akan Tuhan. Dan pada tahun 2004, kami memutuskan untuk menikah di GPdI Bungur Jakarta di Berkati Oleh Pdt. Jhony Panggey dan  Tuhan memberkati pernikahan kami dengan dua anak yang luar biasa: Malkhi Kuraniawan dan Joshua Rajahot Eklesyaiful. Meskipun telah menikah, saya tetap melanjutkan pendidikan teologi dengan penuh semangat. Saya percaya bahwa seorang pelayan Tuhan harus mengerti firman secara utuh, agar dapat menggembalakan umat dengan hikmat dan kebenaran yang sejati.

Di tengah proses kuliah itulah, bersama istri saya, kami mulai merintis pelayanan gereja dari nol. Kami memulainya dengan sederhana—hanya dari rumah orang tua saya yang telah almarhum di Jakarta Utara. Tidak ada perlengkapan gereja yang layak, tidak ada kursi lengkap, bahkan mimbar pun belum ada. Tapi kami punya satu hal: keyakinan bahwa Tuhan memanggil kami untuk menggembalakan umat-Nya, apa pun keadaannya. Saya tidak ingin perintisan ini berjalan tanpa arah dan bimbingan rohani, apalagi menjadi gereja liar tanpa naungan. Karena itu, saya bersyukur ketika Pdt. Jhoni Panggey dengan hati seorang ayah rohani membimbing dan menuntun kami agar perintisan tersebut menjadi bagian dari pelayanan resmi di bawah naungan GPdI Bungur. Dengan kasih dan tanggung jawab, beliau mengutus saya sebagai hamba Tuhan cabang GPdI Bungur.

Perjalanan dari rumah sederhana itu menjadi awal dari panggilan gembala yang sesungguhnya. Dari satu dua jiwa yang datang, hingga perlahan-lahan Tuhan tambahkan mereka yang lapar akan firman. Di sana saya belajar bahwa sebuah gereja tidak ditentukan oleh kemegahan bangunan, tetapi oleh hadirat Tuhan yang hadir dan hati yang setia menggembalakan. Pelayanan tidak dimulai dari sorotan, tapi dari kesetiaan dalam hal kecil, dan pengabdian tanpa syarat. Perjalanan ini menjadi bukti nyata bahwa kasih Tuhan tidak hanya menyelamatkan, tetapi juga menuntun setiap langkah dengan penuh rencana ilahi. Dari tempat pelayanan yang sederhana, Tuhan menyatukan hidup kami untuk melayani-Nya bersama, dan membawa terang bagi generasi di masa kini dan yang akan datang.

Namun setelah menjadi cabang, meskipun ibadah berjalan seperti gereja pada umumnya, mulai timbul masalah. Ternyata rekan pelayanan dari gereja terdekat menolak keberadaan kami karena berada dalam satu sinode di wilayah yang sama. Tekanan terus bertambah hingga pada tahun 2008, Pdt. Jhoni Panggey mengeluarkan surat dan mengarahkan saya untuk pindah ke GBI. Tetapi ujian belum selesai. Pada tahun 2009, rumah yang kami gunakan sebagai tempat ibadah didemo oleh warga sekitar yang menolak adanya gereja di wilayah mereka. Dengan berat hati dan dalam kondisi yang sangat sulit, kami akhirnya pindah dan mencari tempat kontrakan untuk tetap dapat beribadah. Puji Tuhan, kami menemukan tempat yang Tuhan sediakan di Jalan Melati, Jakarta Utara.

Hingga tahun 2025, saya tetap melayani sebagai Gembala Sidang GBI JPS No.22, Jakarta Utara. Pada tanggal 8 Maret 2009, gereja kami ditahbiskan secara resmi  oleh Pdt. Darius Theodore (Ketua Wilayah BPD DKI Jakarta), berkat dukungan dari  Pdt. Dr. Feri Haurisa yang saat itu menjabat sebagai Sekretaris Umum BPH GBI, serta  Alm. Pdt. Dr. Jacob Nahuway, M.A. (Ketua BPH GBI), dan Pdt. Paul R. Wijaya selaku Ketua BPD GBI DKI Jakarta yang menjabat saat itu

Tuhan juga memperluas pelayanan melalui pembukaan cabang-cabang baru, sebagai bagian dari mandat Amanat Agung yang kami jalankan dengan iman dan kesetiaan. Salah satu perluasan pelayanan yang sangat berarti adalah di Dusun Pearaja, Tapanuli, tempat yang kaya sejarah dan nilai spiritualitas, di mana pelayanan dirintis dengan semangat penginjilan dan kasih terhadap jiwa-jiwa. Cabang ini menjadi ladang pengharapan baru bagi banyak orang yang merindukan sentuhan kasih Tuhan di tengah pergumulan hidup.

Cabang lainnya dibuka di Dayun, Kabupaten Siak, Riau, yang pada awalnya menunjukkan semangat luar biasa dalam pertumbuhan rohani dan komitmen struktural terhadap induk pelayanan GBI JPS 22. Jemaat Dayun secara sukarela dan resmi, melalui surat pernyataan bermaterai, telah menyerahkan diri sepenuhnya kepada saya sebagai gembala mereka, untuk dipimpin dan digembalakan di bawah naungan GBI JPS No.22 Jakarta Utara, sebagai bagian sah dari struktur Gereja Bethel Indonesia

Namun, seiring waktu, pelayanan di sana mengalami dinamika yang cukup berat, karena munculnya dinamika pelayanan yang mengarah pada pembangkangan terbuka dari jemaat, yang dalam perjalanannya menimbulkan tanda tanya besar terhadap komitmen struktural yang telah disepakati sebelumnya, terhadap penggembalaan sah yang telah diakui dan disahkan secara struktural oleh GBI—di mana sebelumnya mereka telah menyerahkan diri secara sukarela dan tertulis, yaitu di bawah naungan GBI JPS No.22 Jakarta Utara. Situasi ini menjadi pergumulan yang tidak mudah, karena pelayanan yang dimulai dari nol, saya Rintis dengan membawa nama Gereja Bethel Indonesia secara resmi, dibangun dengan air mata, doa, dan pengorbanan—namun harus dihadapkan pada tindakan sepihak yang menyimpang dari komitmen awal, baik secara struktural, administratif, maupun spiritual. Namun saya percaya, bahwa sekalipun badai menghadang dan pengkhianatan muncul dari mereka yang dahulu dilayani dengan kasih, Tuhan tetap memegang kendali atas panggilan-Nya. Dia yang memulai pekerjaan baik, pasti juga akan menyempurnakannya  (Filipi 1:6).

Saya terus menyerahkan situasi ini dalam doa dan pengampunan, sambil melangkah maju untuk melayani tempat-tempat lain yang terbuka bagi Injil dan haus akan kebenaran. Saya tidak menyimpan kepahitan kepada siapa pun, karena saya percaya bahwa dalam setiap luka, Tuhan sedang mengukir sesuatu yang kekal. Saya percaya, tidak ada pengorbanan yang sia-sia dalam pelayanan kepada Tuhan—setiap tetes air mata akan ditukar dengan tuaian ilahi pada waktunya.


VI.    PENDIDIKAN TEOLOGI DAN KETERLIBATAN AKADEMIK

Dengan semangat belajar yang terus menyala—bagaikan api yang tak pernah padam dalam jiwanya—ia menempuh pendidikan teologi bukan sekadar untuk meraih gelar, tetapi untuk mengenal lebih dalam pribadi Kristus yang telah mengubahkan hidupnya. Ia sadar bahwa panggilan pelayanan bukan hanya soal semangat, tetapi juga tentang pengertian yang benar akan Firman Tuhan dan dasar iman yang kokoh. Karena itu, ia membuka diri sepenuhnya untuk dibentuk secara akademis dan rohani, dengan tekun mengikuti setiap proses belajar sebagai bagian dari ketaatannya kepada panggilan Allah. Pendidikan teologi baginya adalah perjalanan suci untuk semakin mengenal isi hati Tuhan dan menjadi pelayan yang bertanggung jawab, bukan hanya di hadapan manusia, tetapi di hadapan Allah sendiri.

Ia menempuh studi S1 Teologi di Institut Teologia dan Kepemimpinan Remaja (ITKR) / STT REM, sebuah Sekolah Tinggi Teologi di bawah naungan  GBI, Jakarta. Selanjutnya, ia melanjutkan pendidikan ke jenjang Magister Teologi (S2) di Sekolah Tinggi Teologi Jaffray Jakarta, di bawah bimbingan langsung Pdt. Dr. Jerry Rumahlatu. Ia juga telah mengikuti dan lulus ujian negara untuk jenjang Sarjana Teologi maupun Magister Teologi.

Selain menggembalakan jemaat, ia juga aktif sebagai dosen teologi di berbagai Sekolah Tinggi Teologi dan universitas. Ia tercatat sebagai dosen tetap yang memiliki Nomor Induk Dosen Nasional (NIDN)—nomor identifikasi resmi yang diberikan oleh Kementerian Pendidikan kepada dosen tetap perguruan tinggi, yang digunakan dalam sistem pengelolaan pendidikan tinggi nasional melalui Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PDDIKTI). Beberapa institusi tempat ia mengajar antara lain:  "STT Jaffray Jakarta, STT Lintas Budaya, STT Bethesda, STT Kenos, STT Global (termasuk cabang di Madiun), STT Andatu, STT Harapan Indah, STT Agape (Lampung), STT Katharos dan Universitas Satya Negara Indonesia (USNI)

Keterlibatannya dalam dunia akademik menjadi perpanjangan dari pelayanannya di mimbar: menanamkan nilai-nilai kebenaran Firman Tuhan dan membentuk generasi pelayan yang berintegritas, berakar dalam pengenalan akan Kristus, serta penuh kasih karunia. Melalui ruang kelas, ia memandang setiap perkuliahan bukan sekadar transfer ilmu, tetapi sebagai ladang pelayanan—tempat Roh Kudus bekerja membentuk karakter dan memperlengkapi para hamba Tuhan untuk pelayanan lintas zaman. 

 

                         (Segala Kemuliaan hanya bagi Tuhan)

 

 


============

Biografi Singkat Penulis– Pdt. Syaiful Hamzah Nahampun, M.Th

Gembala Sidang GBI Jl. Plumpang Semper No.22 (JPS22) – Jakarta Utara

Gembala Cabang GBI PRJ Sion – Pearaja Parlilitan, Sumatera Utara

=============

 

Lahir                                : 12 April 1974

Pendidikan                        : Magister Teologi (M.Th)

Sedang menempuh            : Program Doktor (S3) di STT Gragion

Sinode                              : Gereja Bethel Indonesia (GBI)

Istri                                  : Pdm. Tiolida Sihotang S.PdK

Anak                                 : Malkhi K dan Josua Rajahot Eklesyaiful Nahampun

 

Profil Pelayanan

·     Dipanggil dari latar belakang kehidupan yang keras, Pdt. Syaiful Hamzah Nahampun melayani dengan hati yang tulus dan komitmen tinggi terhadap kebenaran firman Tuhan serta ketaatan terhadap struktur dan doktrin GBI.

·     Bersama istri, Pdm. Tiolida Sihotang S.PdK, beliau menggembalakan jemaat di berbagai wilayah, termasuk cabang-cabang luar Jakarta seperti Dayun (Riau) dan Pearaja Parlilitan (Sumatera Utara).

·     Pernah menggembalakan sebuah jemaat di salah satu daerah di Riau secara sah di bawah GBI JPS No. 22, namun kemudian menghadapi pembangkangan jemaat yang keluar secara sepihak tanpa ketaatan rohani maupun struktural.

·     Pelayanannya menekankan pemuridan sejati dalam karakter, pertobatan, dan tanggung jawab, serta menyoroti bahaya teologi spiritual bypass—kerohanian semu yang menghindari pemulihan dan keadilan.

·     Saat ini, beliau juga menempuh studi doktoral (S3) dalam bidang Misi di STT Gragion, dan aktif mengajar sebagai dosen di beberapa sekolah tinggi teologi, membentuk pemimpin-pemimpin gereja yang sehat secara doktrin maupun karakter.

 

 

Catatan Penting: Tulisan ini disusun khusus untuk kalangan sendiri sebagai bahan ilustrasi rohani dan refleksi teologis. Jika terdapat kemiripan dengan peristiwa, tempat, atau individu tertentu, itu tidak disengaja dan bukan merupakan tuduhan pribadi, melainkan ajakan untuk perenungan bersama dalam terang Firman Tuhan. Dilarang menyalin, menyebarluaskan, atau memperbanyak isi tulisan ini tanpa izin tertulis dari penulis.