Topik
bahasa lidah adalah topik yang penting untuk dipelajari dari Alkitab. Hal ini
disebabkan karena ada begitu banyak orang Kristen yang tidak tahu apa kata
Alkitab tentang bahasa lidah. Mereka hanya ikut-ikutan terhadap apa yang mereka
lihat sedang dilakukan orang lain. Orang Kristen tidak boleh puas dengan
sekadar ikut-ikutan, tetapi harus menggali dari Alkitab konsep bahasa lidah
yang sejati. Dalam pembelajaran tentang bahasa lidah ini, ada cabang ilmu
pendukung yang sangat membantu, yaitu sejarah.
Bagaimanakah
sejarah dapat membantu kita mengerti lebih lanjut permasalahan ini? Topik ini
membicarakan durasi dari karunia bahasa lidah. Nah, penyelidikan sejarah dapat
membantu memberikan terang atas kedua aspek bahasa lidah tersebut – sifat dan
durasinya.
A. Apakah
bahasa lidah?
Ada dua
pandangan utama. Pandangan pertama adalah bahwa bahasa lidah, sebagaimana
tercatat dalam Kisah Para Rasul pasal 2, adalah kemampuan untuk tiba-tiba
(tanpa belajar) berbicara dalam bahasa-bahasa lain. Bahasa-bahasa lain yang
dimaksud di sini adalah bahasa manusia yang eksis secara nyata. Menurut
pandangan ini, jika ada orang lain yang kebetulan menguasai bahasa suku lain,
maka ia dapat memahami bahasa lidah yang sedang diucapkan yang kebetulan adalah
bahasanya. Pandangan kedua mengajukan, bahwa sesuai dengan yang banyak terlihat
di kebaktian-kebaktian Kharismatik dan Pantekosta, bahasa lidah (mereka
menggunakan istilah “bahasa roh” padahal dalam bahasa aslinya tidak ada kata
roh) bukanlah bahasa yang eksis secara nyata, tetapi adalah serentetan bunyi
yang dikeluarkan oleh pembicara, yang tidak beraturan, yang cenderung repetitif
(suku kata tertentu diulangi berkali-kali), yang biasanya diucapkan dengan
emosional dan cepat. Intinya, pandangan ini mengajukan bahasa lidah sebagai
bunyi repetitif yang tidak beraturan dan tidak bermakna. Yang manakah yang
benar? Tentu kita harus mengeceknya dari Firman Tuhan. Itu yang utama. Tetapi,
sebagai pendukung, kita juga dapat melihat, yang manakah yang benar-benar
merupakan gerakan dari Allah dalam sejarah.
Hal yang
sama dapat dikatakan mengenai masalah durasi bahasa lidah. Apakah bahasa lidah
masih berlaku hari ini? Jika tidak, sampai kapankah bahasa lidah tetap ada?
Tentu sekali lagi jawaban utama harus disimpulkan dari pengajaran Alkitab, dan
Pedang Roh membahas sisi Alkitab dengan mendalam di artikel lain. Untuk artikel
ini, kita akan menggunakan sejarah untuk membantu kita dalam hal ini, dan
melihat, sampai kapankah dalam sejarah terdapat bahasa lidah yang sejati? Mari
kita masuk ke dalam pembahasannya.
B. Zaman
Sebelum Masehi
Dalam
catatan sejarah, sama sekali tidak ada sumber yang meyakinkan yang mencatat
bahwa ada orang yang tanpa belajar, tiba-tiba bisa berbicara dalam bahasa lain,
sebelum Masehi. Satu-satunya kejadian yang mendekati hal ini adalah kejadian
pada saat Tuhan mengacaukan bahasa manusia di menara Babel. Pada saat itu,
manusia yang tadinya satu bahasa, tiba-tiba berbahasa lain. Tetapi jelas, bahwa
kejadian di menara Babel bukanlah karunia bahasa lidah.
Sebaliknya,
ada cukup banyak catatan orang-orang yang “berbicara” mengeluarkan bunyi-bunyi
tidak beraturan secara emosional. Yang mengejutkan adalah orang-orang ini
kebanyakan dipercayai sedang “kerasukan” oleh dewa atau dewi tertentu. Mereka
menjadi semacam jurubicara bagi dewa atau dewi tersebut. Penemuan arkeologi
membeberkan bahwa bukanlah kejadian yang langka bagi penyembah dewa tertentu
(seperti dewa Amon, Apollos, dll), untuk dirasuki pada waktu-waktu tertentu
[George A. Barton, Archaeology and the Bible (Philadelphia: American Sunday
School Union, 1916), hal. 353]. Saat mereka sedang dirasuki itulah, biasanya
mereka akan komat-kamit secara tidak jelas, mengeluarkan bunyi-bunyi secara
emosional, yang tidak memiliki makna bagi telinga manusia normal. Hal ini tidak
jauh berbeda dengan apa yang terjadi di berbagai “kebaktian” Kharismatik hari
ini.
Jadi,
catatan sejarah pada periode waktu ini menunjukkan bahwa bunyi-bunyi yang
emosional tidak beraturan, banyak terjadi di kalangan penyembah berhala. Sedangkan
kemampuan untuk tiba-tiba berbicara dalam bahasa lain hanya terjadi saat menara
Babel, walaupun itu bukan karunia bahasa lidah, tetapi adalah intervensi Tuhan
untuk membagi kelompok bahasa manusia.
C. Zaman
Rasul-Rasul
Kita
tidak akan membahas zaman ini terlalu mendetil, karena membahas zaman ini
berarti membahas kejadian-kejadian yang tercatat dalam Alkitab, yang tentunya
dibahas pada artikel lain. Tetapi, sedikit rangkuman dapat diberikan, yaitu
bahwa dalam Alkitab, bahasa lidah adalah kemampuan untuk berbicara dalam bahasa
lain, bukan bunyi-bunyi emosional yang tidak beraturan.
D. Zaman
Kekristenan Awal
Zaman ini
mencakup abad kedua hingga keempat, atau yang sering disebut sebagai zaman
“bapa-bapa gereja.” Ada tokoh-tokoh pada zaman ini yang menyinggung tentang
bahasa lidah dalam tulisan mereka, sehingga kita dapat menyimpulkan pandangan
mereka terhadap topik yang satu ini. Ada beberapa kutipan yang menjelaskan
sifat dan durasi dari bahasa lidah.
Yang
pertama adalah Irenaeus yang menyatakan, “Untuk alasan inilah sang rasul
menyatakan, ‘Kami mengatakan kata-kata bijak di antara mereka yang sempurna,’
dan memakai istilah “sempurna” untuk mengacu kepada mereka yang telah menerima
Roh Allah, dan yang melalui Roh Allah, berbicara dalam semua jenis bahasa,
sebagaimana Ia sendiri berbicara” [Irenaeus, “Against Heresies” Vol. I of the
Ante Nicene Fathers, (The Ages Library Collections), buku 5, bab 6, hal. 1].
Jadi,
jelas bahwa Irenaeus mengartikan bahasa lidah pada zaman rasul sebagai bahasa
yang eksis yang riil dan nyata, bukan bunyi-bunyi emosional yang tidak
beraturan.
Chrysostom,
seorang tokoh lain yang hidup di abad keempat menulis tentang sifat bahasa
lidah, “Barangsiapa yang dibaptis, ia langsung berbicara bahasa lidah dan bukan
hanya bahasa lidah, tetapi banyak yang juga bernubuat, dan sebagian melakukan
karya-karya yang ajaib… Dan yang satu langsung berbicara dalam Persia, dan yang
lainnya dalam Romawi, yang lain dalam India, yang lainnya dalam bahasa lain:”
[Chrysostom, “Homilies on First Corinthians,” ed. Philip Schaff, Vol. XII of
the Nicene and Post-Nicene Fathers, First Series, (The Ages Library
Collections), bahasan 29, ay. 1,2]. Jadi jelas juga bahwa Chrysostom mendukung
bahasa lidah sebagai bahasa sejati.
Chrysostom
juga menjelaskan tentang durasi bahasa lidah: “Seluruh perikop ini sangat
remang: tetapi keremangan itu terjadi karena ketidak-tahuan kita sebab
kejadian-kejadiannya sudah berakhir, yaitu dulu memang terjadi, tetapi sekarang
tidak terjadi lagi” [Ibid]. Jadi, Chrysostom mengatakan bahwa pada zaman dia,
bahasa lidah sudah berakhir.
Agustinus
adalah tokoh yang sangat terkenal, dan dia mengatakan, “Pada waktu-waktu yang
terdahulu, ‘Roh Kudus datang atas mereka yang percaya: dan mereka berbicara
dengan bahasa-bahasa,’ yang belum mereka pelajari, ‘dan sesuai dengan yang
berikan oleh Roh kepada mereka.’ Hal-hal ini adalah tanda-tanda untuk waktu
itu. Karena sudah seharusnya bahwa tanda Roh Kudus terjadi dalam segala bahasa,
untuk menunjukkan bahwa Injil Allah dimaksudkan untuk segala bahasa di bumi.
Hal itu terjadi untuk menjadi suatu tanda, dan telah berakhir.” [Augustine,
“Ten Homilies on First John” Vol. VII of the Nicene and Post-Nicene Fathers,
First Series, (The Ages Library Collections), bahasan 6, 10].
Kutipan
di atas menunjukkan dua hal, yaitu bahwa Agustinus menganggap bahasa lidah
sebagai bahasa yang nyata, bukan bunyi-bunyi tidak beraturan, dan juga bahwa
bahasa lidah sudah berakhir pada zamannya.
Nah,
bagaimana dengan pendukung bahasa lidah sebagai bunyi-bunyi tidak berarturan
yang emosional? Apakah mereka memiliki pendukung dalam sejarah periode ini?
Ternyata ada, yaitu kaum Montanis. Kaum Montanis dipimpin oleh Montanus, ia
menekankan pengalaman emosional yang mirip Kharismatik hari ini, yaitu
berbicara (sebenarnya berbunyi, karena tidak mengandung arti) tak beraturan
secara emosional. Permasalahannya adalah, Montanus melakukan banyak kesalahan,
salah satunya adalah menganggap proses pewahyuan terus berlangsung. Oleh sebab
itu, ia banyak bernubuat, dan nubuatnya terbukti salah. Salah satu nubuat-nya
adalah akan ada perang, tetapi perang tidak kunjung datang [Eusebius, “The
Church History of Eusebius,” Vol. I of the Nicene and Post-Nicene Fathers,
Second Series, (The Ages Library Collections), buku 5, bab 16].
Kesimpulannya
adalah bahwa masyarakat Kristen umum percaya bahasa lidah adalah bahasa sejati
yang dipakai oleh manusia yang sudah berhenti. Ada kelompok tertentu, yang
dianggap sesat oleh yang lain, yang mempraktekkan bahasa (bunyi) sembarangan,
dan mengklaimnya sebagai bahasa lidah.
E.
Abad-Abad Pertengahan
Pada masa
ini, Gereja Katolik menguasai kancah politik sekaligus agama. Dengan kekuasaan
mereka, segala jenis gereja tandingan dihancurkan. Oleh sebab itu, tidak banyak
catatan dari gereja-gereja lain, karena gereja-gereja lain sibuk melarikan diri
dari ancaman Katolik. Dalam zaman yang penuh kekacauan ini, banyak terdapat
catatan tentang berbagai tokoh Katolik, yang mendapat “bahasa” kacau yang tidak
beraturan. Tetapi, sulit untuk memastikan kebenaran klaim-klaim ini, karena
sering bertentangan. Ada beberapa klaim terjadinya kemampuan berbahasa lain
secara spontan, misalnya atas diri Xavier, seorang misionari Katolik ke Cina
dan Jepang. Tetapi, sekali lagi, catatannya kontradiktif, karena di tempat lain
dikatakan bahwa Xavier mempelajari bahasa-bahasa tersebut [The Catholic
University of America, New Catholic Encyclopedia, 2nd ed., 15 vol. (Farmington
Hills, MI: Gale, 2003), VI, hal. 249].
Sebagai
kesimpulan, pada masa ini tidak banyak catatan yang dapat dipercayai. Gromacki
memberikan pandangan yang sangat benar bahwa, “Kecenderungan Roma Katolik untuk
mengangkat dan mengkultuskan (bahwa) santo santa mereka harus selalu diingat
ketika sedang mengevaluasi suatu klaim akan mujizat, apakah itu penyembuhan
ataupun bahasa lidah.
Untuk
alasan ini, klaim apapun akan glossolalia dari sumber-sumber Katolik harus
dianggap tersangka” [Robert G. Gromacki, The Modern Tongues Movement (Grand
Rapids: Baker Book House, 1972), 20]. Yang jelas, bahasa lidah bukanlah sesuatu
yang umum terjadi, dan tidak dipraktekkan oleh orang-orang Kristen pada zaman
ini.
E.
Setelah Reformasi
Setelah
Reformasi, mulailah terbit kebebasan beragama, dan berbagai aliran bermunculan.
Satu hal yang menarik adalah bahwa para tokoh Reformator, tidak ada satu pun
yang berbahasa lidah. Mereka juga tidak mendukung bahasa lidah. Bahkan menurut
mereka bahasa lidah sudah berhenti sejak abad mula-mula. John Calvin menulis
dalam commentary-nya bahwa “karunia bahasa lidah, dan hal-hal lain seperti itu,
sudah sejak lama berhenti dalam Jemaat; tetapi roh pengertian dan kelahiran
kembali tetap berkuasa, dan akan selalu berkuasa” [John Calvin, Acts, diterj.
Henry Beveridge, ed. Christopher Fetherstone, 2 vol. (Grand Rapids: Baker Book
House, 1999), I, hal. 452]. Ini adalah kesaksian yang kuat, bahwa orang-orang
yang memotori gerakan Reformasi, sama sekali tidak melihat bahasa lidah sebagai
suatu karunia yang masih berlangsung, dan tidak merasa memerlukan bahasa lidah
untuk membuktikan bahwa Allah sedang bekerja melalui mereka.
Bagaimanapun
juga, ada beberapa kelompok yang mengklaim bahasa lidah pada zaman ini. Namun,
mereka mempraktekkan bahasa lidah sebagai bunyi-bunyi emosional yang tidak
beraturan, dan bukannya bahasa manusia yang nyata eksis. Contoh yang nyata
adalah kelompok seperti Quakers dan Shakers. Masalahnya, kelompok-kelompok ini
memiliki pandangan yang aneh-aneh. Quakers, contohnya, tidak melaksanakan
baptisan, dan mereka tidak banyak memakai Alkitab, tetapi “dituntun oleh Roh
Kudus dan terang yang ada dalam diri.” Pandangan seperti ini jelas akan membuat
mereka semakin sesat. Shakers lebih parah lagi. Dipimpin oleh seorang wanita,
Ann Lee Stanley, kelompok ini menganggap Allah memiliki sisi laki-laki dan
wanita, dan bahwa kedatangan kedua Yesus dipenuhi dalam diri Ann Lee Stanley.
Kelompok lain yang mempraktekkan bahasa lidah antara lain adalah Mormon, yang
adalah bidat yang sesat. Kelompok Camisard adalah segelintir orang-orang Protestan
yang tinggal di pegunungan Cevennes, Perancis, yang menggunakan nubuat dan
“bahasa lidah” untuk mendukung gerakan politik mereka melawan raja Perancis.
Kelompok Jansenis adalah kelompok Katolik yang juga suka berbahasa lidah.
Jadi,
memang banyak kelompok yang mempraktekkan bunyi-bunyi tidak beraturan, tetapi
mereka mewakili spektrum teologi yang sangat bervariasi. Banyak di antara
kelompok-kelompok ini sesat dan diyakini sebagai bidat. Tetapi semuanya
mempraktekkan bahasa lidah yang tidak dapat dibedakan satu dari yang lainnya,
yaitu bunyi-bunyi emosional yang tidak beraturan. Hal ini membuat kita
menyimpulkan lebih lanjut lagi, bahwa bunyi-bunyi emosional yang tidak
beraturan itu bukanlah bahasa lidah sejati yang berasal dari Tuhan, karena
Tuhan tidak akan memberikan karuniaNya bagi kelompok-kelompok sesat yang bahkan
tidak lahir baru. Kita menyimpulkan, bersama dengan para tokoh Reformasi, bahwa
bahasa lidah yang sejati adalah berbahasa dalam bahasa manusia lain yang nyata,
yang tidak pernah dipelajari yang bersangkutan sebelumnya, dan bahwa karunia
bahasa lidah ini sudah berhenti sejak abad pertama, bahkan sebelum proses
pewahyuan berhenti.
F. Zaman
Modern
Gerakan
Pentakosta meledak pada awal abad ke-20, yaitu dimulai dengan “kebangkitan
rohani” di Azusa. Gerakan Kharismatik, mulai pada pertengahan abad ke-20, dan
adalah masuknya paham Pantekosta, terutama dalam hal nubuat, bahasa lidah, dan
filosofi musik, ke gereja-gereja denominasi lain.
Sejak
munculnya kelompok Pentakosta dan Kharismatik itulah, orang percaya di seluruh
dunia diperhadapkan dengan fenomena bahasa lidah yang terus menerus dilakukan
oleh mereka. Tetapi, “bahasa lidah” yang
dilakukan oleh kelompok Pentakosta dan Kharismatik adalah versi bunyi-bunyian
yang emosional dan tidak beraturan.
Sejarah mencatat bahwa bunyi-bunyi tidak
beraturan seperti itu dilakukan oleh penyembah berhala, oleh para aliran sesat,
dan kelompok-kelompok dengan doktrin yang kacau. Sebaliknya, sejarah mencatat,
bahwa bahasa lidah yang merupakan bahasa manusia nyata, telah berhenti sejak
abad pertama. Memang, cukup banyak kaum Pentakosta/Kharismatik yang mereka,
mengklaim dapat berbahasa lain, tetapi klaim-klaim ini tidak pernah terbukti. Setiap
rekaman bahasa lidah pada kebaktian Kharismatik yang dianalisis, ternyata
adalah serangkaian bunyi saja, dan bukan bahasa apapun
sumber: Sumber: https://marudutsianturi.wordpress.com/2015/04/23/bahasa-roh-lidah-1-sejarah-dari-zaman-sebelum-masehi-hingga-ke-zaman-modern/